Amandemen UUD dan Kapitalisme

Amandemen UUD dan Kapitalisme
Imam Munadjat, KETUA HARIAN SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA CENTRE FOR ISLAMIC FINANCE STUDIES UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG     
Sumber : SUARA MERDEKA, 20Februari 2012



"Amendemen UUD 1945 secara tersembunyi telah memasukkan benih sistem perekonomian kapitalistik "

PADA 31 Januari 2012  harian ini memberitakan simpulan acara Pekan Konstitusi, ’’UUD 1945, Amendemen, dan Masa Depan Bangsa’’ di kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang menyebutkan bahwa perubahan pasal-pasal UUD 1945 melalui amendemen 2002 menyebabkan bangsa kita kurang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan, serta kurang memperoleh keadilan dan kemakmuran.

Menurut Try Sutrisno, yang sangat terasa adalah dampak amendemen Pasal 33 UUD 1945 karena menyebabkan perekonomian nasional cenderung dikuasai pihak asing dan kehidupan rakyat makin tertekan. Keluhan masyarakat antara lain mereka merasa ada penjajahan baru melalui dominasi asing dalam bidang ekonomi. Din Syamsuddin mencontohkan dominasi asing yang menggusur petani, seperti impor beras, bawang, dan kentang pada musim panen sehingga petani merugi besar.

Amendemen UUD pada 2002 adalah titik awal pergeseran keberpihakan sistem perekonomian nasional. Adalah Sri Sultan HB X yang mendasarkan pendapatnya itu pada kenyataan di lapangan bahwa perekonomian nasional berdasarkan UUD 1945 sebelum diamendemen jelas berpihak pada rakyat melalui sistem ekonomi kerakyatannya.

Namun amendemen tersebut secara tersembunyi telah memasukkan benih sistem perekonomian kapitalistik yang berakibat tidak dapat dihindarinya dominasi kapitalisme pada penjabaran lebih lanjut UU atau peraturan lain, baik sebagai penjelasan maupun petunjuk pelaksanaannya di lapangan.

Sesuai dengan filosofinya, sasaran akhir kapitalisme adalah akumulasi kapital atau modal. Karenanya sangat wajar bila dengan orientasi tersebut kekuatan modal kemudian menjadi ukuran dalam tiap gerak langkah anak bangsa ini. Termasuk ukuran menentukan kriteria kewenangan seseorang, yang dalam bahasa Megawati, bisa menjadi ukuran layak tidaknya seseorang mencalonkan diri sebagai pemimpin.

Sistem ekonomi kapitalisme yang menyandarkan geraknya pada mekanisme pasar bebas berdampak pada lahirnya pemikiran pragmatis: bebas dalam kepemilikan, bebas dalam pemanfaatan, dan bebas dalam pengembangan kepemilikan. Semua berfokus pada akumulasi dan pengembangan modal. Keuntungan menjadi target, entah melalui sewa, upah, atau bunga.

Bahkan untuk menuruti keserakahannya itu, menurut H Dwi Condro Triono PhD dalam ceramahnya di Semarang beberapa waktu lalu, kaum kapitalis melancarkan gerakannya melalui penguasaan bahan baku dengan proses konglomerasi dari hulu ke hilir: menjadi pengusaha untuk dapat menguasai negara.

Sejak Awal


Pertanyaannya, apakah karena amendemen itu atau karena kita tidak sejak awal menjabarkan operasional Pasal 33 UUD 1945 sehingga sistem ekonomi kapitalisme merambah negeri ini dalam berbagai sektor kehidupan?

Sistem perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip efisien, mandiri, kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan prinsip itu, perekonomian nasional dibangun atas dasar nilai-nilai luhur bangsa dan moral yang bersumber dari agama, serta sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi nasional (Swasono, 2010; Rosidi, 2011).

Dalam perjalanannya, bangsa ini belum mampu merumuskan nilai-nilai demokrasi ekonomi sebagaimana substansi Pasal 33 dalam operasional aplikatif untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa mandiri yang hidup dalam keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Salah satu penyebabnya karena kita lebih memercayakan konsep pembangunan ekonomi nasionalnya pada gagasan dan konsep bangsa lain, yang dari berbagai aspeknya punya latar belakang berbeda dari ciri, nilai, dan budaya kita.

Akibatnya, sistem ekonomi yang diadopsi (bukan diadaptasikan) bertentangan dengan ideologi nasional karena yang diterapkan adalah sistem ekonomi berbasis kompetisi, bukan atas asas kekeluargaan dengan paham kebersamaan (baik brotherhood atau ukhuwah, maupun mutualisme atau berjamaah) serta ’’bebas dari nilai’’ agama dan moral.

Pasar bebas yang dibingkai dalam wadah globalisasi zaman ini sebenarnya tidak berbeda dari kolonialisasi bangsa barat terhadap bangsa Asia-Afrika beberapa abad silam itu. Bedanya, dulu  penjajahan dilakukan dengan pendudukan dan penundukan nyata suatu negara oleh negara lain, sementara kini kolonialisasi modern tidak perlu pendudukan fisik tapi akibatnya bisa lebih parah, melalui aturan pemberlakuan pasar bebas.

Efek ekonomi pasar bebas menciptakan sebuah bentuk kompetisi ekonomi yang menggiring munculnya economized yakni lahirnya dunia yang tidak ramah, tidak demokratis, dan tidak manusiawi demi memenuhi ambisi dan keuntungan yang lebih tinggi.

Realitas ini akan terus berkembang. Kaum kapitalis akan terus menjajah, merealisasikan idealisme dan perjuangan ideologi itu demi terwujudnya satu dunia dengan sistem ekonomi yang mereka kembangkan. Mereka akan makin bersemangat ketika ternyata saya dan Anda, anak bangsa ini,  menerima ideologi mereka dan menerapkannya sebagai sistem ekonomi yang mengatur kehidupan bangsa. ●

◄ Newer Post Older Post ►