Mengembangkan Akuakultur


Mengembangkan Akuakultur
Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA,
GURU BESAR KELAUTAN DAN PERIKANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sumber : SINDO, 23 Desember 2011




Tahun ini penduduk dunia tepat menyentuh angka 7 miliar jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 8 miliar pada 2025—kemudian 10 miliar orang pada 2100 (PBB, 2011).

Dengan jumlah penduduk seperti sekarang saja, dunia selama dekade terakhir sering mengalami krisis pangan,energi,dan air.Naiknya suhu udara, cuaca ekstrem, banjir,musim kemarau panjang serta tidak menentu akibat perubahan iklim global juga telah menyebabkan penurunan produksi pangan dunia. Hal yang lebih mencemaskan, demi mengamankan ketahanan pangan di negaranya masing-masing, negara-negara pengekspor pangan utama seperti Amerika Serikat (AS), Kanada,Rusia,Australia,Thailand, dan Vietnam akhir-akhir ini mulai membatasi, bahkan memberhentikan ekspor bahan pangan.

Tak pelak, fenomena global ini telah mengakibatkan indeks harga pangan dunia mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah pada akhir 2010 (FAO,2011). Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan, maritim, dan agraris terbesar di dunia yang memiliki potensi produksi pangan, energi,dan SDA lain yang masih melimpah, perkembangan kondisi global seperti itu sebenarnya merupakan tantangan sekaligus peluang.Salah satu cara menangkap peluangnya adalah dengan mengembangkan akuakultur (aquaculture).

Produksi Pangan dan Nonpangan

Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur terbesar di dunia sekitar 57,7 juta ton/ tahun.Pada 2010 baru dihasilkan 5,48 juta ton atau 9,6% dari total potensi produksinya.Total potensi produksi sebesar itu berasal dari budi daya di laut seluas 24 juta ha (potensi 42 juta ton/tahun),budi daya di tambak seluas 1,22 juta ha (potensi 10 jutaton/tahun),danbudidaya di perairan tawar 13,7 juta ha (potensi 5,7 juta ton/tahun). Adapun total produksi 5,48 juta ton terdiri atas rumput laut 3 juta ton (56%), sisanya 44% berupa ikan kerapu 1%,kakap 1%,bandeng 6%,nila 8%,emas 5%,lele 4%, patin 3%, gurame 1%,udang 7%, dan jenis-jenis lainnya 8% (KKP,2011).

Sebelum berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 1999 Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar keenam di dunia. Pada 2004 Indonesia menjadi produsen terbesar keempat di dunia, dan pada 2010 terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 10,86 juta ton yang berasal dari perikanan tangkap 5,38 juta ton (49%) dan perikanan budi daya 5,48 juta ton (51%). Pada 2010 sekitar 1 juta ton produk perikanan diekspor ke mancanegara dengan perolehan devisa USD3 miliar.

Selain itu,sekitar 70% dari total protein hewani yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari produk perikanan. Hanya 30% berasal dari daging,telur,dan susu. Karena harganya mahal dan permintaannya cukup besar, komoditas-komoditas tertentu dapat kita jadikan sebagai andalan ekspor, seperti mutiara, udang windu, udang vaname, kerapu bebek, kerapu macan, lobster, kepiting, kakap, teripang, dan rumput laut.Komoditas akuakultur lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik dan ketahanan pangan nasional.

Selain pangan, akuakultur juga merupakan sumber bahan baku yang potensinya luar biasa besar untuk industri farmasi, kosmetik, energi terbarukan (biofuel), dan beragam jenis industri lain.Contohnya senyawa organik karagenan, agar-agar dan alginat yang terdapat dalam rumput laut Eucheuma spp, Sargassum spp, Gracillaria sp., dan lainnya selama ini digunakan sebagai bahan campuran utama dalam industri farmasi, kosmetik, pupuk, tekstil, dan beragam jenis industri lain.

Salah satu yang menarik adalah potensi algae sebagai penghasil biofuel yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Negara-negara maju seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Kanada menargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budi daya mikro algae di laut maupun perairan tawar. Bahkan sejak 2007 Pemerintah Korea Selatan telah mewajibkan penggunaan biofuel sebanyak 5–25% dari total kebutuhan energi di sana. Salah satu jenis algae laut yang berpotensi sebagai sumber biofuel adalah Botryococcus braunii.

Keunggulan algae sebagai sumber energi selain waktu tanamnya sangat singkat (seminggu),juga dalam pemanenannya tidak butuh alat berat seperti di darat. Teknologinya pun sangat mudah dan murah, produktivitasnya sangat tinggi, dan mampu menyerap CO2 sehingga dapat menghambat global warming.

Potensi Ekonomi

Sekadar sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi akuakultur,ibarat ‘raksasa yangmasihtidur’,dapatdisimak pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma sp. Jika kita mampu mengembangkan 300.000 ha tambak (25% potensi) untuk budi daya udang vaname,maka dalam setahun rata-rata dapat diproduksi 6 juta ton udang vaname dengan nilai USD30 miliar.

Pendapatan petambak rata-rata Rp8 juta/ha/bulan,dan tenaga kerja yang terserap 1,2 juta orang. Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18% potensi) untuk Gracilaria, maka tiap tahun dapat dihasilkan 4 jutatonrumputlautkeringyang setara dengan USD2 miliar,pendapatan petambak Rp3 juta/ha/ bulan, dan lapangan kerja tercipta sejuta orang.Bila 1 juta ha perairan laut (4% potensi) dikembangkan untuk budi daya Eucheuma spp, maka dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya USD20 miliar, pendapatan pembudi daya Rp12 juta/ha/ bulan, dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.

Kita harus mampu mengelola pembangunan akuakultur secara profesional dengan menerapkan teknologi best aquaculturepractices, economyofscale, supply chain management secara terpadu, pengendalian pencemaran secara saksama, tata ruang wilayah dan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.

Jika itu semua mampu dilakukan, niscaya kita tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan kekinian (impor pangan,pengangguran, kemiskinan, dan global warming), tetapi juga mampu menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama dunia di bidang pangan,biofuel, farmasi, kosmetik, dan bioproducts lain yangkompetitif,maju,adil-makmur, dan mandiri pada 2025.
 
◄ Newer Post Older Post ►