Drama Penyangkalan Angie


Drama Penyangkalan Angie
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 18Februari 2012


Laiknya pentas drama, sidang tindak pidana korupsi (tipikor) yang menghadirkan saksi Angie alias Angelina Sondakh berlangsung “memukau”. Angie mampu menampilkan “keaktorannya” secara profesional. Ekspresi wajahnya dingin, intonasinya datar, dan kata-katanya serba pasti dan tandas.

Sebagai salah satu saksi kunci, ia menyangkal berbagai kesaksian dari para saksi lain dalam kasus dugaan korupsi wisma atlet, seperti Mindo Rosalina Manulang, soal percakapannya melalui BBM, seputar “Apel Malang”, “Apel Washington”, “Bos Besar”, “Ketua Besar”, “Semangka”; simbol-simbol yang memiliki makna uang suap dan nama-nama tokoh politik yang diduga terlibat.

Ia juga menyangkal pernyataan terdakwa M Nazaruddin seputar pembagian uang dalam kongres Partai Demokrat untuk memuluskan jalan bagi Anas Urbaningrum menjadi ketua umum partai. Angie sangat sadar untuk “pasang badan”: melindungi sejumlah nama.

Ia tak hirau ketika seluruh kesaksiannya diragukan Majelis Hakim atau dianggap berbohong oleh kubu Nazaruddin. Ia tetap konsisten menjawab setiap pernyataan dengan jawaban “tidak tahu”, “tidak ada”, dan “itu tak pernah terjadi”.

Ia sangat tangguh menyangkal setiap fakta persidangan. Tak ayal ketangguhan penyangkalan Angie membuat sidang berjalan alot. Penasihat hukum Nazaruddin dan Jaksa Penutut Umum tampak kesal. KPK pun menilai: wajar Angelina berbohong.

Kebenaran Semu

Hukum yang mendasarkan keadilan pada kebenaran material membuka peluang bagi kebohongan. Data dan fakta, saksi dan bukti, dapat direkayasa demi menghadirkan kebenaran material. Di sini, hukum sering bertabrakan dengan rasa keadilan yang mencerminkan nilai keadilan. Kebenaran pun sering babak belur dalam peradilan sesat yang sarat dengan kebohongan.

Kebohongan adalah suatu afirmasi yang tidak benar, yang dilakukan secara sadar. Lazimnya afirmasi tersebut mengakibatkan sesama tertipu. Pada prinsipnya semua bentuk kebohongan tidak dibiarkan, sebab merintangi kejujuran dan kesetiaan kepada komunitas (Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Gramedia, 1996).

Kebohongan dapat juga dimaknai sebagai cara atau siasat untuk menyembunyikan kenyataan sejati dan autentik yang mengandung kebenaran demi menghindar dari risiko dalam suatu perkara.

Modus kebohongan adalah penyangkalan, bantahan, atau kilah. Pelaku kebohongan bisa pribadi, masyarakat, dan lembaga-lembaga publik-politik-hukum. Kebohongan yang dilakukan secara intens, kontinu, konsisten, dan didukung power akan menjadi kebenaran semu.

Namun kebenaran semu itu bersifat sementara. Begitu muncul data dan fakta, saksi dan bukti baru yang autentik dan masuk akal maka kebenaran semu itu pun longsor. Hal itu juga terjadi seiring dengan longsornya power yang semula mendukungnya.

Kebohongan yang memunculkan kebenaran semu sekilas memang menguntungkan. Para pelaku kebohongan untuk sementara terhindar dari sanksi hukum dan moral.

Namun, kebohongan bisa berubah menjadi bumerang yang menghancurkan ketika kebohongan itu tak lagi bertahan dibombardir fakta-fakta kebenaran. Inilah paradoks kebohongan: di dalamnya ada “keselamatan” sekaligus kehancuran.

Ada tiga macam kebohongan, yakni (1) kebohongan yang diakibatkan tekanan psikologis dari dalam, (2) kebohongan sukarela, dan (3) kebohongan yang diakibatkan tekanan dunia eksternal.

Kebohongan pertama mengacu pada tindakan yang terpaksa dilakukan untuk mengatasi rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, dan seluruh risiko pahit lain akibat suatu perbuatan atau sikap.

Kebohongan kedua mengacu pada tindakan yang dilakukan tanpa tekanan internal-eksternal, melainkan didorong kesadaran tertentu, misalnya demi melindungi dan menyelamatkan orang lain atau hal-hal yang dipandang “mulia”.

Adapun kebohongan ketiga mengacu pada kondisi intimidatif dari luar (orang, masyarakat, lembaga) yang memaksa seseorang untuk berbohong demi melindungi nama/citra baik, aset, atau berbagai kepentingan kekuasaan.

Orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, siapa pun mereka, cenderung melakukan kebohongan yang pertama dan ketiga. Kebohongan kedua jarang dipilih karena petimbangannya sangat personal-emosional atau tidak memiliki kepentingan pragmatis. “Keuntungan” kebohongan kedua tidak sebanding dengan kerugiannya.

Kasus-kasus korupsi selalu dilakukan secara kolektif alias berjemaah. Entitas jemaah korupsi mengenal strata: kelompok elite, menengah, dan bawah. Kelompok elite selalu mengendalikan praktik-pratik korupsi yang dioperasikan kelompok menengah dan bawah. Jika terjadi pengusutan, kelompok elite sulit disentuh. Pihak yang dijadikan korban adalah lapis menengah dan bawah.

Sebagai suatu konspirasi jahat, korupsi juga mengenal sistem sel, di mana masing-masing lapisan (elite, menengah, dan bawah) diupayakan untuk “tak saling mengenal”, demi menghindari pengusutan secara total.

Pengusutan dan penuntasan pun hanya berlaku secara parsial (biasanya di lapis bawah atau menengah, jika apes). Anomali terjadi ketika berbagai kesepatan dalam konspirasi jahat itu dilanggar para aktornya sendiri. Salah satu aktor yang merasa dikorbankan pun “bernyanyi” soal konspirasi.

Tantangan KPK

Kasus dugaan korupsi wisma atlet di Palembang yang melibatkan Nazaruddin dkk telah memunculkan anomali, yakni pada sosok Nazaruddin itu sendiri. Nazaruddin bahkan telah “melapangkan” jalan bagi KPK untuk membongkar dan melibas kasus ini hingga ke akar atau kerak-keraknya.

Publik berharap, dengan dihadirkannya Angie sebagai saksi maka “kotak hitam” akan terbuka, karena dia dianggap tahu jaringan/konstelasi dan aktor-aktor besar yang berada di balik kasus ini. Namun, untuk sementara, keinginan itu kandas.

Angie justru meberikan kesaksian yang semakin menjauhkan kotak hitam itu terbuka. Ia tampil justru sebagai “orang yang tidak tahu menahu”. Jika benar dugaan KPK Angie berbohong, maka KPK dituntut untuk menemukan dan menyodorkan bukti-bukti lain yang memaksa Angie bersaksi dengan jujur.

Pertarungan belum selesai, bahkan masih menyentuh babak awal. Pertarungan di pengadilan sangat ditentukan “pertarungan” politik di luar pengadilan. Publik menunggu janji kepemimpinan baru KPK bahwa KPK akan menuntaskan kasus-kasus korupsi besar di negeri ini.

Sikap tidak pandang bulu untuk menindak siapa saja yang terlibat korupsi pun sudah diucapkan Abraham Samad. Kita berharap janji itu bukan sekadar ilusi.

Rakyat telah “mengalami” kematian berkali-kali akibat korupsi: kematian sosial, kematian ekonomis, dan kematian kultural. Negara ini pun terancam menjadi negara gagal secara total, akibat korupsi dan kepemimpinan yang tidak tegas dalam memberantas korupsi. ●
◄ Newer Post Older Post ►