Yang Gelap dan Terang di Hari Natal

Yang Gelap dan Terang di Hari Natal
Martin Lukito Sinaga, PENDETA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN;
KINI BEKERJA DI LEMBAGA OIKOUMENE DI GENEVA, SWISS
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011



Tentulah kita merasa waswas membaca pesan Natal 2011 dari dua lembaga utama Kristiani di Indonesia, PGI dan KWI, sebab judulnya berbunyi ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a)”.

Pasti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tak sedang mendaku sebagai yang terang dan di luar mereka yang gelap. Juga bukan bahasa eksklusif beragama yang kadang-kadang kita dengar dari kaum fundamentalisnya. Tentu bukan pula tentang bertakhtanya kuasa gelap atau yang occult, yang sering menjadi obsesi para penengking roh-roh jahat itu.

Kalau acuan Kitab Yesaya dari pesan itu kita selisik, maka kegelapan kala itu berarti suasana mencekam dan linglung akibat ancaman Kerajaan Asyur seputar tahun 700 SM. Lalu penulis kitab itu menubuatkan mesias yang akan datang memberi terang dan jalan baru bagi umat-Nya. Kekristenan yang lahir 800 tahun setelah catatan kitab ini mengulang harapan mesianik tadi dan menunjuk kepada bayi Yesus sebagai terang tersebut.

Lantas mengapa PGI dan KWI kini perlu mengulang seruan gelap dan terang itu? Apakah karena keadaan sosial politik kita di Indonesia ini linglung dan gelap berkepanjangan yang membuat seorang pemuda seperti Sondang Hutagalung perlu mencucuh api ke tubuhnya? Apakah karena keadaan serba suram begitu menetap di dalam ekonomi rumah tangga sehari-hari umat sehingga terang sudah sedemikian mendesak agar datang?

Yang Gelap dalam Hidup

Namun, tentulah terang di satu hari Natal takkan bisa menyelesaikan soal yang berat dari negeri ini. Maka, percakapan tentang terang itu bukan tentang mesianisme, bukan bahwa akan ada yang datang serta-merta membebaskan kita dari keadaan linglung di Nusantara ini.

Pesan Natal tentang yang gelap dan terang tadi ialah tentang realisme hidup dan secercah harapan untuk mengerjakan yang baik di tengah-tengahnya. Ini seperti jawaban Presiden Obama terhadap pertanyaan wartawan tentang makna agama dan pemikiran Reinhold Niebuhr baginya, yang tersua pada The New York Times terbitan 27 April 2007: ”yang jahat atau gelap sungguh ada dalam kehidupan dan kita harus dengan rendah hati kalau hendak menghadapinya. Namun, tak perlu jadi sinis walau benar bahwa pekerjaan memang sungguh berat. Di sini kita tak perlu berayun pada idealisme naif atau realisme pahit.”

Maka, tentang realisme hidup beragamalah yang tampaknya hendak dipesankan kepada kita kini. Terhadap yang gelap—katakanlah tragedi penyakit, bencana tsunami, atau kedurjanaan kekuasaan ekonomi politik—dalam sejarah dan pengalaman harian manusia, agama tak boleh mendaku mampu menyelesaikannya.

Pergulatan sungguh-sungguh atas yang gelap dan jahat dalam dunia dari seorang pemikir besar seperti Leibniz turut meneguhkan realisme tadi. Tuhan memberi manusia ”dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”, demikian simpulnya di tengah absurditas dan nestapa hidup manusia.

Seorang pemikir marxis kontemporer, Eagleton, malah meminjam bahasa agama, yaitu Evil-, untuk menjelaskan tentang kekejian yang tak terperikan dan kopong makna dari yang gelap itu. Ungkapan agama ini menurut Eagleton membantu kita menangkap entah kekelaman batin manusia, entah kedurjanaan politik yang kerap memainkan kuasanya hanya demi kekejaman belaka.

Namun, ini juga berarti bahwa yang gelap ada di dalam dan di antara kemanusiaan kita. Maka, program pembangunan atau teriakan revolusi perlu senantiasa menjernihkan batas-batas pencapaiannya.

Yang Terang di Hari Natal

Realisme beragama dengan demikian membuat kita perlu mengenal batas-batas dari cerita dan ikhtiar termurni iman sehingga ”anak-anak terang”, memakai metafor Niebuhr, jangan jadi naif dan alpa akan kekuatan kepentingan diri yang bekerja dalam sistem sosial-ekonomi sehari-hari manusia.

Peristiwa hidup yang tampak gelap ini tak bisa dipaksakan agar menjadi terang atau lebih baik dan adil. Kita yang mencoba bekerja demi sekadar perbaikan sosial masih akan terus menyaksikan beroperasinya ketidakadilan, tetapi juga di sini letak harapan tersebut: menyeruaknya sekadar kesungguhan dan kebaikan dalam hidup.

Mengutip Niebuhr, sekali lagi, jelaslah bahwa ”tidak ada yang sungguh berharga yang kita bisa capai dalam hidup, maka kita perlu ditolong oleh adanya harapan. Yang tulus yang kita niatkan tak akan bisa kita tuntaskan sendirian, maka kita perlu ditolong oleh kasih dari orang lain. Dan yang tulus itu pun tak akan sungguh jelas di hadapan orang lain tadi, maka memang kita perlu ditolong oleh adanya pengampunan darinya”.

Syukurlah, anak-anak terang tadi antara lain menjelma dalam multitude atau orang ramai dari berbagai kalangan, lintas agama dan kelas sosial, yang saling mendukung kedatangan musim semi di Arab itu.

Seruannya akhirnya terdengar realistis: kefaya ’cukuplah sudah’. Seruan ini melintas batas, ia transenden sebab mengundang begitu banyak generasi memasukinya, bahkan kini mengglobal dalam gerakan occupy Wallstreet tersebut.

Seruan dan gerakan ini, meminjam perkataan Antonio Negri dan Michael Hardt, bisa melintas batas karena cinta kasih tengah meliputi kerumunan manusia tadi. Bukan cinta kasih yang paternalistik dari atas, tetapi cinta yang tersebar melintas dan berdiam di antara manusia. Dan, kita pun bisa menambahkan di sini, bahwa terang Natal ialah tentang realisme cinta kasih seperti itu.


◄ Newer Post Older Post ►