Si Miskin dan si Kaya di Mata Hukum


Si Miskin dan si Kaya di Mata Hukum
Bryan Bernadi, SENIOR ASSOCIATE DI KANTOR HUKUM ANDI F SIMANGUNSONG PARTNERSHIP
Sumber : SINDO, 23 Februari 2012



Berawal dari kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan, sorotan berbagai media pun mengarah pada penegakan hukum yang dinilai pro terhadap si kaya dan menindas kaum miskin.

Bahkan, sampai muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah piring dihukum 130 hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica terancam lima tahun penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri tiga buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus tersebut.

Dari kasus-kasus semacam ini, biasanya berbagai media baik elektronik dan cetak memberitakan secara gencar karena dinilai memiliki nilai pemberitaan yang tinggi. Namun yang disayangkan adalah, bahwa ketika pengambil keputusan atau pengadilan telah menjatuhkan putusan, opini dan pemberitaan yang berkembang di masyarakat kerap menunjukkan kekecewaan. Seolah-olah sudah terpasang “kuda-kuda” bahwa mereka harusnya dinyatakan tidak bersalah atau tidak dihukum, karena mereka hanyalah segelintir korban rakyat kecil yang terzalimi oleh sistem penegakan hukum di negeri ini.

Sebaliknya, dalam kasuskasus yang melibatkan orangorang besar, entah dari kalanganpengusaha, birokrat,politikus, artis,ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini, proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai proses penyidikan hingga putusan nanti.

Pada akhirnya,bilamana seseorang yang didakwa sebagai koruptor kemudian diputus bebas maka dengan mudahnya terbentuk opini bahwa pasti ada main mata dalam pengambilan putusan tersebut. Atau juga misalnya ketika seorang yang secara status ekonominya lebih kuat berhadapan dengan rakyat kecil yang kedudukan sosial-ekonominya lebih lemah,maka opini media dan masyarakat kerap membela rakyat kecil tersebut yang mereka anggap pasti terzalimi tanpa melibat lebih dulu secara saksama hal-hal yang menjadi pokok permasalahannya.

Kesamaan Kedudukan

Sesungguhnya, hukum telah mengatur bahwa kedudukan setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum. Penegakan hukum dilakukan tanpa melihat apakah yang bersangkutan kaya atau miskin, kuat atau lemah.Hal inilah yang disebut sebagai kesamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Jadi,dalam penegakan hukum yang seharusnya dititikberatkan adalah mengenai perbuatannya. Jika salah atau melanggar, hendaklah dinyatakan salah dan jika benar hendaklah dinyatakan tidak bersalah.

Pandangan dan opini masyarakat terhadap suatu kasus tertentu memang diperlukan seiring dengan proses pembelajaran demokrasi di negeri ini.Namun demikian, hendaknya pandangan tersebut tidaklah bersifat skeptis dan antipati terhadap golongan tertentu. Sebaliknya, pandangan tersebut hendaknya diberikan dari sisi objektif akan perbuatan yang dilakukan.Ketika pengadil telah mengetuk palu dan menjatuhkan putusan, di sinilah diperlukan kedewasaan kita untuk menghormati putusan yang telah melalui proses pemeriksaan tersebut.

Menurut Prof Soerjono Soekanto, penegakan hukum itu sendiri memiliki berbagai faktor seperti faktor hukumnya itu sendiri (peraturan), faktor sarana atau fasilitas penegakan hukum,faktor masyarakat,kebudayaan, serta faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor-faktor ini saling bersinergi dan melengkapi satu dan yang lain sehingga menghasilkan suatu produk penegakan hukum. Sebagai salah satu faktor penegakan hukum,dalam menjatuhkan putusan, hakim juga tidak dapat hanya sebagai corong undang-undang.

Hakim wajib menggali,mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalammasyarakatsebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu contoh putusan yang dapat kita perhatikan antara lain kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL.Kasus ini membuat geger salah satunya adalah karena ternyata sandal barang bukti sandal yang dicuri berbeda dengan sandal yang dilaporkan hilang oleh sang anggota kepolisian.

Atas hal ini pun, masyarakat kemudian bereaksi melakukan gerakan mengumpulkan seribu sandal jepit sebagai bentuk dukungan terhadap sang anak. Seandainya secara hukum sang anak terbukti bersalah melakukan pencurian, di sini hakim berperan menerapkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam kasus ini, hakim tingkat pertama tidak menjatuhkan hukuman pidana kepada sang anak, tetapi mengembalikan kepada orang tuanya untuk diberikan pembinaan.

Putusan semacam inilah yang menurut hemat penulis telah menempatkan hukum di dalam koridornya sehingga tidak hanya dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Bagaimanapun,seandainya perbuatan yang terbukti salah secara hukum haruslah dinyatakan sebagai perbuatan yang salah.Namun dengan mempertimbangkan berbagai nilainilai yang hidup dalam masyarakat, putusan atau hukuman yang dijatuhkan harus juga menunjukkan suatu kearifan yang berkeadilan dengan mempertimbangkan berbagai faktor penegakan hukum sebagaimana disebutkan di atas.

Menghukum pelaku dengan sanksi pidana bukanlah merupakan tujuan utama dari hukum pidana.Hukum pidana hendaknya dilihat sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir dalam rangka penegakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Mudahmudahan dengan terpilihnya Ketua Mahkamah Agung yang baru penegakan hukum di Indonesia dapat lebih berkeadilan, sehingga masyarakat pun dapat lebih percaya akan proses serta produk penegakan hukum di negeri ini.
◄ Newer Post Older Post ►