Diplomasi di Tengah Krisis Suriah


Diplomasi di Tengah Krisis Suriah
Ludiro Madu, DOSEN JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UPN VETERAN YOGYAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 25 Februari 2012



"Pemerintah Indonesia perlu cepat mengambil tindakan tegas terkait keamanan warga negaranya di Suriah yang lagi dilanda konflik"

SITUASI domestik Suriah yang makin memburuk mendorong berbagai negara mendesak pemerintahan Bashar al-Assad melakukan gencatan senjata dengan kelompok pemberontak. Tekanan dan desakan negara-negara asing itu muncul menyusul serangan tentara pemerintah ke wilayah Homs menimbulkan banyak korban.

Berbagai upaya masyarakat internasional untuk ikut menciptakan perdamaian ditentang oleh pemerintah Suriah. Usulan perdamaian Liga Arab, tekanan negara-negara dan masyarakat di negara lain, tidak mengurangi sikap keras pemerintah Suriah terhadap rakyatnya. Beberapa negara bahkan secara tidak langsung mengancam melakukan serangan militer untuk menjatuhkan rezim Assad.

Sikap keras Assad mendapat dukungan Rusia dan China yang memveto upaya negara-negara lain melalui Dewan Keamanan PBB. Kedua negara ini merupakan sekutu dekat Suriah. Dalam perkembangan terakhir, Assad (SM, 16/02/12) menawarkan referendum konstitusi. Referendum akhir Februari ini untuk memberi kesempatan bagi partai politik baru ikut berperan, selain Partai Baath yang berkuasa hingga kini. Tapi gagasan referendum itu tampaknya belum mampu meredakan ketegangan. Apalagi salah satu tuntutan rakyat adalah rezim Assad harus mundur.

Mengingat krisis Suriah yang masih jauh dari kondisi stabil, berbagai negara berusaha menjatuhkan sanksi dan memperingatkan warga negaranya untuk segera meninggalkan negara itu. Krisis Suriah yang berlangsung sejak Maret 2011 mengakibatkan sedikitnya 2.600 orang tewas. Realitas politik domestik seperti itu tidak lagi memberikan jaminan keamanan bagi warga asing, termasuk warga negara Indonesia (WNI) di negeri itu.

Keamanan WNI


Diplomasi Indonesia telah dilakukan sejak akhir tahun lalu sebagai tanggapan terhadap kondisi tersebut. Atas instruksi Presiden SBY, sejak November 2011 pemerintah memanggil Dubes RI di Damaskus pulang ke Indonesia untuk konsultasi. Sikap Indonesia telah disampaikan Menlu Natalegawa dalam pertemuan dengan Sekjen PBB Ban Ki-moon di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, 6 Februari lalu.

Diplomasi Indonesia perlu dilakukan menyangkut perlindungan keamanan WNI di Suriah. Perlindungan kepada warga negara kita di luar negeri sebenarnya bukan hal baru. WNI di Mesir dan negara-negara lain yang mengalami situasi krisis —-yang dikenal dengan Arab Spring—- juga pernah dipulangkan oleh pemerintah kita demi kepentingan keamanan. Kemenlu telah memulangkan WNI di wilayah Arab Spring dengan baik, walaupun kebanyakan mereka itu merupakan TKI yang sebenarnya tanggung jawab kementerian lain.

Pemerintah Indonesia perlu cepat mengambil tindakan tegas terkait keamanan warga negaranya di Suriah yang lagi dilanda konflik. Koordinasi dengan otoritas lokal di Suriah dan KBRI di Damaskus serta KBRI di negara-negara sekitarnya harus segera dilakukan demi menyelamatkan 12.572 WNI di Suriah. Kemenlu telah mengevakuasi secara bertahap. Evakuasi pertama 3 Februari lalu memulangkan 7 WNI dan kedua pada 15 Februari memulangkan 37 WNI.

Ke(tidak)amanan warga (human security) menjadi salah satu faktor penting bagi keamanan nasional (national security) sebuah negara, walaupun warga negara tersebut berada di luar wilayah negara yang bersangkutan. Tentu saja, pemerintah kita harus mendefinisikan secara lebih tegas mengenai situasi ke(tidak)amanan di luar negeri yang bisa dianggap sebagai situasi yang tepat untuk menyelamatkan warga kita.

Kemampuan pemerintah kita dalam menentukan derajat ke(tidak)amanan situasi domestik sebuah negara di luar negeri akan makin meningkatkan keamanan WNI di negara tersebut. Dalam konteks ini, kemampuan pemerintah Indonesia dalam melindungi WNI di luar negeri makin meningkatkan citra Indonesia dalam diplomasi global.
◄ Newer Post Older Post ►