Pemimpin Miskin Solusi
Victor Silaen, DOSEN FISIP, UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 20 Februari 2012
Saya tak habis pikir ketika membaca berita di berbagai media nasional, 7 Februari lalu, tentang pernyataan Jubir Presiden Julian Aldrin Pasha bahwa Presiden SBY tidak bisa mengintervensi Wali Kota Bogor untuk menyelesaikan kasus GKI Yasmin. Alasannya, Presiden terhalang UU Pemerintahan Daerah.
Terkait itu Julian juga mengatakan, sebenarnya Presiden SBY sudah mengimbau Wali Kota Bogor untuk menjalankan putusan MA yang berkekuatan hukum tetap. Hal itu terlihat dari instruksi kepada Menko Polhukam dan Mendagri sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menangani kasus GKI Yasmin.
Menanggapi pernyataan Julian, saya ingin memberi beberapa catatan. Pertama, faktanya hingga kini Wali Kota Bogor tetap membangkang terhadap putusan MA, juga terhadap rekomendasi Ombudsman.
Artinya, sampai sekarang Wali Kota Bogor tetap tidak mengindahkan hak asasi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di lahan dan gedung gereja mereka yang sah. Pertanyaannya, siapa yang harus menegur Wali Kota Bogor? Logikanya tentu Gubernur Jawa Barat.
Tapi, kalau Gubernur Jawa Barat juga tak mampu “menertibkan” Wali Kota Bogor, lalu pihak mana lagi yang harus bertindak? Dalam konteks ini setidaknya ada dua pihak: Mendagri dan Menko Polhukam. Nah, kalau Wali Kota tetap tak mau taat hukum, lalu pihak mana yang harus bertindak? Jawabannya jelas: Presiden.
Berdasarkan itu, lalu mengapa SBY membuat alasan yang “mengada-ada” bahwa ia terhalang UU Pemerintahan Daerah? Bukankah itu secara tak langsung menunjukkan sikapnya yang ingin “lepas tangan”? Kalau begitu, lalu pihak mana lagi yang dapat diharapkan untuk mengatasi masalah ini?
Tidakkah presiden adalah juga kepala negara, dan karena itu SBY seharusnya bertanggung jawab jika ada daerah di dalam negara ini yang menyimpang secara hukum? Kalau dibiarkan saja, kemudian kelak ada lagi daerah-daerah lain yang berani melawan putusan MA, tidakkah negara ini berjalan menuju kehancuran?
Hal yang patut dipertanyakan, mengapa untuk masalah sepenting ini SBY tak pernah sekali pun berbicara langsung dengan cara, misalnya, menggelar konferensi pers? Mengapa harus Jubir Presiden yang menyampaikannya? Ataukah sebenarnya SBY menganggap masalah ini sepele? Bandingkan, misalnya, dengan kesediaan SBY berkali-kali menggelar konferensi pers untuk bicara soal Partai Demokrat.
Bandingkan juga dengan ketegasannya tampil di depan pers untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait tewasnya seorang praja IPDN, Cliff Muntu (2007), dan diculiknya bocah, Raisya (2007).
Pertanyaan lain, lantas apa artinya janji SBY kepada pemimpin PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang diucapkannya di rumahnya sendiri, di Cikeas, dalam sebuah pertemuan khusus pada 16 Desember 2011?
Saat itu, menurut Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom, SBY berjanji akan “turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin”. Sudah lebih sebulan berlalu, mana buktinya? Dapatkah, atas dasar itu, kita katakan SBY ingkar janji?
Sekarang saya ingin mengaitkan soal “ketidakbisaan SBY mengintervensi Wali Kota Bogor” dengan keterangan pers yang pernah disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, terkait reshuffle kabinet awal Oktober 2011.
Gaya kepemimpinan Presiden SBY, menurut Sparringa, akan diubah. Dengan gaya kepemimpinan baru nanti, Presiden akan tidak segan-segan mengintervensi para pejabat di bawah menteri. Selain itu, Presiden juga akan meminta hal sama dilakukan seluruh pejabat pemerintah pusat dan daerah, yang pada intinya akan berjuang untuk rakyat.
“Presiden sendiri mengatakan, gaya memimpinnya juga akan berubah, gaya memimpin menteri juga berubah, gaya birokrat di tingkat Dirjen juga berubah, dan seterusnya hingga gubernur, bupati, juga wali kota. Jadi, pesan Presiden sebenarnya sangat nasional, kita harus berubah,” ujar Sparringa.
Sekarang, cobalah evaluasi: bukankah ada kontradiksi antara niat (dulu) dan kenyataan (sekarang)? Dulu SBY berjanji tak akan segan-segan melakukan intevensi, tetapi mengapa sekarang begitu mudah mengatakan tak bisa mengintervensi?
Kalaulah SBY, seperti diterangkan Aldrin Pasha, sudah menginstruksikan kepada Mendagri dan Menko Polhukam sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menyelesaikan masalah ini, apakah SBY juga menindaklanjutinya secara serius dengan meminta laporan sesering mungkin terhadap kedua menteri tersebut?
Yang memprihatinkan adalah fakta berikut ini. Sejak Desember 2011 sampai 15 Januari 2012, jemaat GKI Yasmin masih dapat beribadah di rumah anggota jemaat (berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah yang lain), karena ibadah yang mereka gelar sebelumnya di trotoar dekat gereja selalu diintimidasi pihak-pihak lain.
Namun, sejak 29 Januari lalu, mereka terpaksa beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, karena ibadah di dalam rumah anggota jemaat pun (22 Januari) tak luput dari gangguan pihak-pihak lain itu.
Pertanyaannya, bagaimana SBY menyikapi kenyataan yang memprihatinkan ini? Ataukah masalah ini dipahaminya secara sempit sebagai masalah gereja saja, sehingga begitu mudahnya dibiarkan? Tidak, ini jelas bukan masalah gereja an sich. Pertama, ini masalah kebenaran dan kepastian hukum yang dipermainkan seorang kepala daerah.
Kalau MA sebagai lembaga pengadilan tertinggi sudah memutuskan, bukankah itu harus dipandang sebagai kebenaran hukum yang mesti diterima semua pihak tanpa kecuali? Karena Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukankah demi terwujudnya kepastian hukum, putusan MA tersebut harus dilaksanakan?
Kedua, ini juga masalah hak asasi warga negara Indonesia untuk bebas beribadah dan menggunakan rumah ibadahnya yang sudah berizin resmi. Bukankah pihak GKI Yasmin sudah pernah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) itu pada 2006?
Tetapi ternyata Wali Kota Diani Budiarto kemudian membatalkannya dengan alasan sepihak dan “mengada-ada”: mulanya keberatan dari warga sekitar, lalu karena GKI Yasmin berdiri di Jalan Abdullah bin Nuh yang “bernuansa” Islam (sehingga tak etis gereja berada di sana), akhirnya kembali lagi ke alasan keberatan warga sekitar.
Pertanyaannya, bukankah dengan alasan apa pun, IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dibatalkan? Sesuai Perber Dua Menteri Nomor 8 dan 9, bukankah kewenangan membatalkan itu tidak diatur untuk kepala daerah?
Akhirnya, saya ingin mengingatkan bahwa pemimpin yang baik seharusnya tak miskin solusi. Jadi, alih-alih lepas tangan dengan dalih terhalang sebuah peraturan, SBY mestinya terus-menerus mengintervensi Mendagri dan Menko Polhukam demi tegaknya wibawa hukum di negara hukum ini.
SBY juga dapat menggelar konferensi pers khusus untuk menyampaikan sebuah pesan penting: bahwa ia selaku kepala negara tak ingin Kota Bogor menjadi negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena pemimpinnya berani membangkang MA dan tak menghormati Ombudsman. ●