Sondang, Mati yang Hidup dan Hidup yang Mati


Sondang, Mati yang Hidup dan Hidup yang Mati
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011


Sondang Hutagalung memilih kematian untuk memuliakan kehidupan. Ia percaya, dengan segenap hati, jiwa, dan raganya, ada sesuatu yang bernama kebenaran dan keadilan. Kepercayaan itu telah ia perjuangkan sebatas kemampuannya dengan ambil bagian dalam serangkaian aksi.

Setelah aksi demi aksi bak percik bunyi yang mudah lenyap ditelan kegaduhan politik pencitraan, ia pun bertanya kepada sejawat seniornya, apa lagi yang bisa diperbuat untuk membuka mata, telinga, dan sukma pemimpin negara. Ia pun tiba pada titik simpul, tak banyak pilihan yang bisa dikerjakan orang biasa. Satu-satunya pilihan yang diharapkan bisa menyadarkan elite politik akan pentingnya memuliakan kehidupan adalah memilih kematian secara dramatis.

Berbeda dengan politik opera sabun yang obsesif dengan popularitas, Sondang mengakhiri hidupnya secara sunyi, tanpa gembar-gembor publikasi. Berbeda pula dengan aksi teroris, yang membunuh manusia lain yang tak berdosa, ia memilih mati sendirian. Ia seorang altruis sejati. Jiwa-raganya dijelmakan menjadi jiwa-raga ”politik”—wujud manusia secara keseluruhan—yang dibakar demi menerangi kegelapan hidup bersama. Dalam hal ini, meminjam ungkapan Thomas Jefferson, ”Politics, like religion, hold up the torches of martyrdom to the reformers of error”.

Perjuangan melalui bakar diri memang pilihan yang tragis. Namun, lebih getir lagi membayangkan respons mereka yang hidup dalam menyikapi pengorbanannya. Aksi ini memang berhasil mengangkat nama Sondang dari seseorang yang tak dikenal menjadi sontak terkenal, bahkan sempat menjadi trending topic di sejumlah media sosial, sebelum dibunuh oleh ekspos penangkapan Nunun Nurbaeti. Selebihnya, situasi yang lebih mengerikan membayang di hadapan kita. Sumbu jiwa bangsa ini seperti telah kering, tak memiliki sensitivitas untuk mudah tersentuh oleh kemartiran.

Sementara Sondang memilih mati demi kehidupan, yang memilih hidup justru mengalami kematian. Dalam kehidupan yang mati rasa, bahkan simpati pun menjadi barang mahal, elite negara malah mengembangkan mekanisme blaming the victim (menyalahkan korban), seperti dilontarkan pejabat dari lingkaran dalam istana: ”Pemuda berjuang harus berani hidup, bukan berani mati.”

Solidaritas sosial di kalangan aktivis pun terasa renggang; masing-masing sibuk dengan rutinitas agenda-agenda sektoral yang mudah dipecah belah oleh insentif recehan dari kuasa politik dan modal. Dalam ketiadaan agenda bersama, sulit diperjuangkan perubahan sosial. Seperti diingatkan Alimin, ”Mengapa keadaan kita tidak membaik? Karena kita selalu berjuang sendiri-sendiri. Masing-masing berjuang dengan gerombolan pengikut yang kecil.”

Dunia kampus tidak lagi menjadi jantung kritisisme yang dapat memompakan darah segar ke seluruh arteri pergerakan. Kampus-kampus yang mewarisi tradisi perjuangan mengalami perubahan mental, dampak kapitalisasi pendidikan. Dengan didominasi mahasiswa dari kalangan menengah-atas, kepekaan kampus terhadap isu-isu ketidakadilan dan kesengsaraan rakyat menipis.

Dunia kehidupan yang mengalami atomisasi dan fragmentasi sosial tidak menjanjikan kehidupan politik yang sehat. Kebaikan publik bukanlah total penjumlahan dari kebaikan individu-individu. Kebaikan publik hanya bisa ditegakkan oleh kehadiran luas manusia publik (public persons), yakni warga negara yang memiliki kepekaan, kebertautan, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebajikan hidup bersama.

Dalam kelemahan komitmen publik, menegakkan kebaikan publik seperti menegakkan benang basah. Ketika aksi keprihatinan seorang atau sekelompok warga tak lagi bergema di hati yang lain, mereka yang memperjuangkan nilai terpaksa menempuh cara ekstrem untuk mendapatkan perhatian.

Aksi bakar diri sebagai cara berjuang tidak memiliki akar antropologi yang kuat dalam sejarah Indonesia. Hal ini menyiratkan berkembangnya situasi anomali (kekacauan) dalam dunia kehidupan kita. Sarana-sarana tradisional tidak lagi efektif dalam menggerakkan perubahan sosial, yang melahirkan frustrasi sosial.

Salah satu pemicunya adalah ketercerabutan kesadaran elite dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elite lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami pengabaian. Penyelenggara negara sibuk menimbun kekayaan lewat aneka tunjangan, rente, dan korupsi, melupakan kewajiban memajukan kesejahteraan serta keadilan sosial. Elite politik melupakan kehidupan rakyat kecil yang terempas dan terputus.

Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir di alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya. Bung Karno mengatakan, ”Mereka seharusnya belajar bahwa seseorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka.... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.”

Kemartiran Sondang harus menjadi wahana pembedahan dunia politik kita secara mendasar: menggusur sistem dan pemimpin yang korup dengan menghadirkan sistem serta pemimpin yang lebih cocok dengan karakter bangsa dan alam kebatinan rakyatnya.  
◄ Newer Post Older Post ►