Parasit Ekonomi
Mukhaer Pakkanna, KETUA STIE AHMAD DAHLAN JAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 23 Februari 2012
Kendati dua lembaga pemeringkat internasional telah menyematkan gelar investment grade dengan rating BBBoleh Fitch Rating dan gelar peringkat utang Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3 dengan prediksi stabil oleh Moody’s Corporation, ada satu pertanyaan tersisa, yakni siapkah Indonesia mengelola gelontoran dana investasi global jika benar-benar efek rating membanjiri invetasi di Tanah Air?
Memang, pengelolaan anggaran negara, baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun pihak asing (utang dan investasi), selama ini dihambat keruwetan pola birokrasi dan perilaku budaya politik yang kurang transparan dan akuntabel. Konsekuensinya, berapa pun realisasi anggaran yang dikelola negara dan swasta kerap kali ketelingsut oleh pola dan perilaku itu. Banyaknya pungutan liar (pungli), seperti laporan utama Republika, Selasa, 14 Februari 2012, menegaskan perilaku itu.
Pada dekade 1980-an, Sumitro Djojohadikusumo melansir, kebocoran anggaran negara mencapai 30 persen setiap tahunnya. Di sisi lain, riset CIDES pada akhir 1990-an juga menyampaikan, biaya produksi perusahaan hampir 30 per sen tidak berkait langsung dengan ongkos produksi riil, tapi lebih banyak berkaitan pungli, yang menimbulkan high cost economy.
Hingga saat inipun, potensi kebocoran APBN terus menggelayut. Hasil audit BPK (2011) melansir, dalam kurun waktu tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai Rp103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang dan jasa. Indikatornya, terlihat pada penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga pasar. Bank Dunia pun pada 2008 melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan sekitar 10-50 persen.
Maka, berapa pun besaran dana, baik bersumber dari hasil investasi asing, swasta, utang luar negeri, maupun sumber dana negara, menjadi penting dicermati di tengah tingginya parasit (benalu) ekonomi nasional. Menjadi pertanyaan, sejauhmana efektivitas anggaran itu jika parasit masih bercokol?
Parasit Ekonomi
Dalam ilmu tumbuhan, parasit dimaknakan sebagai jenis relasi simbiosis antara organisme dari spesies berbeda, yang menumpang makan dan mengorbankan tuan rumah. Dalam terminologi Yunani, parasit berarti parasitos, “orang yang makan di meja lain“. Dalam konteks sosial, parasit sosial dimaknakan mengambil keuntungan dari interaksi antara anggota organisme sosial, yakni manusia, sistem sosial, kelembagaan, dan aturan. Manusia sebagai bagian organisme sosial, kerap kali paling lihai memanfaatkan peluang, bahkan bisa saling membunuh. Parasit sosial berarti mematikan organisme lain (tuan rumah) demi keuntungan pribadi.
Maka, dalam konteks kegiatan ekonomi, parasit ekonomi diartikan bukan sekadar bersifat struktural, tapi juga kultural. Parasit ekonomi yang bersifat struktural diartikan, parasit yang dikonstruksi melalui produksi kebijakan oleh institusi yang memiliki kuasa dan uang, misalnya, pemerintah, pengusaha kakap, legislatif, pemburu rente, dan yudikatif. Demi kepentingan pembiayaan politik, misalnya, institusi kekuasaan ini memproduksi kebijakan ekonomi, yang justru bisa mencederai laju akselerasi ekonomi. Tidak mengherankan, jika banyak kebijakan yang diproduksi justru meningkatkan high cost economy.
Parasit ekonomi yang bersifat kultural, diartikan sebagai sikap mental (mindset) yang sudah mengkristal dalam perilaku masyarakat (habits), yang justru menghambat optimalisasi potensi ekonomi. Sikap malas, kurang disiplin, kurang menghargai waktu, boros, dan produk tivitas rendah, merupakan bagian parasit ekonomi yang sifatnya kultural.
Konsekuensinya, entropi ekonomi menjadi rendah. Entropi ekonomi diartikan sebagai derajat ketidakteraturan dalam mengelola ekonomi yang disebabkan mindset masyarakat yang kurang menghargai produktivitas dan kekuatan kolegialitas masyarakat. Semakin tinggi entropi ekonomi, semakin rendah laju percepatan, keadilan, dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Parasit ekonomi merupakan musuh utama dalam membangun daya saing ekonomi. Karena itu, ia harus segera dienyahkan. Melihat anatomi parasit ekonomi terpeta dalam parasit struktural dan kultural, setidaknya pada aspek struktural, yang perlu dilakukan, pertama, mengeyahkan inefisiensi birokrasi.
Pungli yang masih berseliweran dari hulu ke hilir menyebabkan pelaku usaha harus terbebani dengan tambahan biaya produksi. Ditambah lagi birokrasi perizinan usaha. Jika Singapura dan Thailand membutuhkan waktu tiga hari untuk mengurus perizinan guna membuka usaha baru, Indonesia justru 60 hari.
Laporan Kegiatan Bisnis di Indonesia 2012 oleh International Finance Cooperation (IFC) dan World Bank, biaya rata-rata yang disyaratkan dalam mendirikan usaha di 20 kota di Indonesia sebesar 22 persen dari pendapatan per kapita. Biaya notaris yang terbesar. Nilainya bisa separuh dari total biaya.
Kedua, mengenyahkan gurita korupsi. Mengonfirmasi laporan akhir tahun PPATK (2011) terkuak, dari jumlah total 175 laporan dugaan tindak pidana korupsi, sebanyak 50,3 persen dilakukan pegawai negeri sipil (PNS).
Ketiga, pada aspek kultural, diperlukan pengenyahan entropi budaya (Ginanjar, 2012), yakni menekan derajat ketidakteraturan nilai-nilai yang semakin pragmatis, myopic, dan instan. Nilai-nilai seperti ini mendestruksi produktivitas, daya saing, dan spirit kolegialitas masyarakat. ●