Quo Vadis Indonesia (1)


Quo Vadis Indonesia (1)
Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
Sumber : REPUBLIKA, 22 Desember 2011



Baik Sutan Takdir Alisjahbana (STA) maupun Bacharuddin Jusuf Habibie (BJH) memiliki obsesi yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sudah maju. Sutan Takdir Alisjahbana aktif dalam sastra dan kebudayaan sejak sebelum Sumpah Pemuda (1928) dan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945), sampai embusan napas terakhir di usia 86 tahun pada 17 Juli 1994.

Bacharuddin Jusuf Habibie aktif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) dan sebelum era Reformasi (1998), hingga sampai saat ini. Baik generasi Sutan Takdir Alisjahbana maupun generasi Bacharuddin Jusuf Habibie memperjuangkan dan mengembangkan segala usaha untuk meningkatkan peran sumber daya manusia (SDM) dalam memajukan Indonesia.

Jika Sutan Takdir Alisjahbana bersama generasinya menitikberatkan aktivitasnya pada peningkatan 'nasionalisme' dari suatu masyarakat plural dalam kebhinekaan Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie bersama generasi selanjutnya menitikberatkan aktivitas pada peningkatan 'daya saing' sumber daya manusia Indonesia di tengah proses globalisasi yang sedang berjalan.

Sasaran Sutan Takdir Alisjahbana dan Bacharuddin Jusuf Habibie sama, yaitu kesejahteraan dan keadilan yang merata, tanpa membedakan suku, agama, dan ras bagi sumber daya manusia yang hidup di benua maritim Indonesia. Namun, cara untuk mencapai sasaran tersebut berbeda karena harus disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, dan kondisi dunia masa mereka masing-masing saat berperan dan berkarya.

Ironi Kesenjangan
Wajah dunia pada masa generasi Sutan Takdir Alisjahbana (sebelum 1945) dan sekarang sangat berbeda. Dahulu tidak ada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sebagian besar dunia masih dijajah oleh beberapa negara adikuasa. Mereka menjadikan daerah jajahannya sebagai modal tempat mengeruk sumber daya alam (SDA) terbarukan dan tidak terbarukan, yang sekaligus menjadi pasar bagi hasil produk nilai-tambah mereka. Pendapatan dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hidup di negeri jajahannya, dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan pengembangan prasarana ekonomi dan iptek serta proses industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara, yang saat itu sedang berkembang.

Sekarang wajah dunia telah berubah. Bangsa-bangsa yang pernah dijajah telah merdeka dan bebas, bahkan menjadi anggota PBB. Mereka berlomba-lomba meningkatkan daya saing dan produktivitas sumber daya manusia masing-masing.

Ternyata batas negara dan jumlah penduduk suatu bangsa sangat dipengaruhi, direkayasa, bahkan ditentukan oleh penjajah; dan bukan berdasarkan pertimbangan ras, etnik, agama, budaya, bahasa, kerajaan, dan suatu dinasti yang pernah berkuasa. Nasionalisme yang baru berkembang di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan di Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan lebih berorientasi pada pragmatisme, seperti halnya pada terbentuknya India, Pakistan, Banglades, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia, dan sebagainya. Apabila kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi seluruh sumber daya manusia Indonesia yang menjadi sasaran perjuangan Sutan Takdir Alisjahbana dan generasi Bacharuddin Jusuf Habibie, untuk menilai seberapa jauh sasaran tersebut telah dicapai, kita perlu melihat kemampuan berkarya (kualitas) dari sumber daya manusia Indonesia, yang antara lain tecermin dalam profil lapangan kerja mereka.

Ternyata dari data yang kita peroleh menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup memprihatinkan. Usaha kecil dan usaha menengah menyediakan 99,46 persen lapangan kerja, sementara lapangan kerja yang disediakan oleh usaha besar hanya mencapai 0,54 persen. BPD dalam perekonomian nasional disumbang oleh hasil usaha besar (44,9 persen) hasil usaha kecil dan menengah (55,1 persen). Perbandingan nilai tambah yang dihasilkan setiap lapangan kerja oleh UK: UM: UB adalah 1: 3: 170. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan kualitas sumber daya manusia, pendidikan, produktivitas, dan penguasaan iptek.

Kesenjangan tersebut harus dihindari karena akan mengakibatkan peningkatan kesenjangan antara miskin dan kaya dan menghambat daya saing ekonomi nasional. Gambaran tentang kesenjangan tersebut juga mengingatkan kita bahwa masalah kualitas sumber daya manusia merupakan persoalan utama bangsa, yang harus menjadi perhatian dan hendaknya menjadi 'tema sentral' dalam berbagai upaya kita untuk membangun masa depan secara konsisten dan berkesinambungan.

Sejarah telah membuktikan bahwa hanya suatu masyarakat yang sumber daya manusianya merdeka dan bebas saja, yang dapat meningkatkan produktivitasnya dan akhirnya daya saing mereka. Perilaku sumber daya manusia dipengaruhi oleh budaya dan agama masyarakat bersangkutan, yang diperoleh dari kualitas proses pembudayaan. Keterampilan sumber daya manusia ditentukan oleh sistem pendidikan, penelitian, dan kesempatan bekerja masyarakat bersangkutan pula.

Dalam proses 'globalisasi', perhatian utama diberikan sekitar mekanisme 'jual-beli' bilateral, multilateral, dan global. Pasar nasional, regional, dan global dengan mata uang yang relatif stabil dan relatif kuat akan mendapat perhatian utama. 

Mekanisme pasar yang tadinya didominasi sumber daya alam dan produk karya nilai tambah dan biaya tambah sumber daya manusia, sekarang diwarnai dengan komoditas baru yang kita kenal sebagai mata uang. Arus informasi yang berlangsung cepat, tidak semua sempurna, dan rentan terhadap manipulasi sehingga akan sulit menghasilkan kebijakan yang tepat, cepat, dan berkualitas. Mekanisme pasar dan teori ekonomi yang berlaku perlu disempurnakan!

Dalam proses globalisasi, dengan cadangan valuta asing yang diperoleh dari ekspor sebagai hasil karya proses nilai tambah sumber daya manusia, dapat dimanfaatkan untuk membeli modal perkebunan dan pertambangan sumber daya alam di negara pengimpor. Beberapa masyarakat atau negara telah berhasil mengekspor produk karya dan kerja sumber daya manusianya, kemudian memanfaatkan pendapatannya untuk membiayai pembangunan dan penyempurnaan pendidikan, penelitian, serta prasarana ekonomi dan industri nasionalnya. Akibatnya, proses peningkatan produktivitas dan daya saing negara tersebut meningkat dan demikian pula cadangan valuta asingnya. 

Sebagai penanam modal, melalui proses globalisasi setiap perusahaan nasional atau multinasional dapat menjadi pemilik perkebunan dan pertambangan atau modal sumber daya alam di negara lain. Jaringan global para investor tersebut akan terus berkembang dan dimanfaatkan untuk menjadikan cadangan valuta dolar AS atau euro yang dimilikinya, berubah menjadi modal sumber daya alam di mancanegara.

Jangan Cuma Konsumen
Masyarakat akan menjadi konsumen produksi masyarakat lain, yang tanpa disadari telah menjual modal sumber daya alam perkebunan dan pertambangan yang dimiliki, yang dibayar dengan mengimpor produk yang tidak dibuat sendiri! Demikianlah, jaringan global penguasaan modal sumber daya alam oleh perusahaan nasional dan multinasional akan berkembang terus.

Masyarakat indonesia secara tradisional tidak menghalangi investor nasional atau global membangun pusat keunggulan produksi untuk pasar domestik, regional, dan global. Namun, tetap saja tidak ada pembinaan dan perhatian terhadap produksi masyarakatnya sendiri. Yang diperhatikan adalah keuntungan yang cepat dan jangka pendek.

Jika hanya neraca perdagangan dan pembayaran yang diperhatikan dan keduanya dalam keadaan seimbang bahkan menguntungkan, tanpa memberikan gambaran mengenai neraca jam kerja, dalam era globalisasi sekarang ini sulit menghindari terjadinya dilema seperti yang dilukiskan di depan. Neraca perdagangan dan pembayaran bisa seimbang, bahkan menguntungkan karena harga sumber daya alam meningkat! Namun, bagaimana nasib bangsa jika akhirnya pemilik kekayaan sumber daya alam Indonesia adalah perusahaan asing?
 
◄ Newer Post Older Post ►