Imigran Gelap

Imigran Gelap
James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011


Tanggal 17 Desember lalu, kapal yang mengangkut 248 imigran gelap asal Irak, Iran, dan Afganistan, yang berniat memperbaiki nasib di Australia, pecah dan tenggelam di perairan Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Hingga Jumat (23/12), sebanyak 146 penumpang ditemukan, 97 di antaranya tewas dan 49 selamat.

Kejadian itu membuat kita terenyak. Impian imigran gelap yang bersedia mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengenyam kehidupan yang lebih baik itu kandas bersama dengan tenggelamnya kapal yang mereka tumpangi. Bukan hanya impian mereka yang kandas, sebagian besar di antara mereka bahkan kehilangan nyawa. Sebagian kecil yang selamat pun ada yang kehilangan sanak saudara.
Itu bukanlah kejadian yang pertama, dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya ada tujuh kecelakaan kapal di wilayah Indonesia yang melibatkan imigran gelap. Namun, kejadian pada tanggal 17 Desember 2011 itu adalah kecelakaan kapal yang meminta korban terbanyak.

Australia sebagai negara seluas benua yang minim penduduk itu menjadi salah satu tujuan utama bagi imigran gelap. Mereka bermimpi dapat membangun kehidupan yang baik di Australia. Bahkan, untuk mewujudkan impiannya, mereka bersedia membayar uang 4.000 dollar AS hingga 6.500 dollar AS per orang.

Impian untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik itu adalah impian semua orang. Akan tetapi, memang tidak semua orang memiliki keberanian untuk mencoba peruntungan di negara lain, yang tidak jarang letaknya sangat berjauhan dengan negaranya sendiri. Apalagi memasuki negara yang diimpikannya itu secara ilegal.
Namun, ketika sedikit orang yang berani mencoba peruntungan itu sukses memperbaiki tingkat kehidupannya di negara impian, mereka menjadi gula yang menarik minat banyak semut untuk mengikuti jejak mereka.

Daya penarik itulah yang memancing munculnya organisasi gelap yang bekerja secara internasional, yang mengatur perjalanan orang-orang secara ilegal ke negara impiannya (human trafficking).

Ketika Australia menjadi salah satu negara tujuan utama, Indonesia sebagai negara yang letaknya paling dekat dengan Australia ikut dibuat repot mengingat tidak sedikit imigran gelap yang menggunakan Indonesia sebagai negara antara sebelum melompat ke Australia. Bahkan, tidak sedikit dari mereka (imigran gelap) masuk ke Indonesia dengan surat-surat kelengkapan resmi dan membuangnya sebelum berangkat ke Australia. Atau ada pula yang datang ke Malaysia secara resmi kemudian berangkat ke Australia dengan kapal dan terdampar di sini. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan kapal dari Malaysia kemudian singgah di Indonesia untuk melengkapi perbekalannya sebelum berangkat ke Australia.

Posisi Sulit

Sebagai negara yang letaknya berdekatan dengan Australia, Indonesia memang berada dalam posisi sulit. Misalnya, mereka terdampar di sini, apa yang harus dilakukan? Memulangkan mereka kembali ke negara asalnya, pasti tidak mungkin karena mereka pasti akan menentangnya mati-matian. Selain sudah menghabiskan semua harta benda, mereka juga tidak berani mengira-ngira apa risiko yang mereka terima jika sampai dipulangkan paksa kembali ke negaranya. Menampungnya juga sulit. Selain harus menyediakan sarana dan prasarana, Indonesia juga harus memberi mereka makan selama berada di negeri ini. Mengusir mereka dari wilayah Indonesia dan membiarkan mereka berlayar dengan segala keterbatasannya ke Australia juga tidak mungkin dilakukan.

Dulu semasa manusia perahu dari Vietnam dan Kamboja datang ke sini, Indonesia menampung mereka di Pulau Galang sebelum ditempatkan ke negara ketiga. Namun, pada waktu itu persoalannya berbeda, karena itu adalah masalah internasional. Manusia perahu itu dilihat negara Barat sebagai pelarian dari negara yang dikuasai rezim komunis, dan negara Barat yang antikomunis berupaya menerima mereka dengan memberikan suaka. Bahkan, dunia internasional ikut membiayai kehidupan mereka selama berada di penampungan (Pulau Galang) hingga mereka ditempatkan, melalui Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).

Kini, keadaannya berbeda. Imigran gelap itu dianggap sebagai pengungsi ekonomi sehingga perlakuannya juga berbeda.

Namun, khusus untuk kasus yang terakhir ini, kita kecewa. Oleh karena aparat keamanan, dalam hal ini oknum Tentara Nasional Indonesia, yang seharusnya menangkap mereka dan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku di negara ini, bukan mengambil keuntungan dari imigran gelap, yang memang akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan impiannya.

Seperti yang telah dikemukakan, persoalan imigran gelap, juga mencakup soal human trafficking (penyelundupan manusia), sangat rumit. Itu sebabnya, penanganannya harus melibatkan banyak pihak, baik di negara asal, negara transit, negara tujuan, maupun lembaga-lembaga internasional.

◄ Newer Post Older Post ►