Ijtihad Spektakuler MK


Ijtihad Spektakuler MK
DR. HM. Nurul Irfan, SAG MAG, DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM, UIN JAKARTA;
SAKSI AHLI JUDICIAL REVIEW UU NO 1 TAHUN 1974
Sumber : REPUBLIKA, 21 Februari 2012


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat, 17 Februari 2012, terkait anak luar nikah yang disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“

Perubahan pasal ini harus dipahami secara objektif dan bijak agar membawa maslahat bagi umat dan bukan sebaliknya. Perubahan ini bukan berarti MK melegalisasi perzinaan dan prostitusi. MK hanya berupaya untuk menuangkan hasil ijtihadnya agar anak-anak yang lahir di luar nikah tetap memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan anakanak lain dan agar tidak terjadi perlakuan diskriminatif. Sehingga, sebagian kaum lelaki yang melakukan pernikahan siri, melakukan perzinaan, perselingkuhan, maupun semen leven (kumpul kebo) hingga wanita partnernya itu hamil dan melahirkan anak, harus bertanggung jawab atas kebutuhan lahir batin anak yang lahir akibat perbuatannya.

Dengan demikian, hak hidup anak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi atas dasar apa pun.

Dalam keterangan lisannya, ketua MK menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,“ mulai saat ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum yang ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Jika tambahan rumusan pasal itu dipahami hanya dari sudut pandang kalimat semata-mata, maka akan sangat wajar jika akhirnya menuai berbagai pro dan kontra di masyarakat. Oleh sebab itu, pemahaman secara runtut dan komprehensif sangat dibutuhkan agar tidak salah paham. Dan, akan membawa kepada berbagai masalah yang justru menimbulkan mafsadah bukan maslahat bagi umat. Meminjam istilah ulumul qur'an dan ulumul hadits, rumusan pasal tambahan ini harus dikaitkan dengan asbabun nuzul atau asbabul wurud yang melatarbelakanginya.

Keragaman Penafsiran

Dalam tulisan singkat ini, akan dikemukakan hal-hal mendasar terkait latar belakang diputuskannya rumusan pasal tambahan ini. Inti permohonan judicial review yang dimohonkan oleh Macicha Mochtar kepada Mahkamah Konstitusi adalah dalam rangka menggugat Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan perdata kepada ibunya. Hasilnya, sudah kita dapatkan setelah MK mengabulkan untuk sebagian permohonan Macicha. Memang harus diakui, putusan MK dalam masalah ini menimbulkan pro kontra sehingga KUA khawatir putusan MK ini mendorong masyarakat berzina.

Dengan diakuinya anak luar nikah menjadi anak sah, sebagaimana dalam putusan MK ini sangat memungkinkan munculnya beragam penafsiran. Menurut Ketua MUI Amidhan, putusan MK itu sudah merupakan bahasan turunan dari UU perkawinan. Untuk pasal yang telah disahkan MK, sudah masuk dalam ranah fikih. Ketika sudah masuk dalam wilayah fikih, tentunya akan ada beragam pendapat. Para ulama sejauh ini berpendapat bahwa anak yang lahir di luar nikah boleh dikawinkan atau sah dan mereka itu saling mewarisi.

Pro kontra semacam ini pada dasarnya telah diprediksi sebelumnya. Oleh sebab itu, pasal ini oleh ijtihad hakim MK dirumuskan seperti pada awal tulisan ini.

Kata “mempunyai hubungan darah” dalam rumusan pasal perubahan ini memang sangat sensitif sebab hubungan darah dalam kajian hukum Islam adalah nasab. Padahal, nasab merupakan salah satu dari al-kulliyyah al-khams, al-dha ruriyyat al-khams atau pancajiwa syariah. Nasab tidak mungkin dibentuk me lalui jalan perzinaan sedangkan rumusan pasal hasil ijtihad MK ini jelas-jelas mengakui keabsahan nasab anak di luar nikah yang tetap memiliki hubungan nasab dengan bapak kandungnya.

Dalam rangka menjaga nasab inilah agama Islam melarang segala bentuk perzinaan dan prostitusi serta sangat menganjurkan nikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas. Dalam hal ini, pelaku zina, baik muhshan (sudah menikah) maupun ghairu muhshan (belum menikah), harus dikenai sanksi hukum rajam atau dera 100 kali. “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.” (HR Bukhari-Muslim).

Dari hadis itu, dapat dijelaskan bahwa anak juga bernasab (hubungan darah) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, pakar hukum Islam, anak yang lahir akibat nikah siri (di bawah tangan) tetap memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Sebab, pernikahan yang sah merupakan salah satu sebab ditetapkannya nasab anak, selain hubungan badan secara syubhat (belum jelas halal-haramnya), dan ikrar/pengakuan nasab. Sementara, nasab anak terhadap ibu kandungnya ditetapkan atas dasar kelahiran, baik lahir secara syar’i (pernikahan) maupun tidak secara syar’i (perzinaan). Karena itu, keputusan MK dalam masalah ini merupakan ijtihad yang sangat spektakuler.

◄ Newer Post Older Post ►