Investasi dan Waralaba

Investasi dan Waralaba
Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
Sumber : SINDO, 21 Desember 2011



Perekonomian Indonesia sejak sekitar seminggu lalu hiruk-pikuk oleh dua berita penting. Pertama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyambut dengan tangan terbuka 16 waralaba asing (AS) yang akan masuk ke Indonesia.

Waralaba AS tersebut kebanyakan akan masuk ke sektor makanan dan minuman sehingga jika kesepakatan itu direalisasikan, dipastikan akan makin menambah pelaku ekonomi asing yang masuk ke Indonesia lewat mekanisme waralaba. Kedua, Indonesia baru saja mendapatkan posisi “investment grade” dari lembaga pemeringkat Fitch, dari semula BB+ menjadi BBB-.

Pemerintah gembira sekali dengan kenaikan posisi tersebut sebab merasa investasi asing akan segera membanjiri pasar Indonesia, termasuk daya jual surat berharga negara yang makin meningkat. Dari dua berita tersebut sebetulnya hal apa yang mesti dicermati pengaruhnya terhadap perekonomian nasional ke depan?

Liberalisasi dan Kedaulatan Ekonomi

Pada zaman ini hampir tidak bisa ditemui negara yang perekonomiannya hidup hanya dengan mengandalkan investasi domestik,kecuali negara tertentu yang sangat tertutup, misalnya Korea Utara. Investasi dari negara lain (asing) diperlukan karena dua alasan pokok: mengatasi kelangkaan dana domestik dan merangsang munculnya wirausaha domestik (lewat persaingan dengan usaha asing).

Negara berkembang tentu berkepentingan dalam soal ini karena karakteristik ekonominya yang ditandai dengan tingkat tabungan yang lebih kecil dari kebutuhan investasi (saving-investment gap). Demikian pula, dengan investasi asing diharapkan transfer teknologi dan persaingan ekonomi bisa mendorong kemampuan dan kemajuan ekonomi di dalam negeri. Lalu lintas investasi antarnegara tersebut menjadi lebih pesat berjalan sejak dekade 1980-an ketika proyek liberalisasi (perdagangan, keuangan, dan investasi) dilakukan secara sistematis.

Indonesia bahkan memfasilitasi investasi asing itu sejak 1967 via UU No 1/ 1967, yang kemudian terus disempurnakan lewat PP No 20/1994 dan UU Penanaman Modal No 25/2007. Hasilnya memang luar biasa, sejak 2000-2010 terdapat peningkatan peran penanaman modal asing (PMA) terhadap total investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 65% terhadap total investasi. Tetapi, pada 2010 peran PMA tersebut sudah melonjak menjadi lebih dari 70%. Dengan kata lain, sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30%.

Dengan begitu, konsep PMA sebagai pelengkap (komplementer) investasi sudah tidak berlaku lagi karena saat ini justru PMA menjadi sumber utama investasi nasional. Deskripsi itu menjelaskan dengan baik betapa liberalisasi secara perlahan menggerogoti kedaulatan dan kemandirian perekonomian nasional. Jika pada awalnya investasi asing diharapkan berperan sebagai pendorong munculnya jiwa kewirausahaan lokal, ternyata dalam realitasnya malah mendesak dan mematikan pelaku ekonomi domestik.

Operasi investasi asing itu bisa berupa langsung membuat pabrik atau eksplorasi seperti kasus industri pertambangan, perbankan, komunikasi, dan lain-lain; atau merangsek lewat model franchise/ waralaba.

Penetrasi Waralaba Asing

Metode waralaba sebetulnya bukan barang baru karena sudah ada sejak abad 19.Pada 1851 perusahaan mesin jahit AS, Singer, mengadopsi sistem waralaba untuk memperluas jaringan dan penjualan produknya. Setelah itu,di penghujung abad 19, tepatnya 1898, General Motor juga melakukan langkah serupa dengan memakai istilah “independent business”.

Setelah itu berturutturut perusahaan obat Rexall dan megakorporasi minuman, Coca Cola dan Pepsi, mengikutinya hingga saat ini (Hidayat, 2011).Sementara itu,bisnis waralaba tersebut masuk pertama kali ke Indonesia pada 1970- an, yang ditandai dengan masuknya KFC, Swensen, Shakey Pisa, dan akhir-akhir ini diteruskan oleh Burger King dan Seven Eleven.Pada 1992 sudah tercatat ada 29 waralaba asing dan enam lokal (dengan outlet sejumlah 300) yang beroperasi di Indonesia.

Perkembangan waralaba itu begitu pesat sebab lima tahun setelah itu (1997) jumlahnya melesat menjadi 265,di mana 235 milik asing dan 30 lokal, dengan outlet sebanyak 2.000. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/1998, bisnis waralaba ini juga turut terhempas sehingga tinggal 170-an waralaba asing yang beroperasi dan sekitar 500 outlet yang ditutup. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan waralaba domestik untuk merebut pasar sehingga tercatat pada periode 2000-2004 pertumbuhan waralaba domestik lokal mencapai 60%, sedangkan asing sekitar 27%.

Sampai 2010, diperkirakan omzet bisnis waralaba tersebut mencapai Rp100 triliun.Umumnya waralaba ini masuk ke lima sektor yakni food and beverages, educational products and services, retail sector, real estate services, serta laundry and dry cleaning (www.Franshising_Indonesia.c om). Celakanya, sekarang ketika waralaba lokal berkembang pesat muncul kebijakan pemerintah yang tidak bersahabat tersebut. Kebijakan longgar yang dibuka Menteri Mari Pangestu itu sekurangnya bermasalah dalam tiga hal.

Pertama, sektor usaha makanan dan minuman merupakan kegiatan ekonomi yang banyak dilakukan usaha kelas menengah ke bawah sehingga pembukaan ini menggerus ruang operasi pelaku ekonomi pada kelas tersebut. Kedua, sampai saat ini pemerintah tidak pernah menerapkan asas resiprokal dalam kerja sama ekonomi dengan luar negeri. Pelaku ekonomi asing dibiarkan melenggang bebas masuk ke Indonesia, tapi pelaku ekonomi domestik sangat sulit membuka operasi usaha di negara asing.

Ketiga, pembukaan pasar domestik secara besar-besaran dilakukan pada saat pemerintah nyaris tidak berbuat sama sekali untuk memperkuat ekonomi domestik. Ketiga hal itu tentu saja membuat luka dan menyakiti perasaan rakyat Indonesia.
 
◄ Newer Post Older Post ►