Level Investasi Minus Intermediasi
A. Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
Agak mengejutkan, Fitch Ratings memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia persis di akhir tahun. Sebelumnya diprediksi Indonesia akan menerima peringkat layak investasi tersebut sekitar paruh kedua 2012. Mengapa begitu cepat? Apa implikasinya bagi kita?
Tentu kita hanya bisa menduga-duga. Akan tetapi, faktanya banyak negara maju yang berisiko mengalami penurunan peringkat. Fitch memberi proyeksi (outlook) negatif terhadap beberapa negara di Eropa, seperti Austria, Perancis, dan bahkan Jerman. Biasanya, proyeksi negatif lalu diikuti penurunan peringkat. Di belahan dunia lainnya proyeksi positif diberikan. Setelah Indonesia, kemungkinan Filipina juga mengalami peningkatan.
Adakah kaitan prospek penurunan peringkat di negara maju dan di negara berkembang? Tentu tak dalam rangka berpikir konspiratif, tetapi sangat masuk akal jika semakin banyak negara yang turun peringkat, investor butuh panduan untuk menaruh modalnya di tempat yang berprospek bagus. Saat investor ”ketakutan” dan cenderung menahan investasinya, dalam kalkulasi bisnis dibutuhkan peningkatan peringkat negara-negara dengan proyeksi positif. Bagaimanapun, lembaga pemeringkat adalah institusi bisnis.
Akhir-akhir ini, lembaga pemeringkat memang disorot tajam. Krisis 2007/2008 juga sering dianggap sebagai ”kegagalan lembaga pemeringkat” dalam memberi panduan investasi. Ternyata, instrumen investasi yang dianggap bagus oleh lembaga pemeringkat tak lebih dari pepesan kosong. Itu sebabnya pejabat Pemerintah AS berang ketika negaranya diturunkan peringkat utangnya. Lalu, mereka mulai memidanakan kesalahan lembaga pemeringkat terkait krisis 2007.
Di Perancis, para pejabat juga berteriak keras menolak sinyal penurunan peringkat utang, dengan menuduh kondisi keuangan Inggris jauh lebih buruk. Perdana Menteri Perancis Francois Fillon mengatakan, Inggris lebih pantas diturunkan peringkat utangnya ketimbang Perancis.
Menyelamatkan Dunia
Tak bisa disangkal, prospek perekonomian Indonesia termasuk paling menjanjikan. Bank Dunia kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 menjadi 6,2 persen. Meski terus turun, tetap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi di atas 6 persen tahun depan. Sementara negara-negara di Eropa sedang bergulat mati-matian agar tak tumbuh negatif.
Situasi ini hampir sama dengan krisis Asia 1997/1998, tetapi dengan kondisi sebaliknya. Waktu itu, Asia sangat bergantung pada negara-negara maju, seperti AS dan Eropa. Kini sebaliknya, mereka sangat memerlukan kita, bangsa Asia. Bagaimana Indonesia turut menyelamatkan dunia?
Kesepakatan jual-beli 201 unit pesawat B-737MAX dan 29 unit Boeing-737-900ERs Next Generation senilai 21,7 miliar dollar AS oleh salah satu maskapai penerbangan domestik merupakan bagian dari penyelamatan ekonomi AS. Pembuatan 230 unit pesawat itu menampung sekitar 100.000 tenaga kerja. Sementara penambahan lapangan kerja menjadi isu besar, kontrak tersebut tentu sesuatu yang menjanjikan. Demikian pula dengan perbankan AS yang sulit menyalurkan kredit karena mandeknya sektor riil.
Pasar domestik yang gemuk, dengan pertumbuhan kelas menengah yang pesat, juga jadi incaran pebisnis waralaba AS. Menurut riset Kontan, ada sederet merek baru yang segera masuk ke pasar domestik, di antaranya Round Table Pizza, Carvel, Moe’s Southwest Grill, Great American Cookies, dan Pollo Tropical. Sebelumnya, jaringan toko kelontong Jepang, 7-Eleven, sukses besar masuk ke pasar Indonesia.
Bank Dunia membuat klasifikasi kelas menengah di Indonesia jadi empat kelompok. Kelompok penduduk berpenghasilan 2-4 dollar AS per hari (38 persen dari penduduk), 4-6 dollar AS (11,7 persen), 6-10 dollar AS (5 persen), dan 10-20 dollar AS (1,7 persen). Jika kita hanya menganggap kelas menengah dengan daya beli paling tinggi sekalipun, jumlahnya tetap ada lebih dari 30 juta penduduk. Mereka adalah pangsa pasar yang sangat besar, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pakaian, hiburan, pendidikan, hingga keuangan.
Negara maju tengah berupaya menjual barang sebanyak mungkin ke negara berkembang untuk menambah devisa guna menutup defisit dan utang publik yang begitu besar. Sebaliknya, kelas menengah di negara berkembang cenderung konsumtif. Dapat dibayangkan, Indonesia akan kebanjiran produk asing sehingga diperkirakan pada paruh kedua 2012 transaksi berjalan kita akan mengalami defisit. Salah satunya, lonjakan permintaan barang konsumsi atau barang modal industri yang berorientasi melayani pasar domestik.
Intermediasi
Dengan membuat rata-rata dari penilaian beberapa lembaga pemeringkat (S&P, Moody’s, Fitch), The Institute of International Finance melakukan skenario pemeringkatan global. Peringkat beberapa negara maju terancam turun, seperti Austria, Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Jepang, dan AS. Sementara Australia, Denmark, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, dan Swiss diproyeksikan tetap.
Negara-negara berkembang masuk dalam daftar peningkatan peringkat, di antaranya Ekuador, Kolombia, Indonesia, Lebanon, Malaysia, Thailand, dan Peru. Turki dan Indonesia ada di ambang batas, masuk ke level investasi berdasarkan rata-rata dari beberapa lembaga pemeringkat. Kini, keduanya sudah masuk. Lalu, apa agenda Indonesia?
Masuknya Indonesia dalam radar investasi global hampir tak ada gunanya jika tak diikuti perbaikan fungsi intermediasi. Peningkatan modal asing akan terjadi secara drastis begitu situasi Eropa mulai tenang. Dengan begitu, biaya penerbitan obligasi jadi lebih murah. Secara umum, kita akan memperoleh biaya pendanaan lebih murah dalam jumlah besar. Persoalannya, apakah kita mampu menggunakannya untuk membangun sektor riil?
Di sisi lain, kita menghadapi lonjakan permintaan akibat tumbuhnya kelas menengah. Tanpa perbaikan sistem produksi, kita hanya jadi bangsa konsumen yang kehilangan basis industri. Predikat investasi harus segera ditindaklanjuti strategi pengembangan industri. Jika perlu, langsung di bawah kendali Presiden. Sebuah kesempatan emas yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan menjadi bumerang. Begitu banyak likuiditas, tetapi sektor riil tidak bergerak.
Dari sisi perbankan, Bank Indonesia sudah bekerja keras memperbaiki transmisi moneter, mulai dari sisi makro, industri perbankan, hingga individu-individu bank. Dari pemerintah, belum tampak ada upaya maksimal memperbaiki penyaluran anggaran. Kita beradu cepat dengan mengalirnya modal asing, yang jika tidak disalurkan akan menimbulkan gelembung-gelembung yang membahayakan. ●