Quo Vadiz Indonesia? (3-Habis)
Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
Sumber : REPUBLIKA, 24 Desember 2011
Ketika Presiden Soeharto lengser, maka sesuai dengan konstitusi, wakil presiden harus melanjutkan tugas presiden. Dalam waktu 24 jam, saya mengeluarkan kebijaksanaan sebagai berikut: Bebaskan semua tahanan politik di Indonesia; Bebaskan pemberian informasi dan pendapat yang bertanggung jawab, melalui media cetak dan elektronik yang bebas dan bertanggung jawab; Bebaskan masyarakat berdemonstrasi tanpa merusak dan merugikan modal pribadi atau negara.
Dengan kebijakan tersebut, semuanya segera menjadi lebih transparan dan lebih dapat diperhitungkan. Kebijakan itu berdampak positif pada pasar ekonomi dan pasar politik. Free fall nilai mata uang Rupiah segera dapat dihentikan dan secara tahap demi tahap nilai mata uang rupiah kembali ke nilai yang lebih stabil. Demikian pula pasar politik menjadi lebih transparan dan stabil. Semuanya ini penting untuk dipersiapkan sebelum pemilihan umum dilaksanakan dengan keadaan 'merdeka dan bebas bertanggung jawab', berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah.
Mekanisme pemerintahan pusat dan daerah perlu dikembangkan dan disempurnakan yang disesuaikan dengan keadaan setelah otonomi daerah diberikan agar budaya setempat dipertahankan dan ketahanan budaya meningkat. Semua ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan daya saing sumber daya manusia dalam menghadapi globalisasi.
Mengapa Dihentikan?
Walaupun demikian, patut kita bertanya: (1) Apa pelaksanaannya sudah optimal bahkan maksimal? (2) Bagaimana kesadaran kita terhadap pengembangan dan pengamanan lapangan kerja? (3) Bagaimana 'neraca jam kerja'? (4) Apakah dalam perilaku kita tiap hari sudah berorientasi pada produk dalam negeri?
Tiap tanggal 17 Agustus kita rayakan Proklamasi Kemerdekaan, tiap tanggal 20 Mei kita peringati hari Kebangkitan Nasional, dan tiap tanggal 10 Agustus Hari Kebangkitan Teknologi kita renungkan, mengenang terbang perdana pesawat turboprop canggih-N250 Gatotkaca-rekayasa dan produksi sumber daya manusia Indonesia. (1) Dapatkah dibenarkan jika hasil semua perjuangan kita dalam mengembangkan potensi dan daya saing sumber daya manusia Indonesia selama lebih dari 50 tahun kita hentikan dan persulit pembinaan prestasi nyatanya dalam bidang teknologi canggih dirgantara, kelautan, dan transportasi darat yang sudah dimiliki? (2) Apakah kita biarkan para ahli Indonesia bekerja di mancanegara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia Utara dan ASEAN dengan alasan makroekonomi?
Memang, tenaga kerja Indonesia yang pindah kerja ke luar negeri akan mendapat gaji dan upah yang lebih besar sehingga pendapatan pribadi mereka meningkat. Namun, kita ketahui juga bahwa yang bersangkutan tidak membayar pajak kepada Pemerintah Indonesia dan karena berada di luar negeri, maka biaya kehidupan dikeluarkan di luar negeri pula sehingga tidak berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Apakah hal yang demikian itu kita biarkan saja?
Teori apa pun dalam ilmu pengetahuan harus didasarkan pada filsafat dan keadaan (realitas) alami yang diketahui, disadari dan diyakini oleh masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, teori dibuat oleh manusia memiliki 'kendala awal' (initial condition) dan 'kendala batasan' (boundary condition) yang tergantung pada tempat dan waktu.
Semua masyarakat di mana pun di dunia menghendaki adanya kesejahteraan, kualitas hidup, dan ketenteraman yang merata. Untuk mencapai hal tersebut, telah diaksanakan beberapa pendekatan, seperti: (1) Pendekatan top down atau dari yang kaya ke yang miskin, yang juga dikenal sebagai sistem kapitalisme. (2) Pendekatan bottom upatau dari yang miskin (proletar) ke yang kaya, yang juga dikenal sebagai sistem komunisme. (3) Pendekatan dari tengah ke atas maupun ke bawah yang dikenal sebagai pasar yang berorientasi pada nilai-nilai sosial (soziale marktwirtschaft).
Sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan kedua diakhiri dengan bangkrutnya masyarakat yang menganut pendekatan tersebut. Sedangkan pendekatan pertama, jika tidak diadakan koreksi yang mendasar, akan menuju proses kebangkrutan pula.
Untuk mencapai tujuan yang kita cita-citakan bersama sebagai bangsa, sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, kita harus belajar dari kesalahan dan kekeliruan orang lain juga kekeliruan kita sendiri. Ingat bahwa dari pendekatan-pendekatan pertama, kedua, dan ketiga oleh para ilmuwan mancanegara telah dikembangkan banyak teori, yang ternyata juga perlu ditinjau kembali.
Uraian di atas menyadarkan kita bahwa yang harus kita perhatikan dan prioritaskan adalah kepentingan rakyat Indonesia sendiri, sebagai bangsa yang bermartabat yang sedang berjuang menuju cita-cita dengan berbagai keterbatasan yang ada. Terkait dengan masalah kepentingan tersebut, kita juga perlu bertanya: Mengapa kita biarkan pemakaian cadangan devisa dari hasil penjualan sumber daya alam kita untuk mengembangan produk militer di luar negeri?
Berbagai keadaan yang saya gambarkan sebelumnya dan ditambah lagi dengan berbagai permasalahan lain yang sedang menerpa bangsa kita, seolah telah melahirkan suatu keadaan paradoksal di Indonesia, yang dilukiskan dengan: Kita kaya tapi miskin, merdeka tapi terjajah, kuat tapi lemah, indah tapi jelek.
Orientasi dan Mentalitas Kasir
Situasi paradoksal tersebut terjadi karena seolah-oleh kita menderita penyakit orientasi, yaitu wawasan, kebijakan, atau langkah yang sejatinya akan melemahkan produktivitas, daya saing, dan bahkan ekonomi kita yang pada gilirannya akan melemahkan bangsa kita secara keseluruhan. Penyakit orientasi yang saya maksud adalah kita lebih mengandalkan sumber daya alam daripada sumber daya manusia. Selain itu, kita juga lebih berorientasi jangka pendek daripada jangka panjang (mentalitas kasir).
Kita lebih mengutamakan citra daripada karya nyata, lebih melirik makro daripada mikro ekonomi, serta lebih mengandalkan cost added daripada value added (more comparative rather than competitive advantages)./ Kita juga lebih berorientasi pada neraca perdagangan dan pembayaran daripada neraca jam kerja, lebih menyukai 'jalan pintas' (korupsi, kolusi, penyelewengan) daripada kejujuran dan kebajikan. Kita lebih menganggap jabatan (power)sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than accountable [amanah] orientation).
Keadaan paradoksal tersebut amat berbahaya kalau tidak segera kita sadari dan koreksi. Koreksi yang dapat kita lakukan ialah dengan 'penyembuhan' orentasi atau 'pelurusan' orientasi.
Di samping upaya 'penyembuhan' atau 'penyehatan' orientasi di atas, kita juga tidak henti-hentinya harus selalu menyegarkan kembali kesadaran sebagai warga bangsa yang ber-Pancasila, beragama, dan mempunyai cita-cita luhur sebagai bangsa yang beradab dan terhormat sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945.
Kita juga harus menyadari akan betapa besar risiko yang kita hadapi sebagai suatu bangsa apabila keadaan paradoks bangsa tersebut terus berlanjut tanpa adanya kesadaran dan upaya koreksi yang berarti, serius, serta berkesinambungan. Tidak mustahil, kita akan menjadi bangsa yang gagal. Memang, kita perlu memahami kesalahan (kolektif) bangsa-yang diindikasikan dengan 'penyakit orientasi'-dan kesadaran serta kesungguhan kita untuk melakukan upaya 'penyembuhan' yang serius dan berkelanjutan.
Kita mesti berkeyakinan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai budaya dan agama yang tinggi serta memahami dan menguasai mekanisme pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secanggih apa pun. Prasyarat merdeka dan bebas telah kita raih bersama untuk masa depan yang lebih sejahtera, tenteram, dan cerah merata bagi kita. Namun, akankah kita dapat meraih cita-cita masa depan kita? Akan ke sanakah kita menuju ? Mau ke mana kita? Quo vadis Indonesia! ●
Dengan kebijakan tersebut, semuanya segera menjadi lebih transparan dan lebih dapat diperhitungkan. Kebijakan itu berdampak positif pada pasar ekonomi dan pasar politik. Free fall nilai mata uang Rupiah segera dapat dihentikan dan secara tahap demi tahap nilai mata uang rupiah kembali ke nilai yang lebih stabil. Demikian pula pasar politik menjadi lebih transparan dan stabil. Semuanya ini penting untuk dipersiapkan sebelum pemilihan umum dilaksanakan dengan keadaan 'merdeka dan bebas bertanggung jawab', berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah.
Mekanisme pemerintahan pusat dan daerah perlu dikembangkan dan disempurnakan yang disesuaikan dengan keadaan setelah otonomi daerah diberikan agar budaya setempat dipertahankan dan ketahanan budaya meningkat. Semua ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan daya saing sumber daya manusia dalam menghadapi globalisasi.
Mengapa Dihentikan?
Walaupun demikian, patut kita bertanya: (1) Apa pelaksanaannya sudah optimal bahkan maksimal? (2) Bagaimana kesadaran kita terhadap pengembangan dan pengamanan lapangan kerja? (3) Bagaimana 'neraca jam kerja'? (4) Apakah dalam perilaku kita tiap hari sudah berorientasi pada produk dalam negeri?
Tiap tanggal 17 Agustus kita rayakan Proklamasi Kemerdekaan, tiap tanggal 20 Mei kita peringati hari Kebangkitan Nasional, dan tiap tanggal 10 Agustus Hari Kebangkitan Teknologi kita renungkan, mengenang terbang perdana pesawat turboprop canggih-N250 Gatotkaca-rekayasa dan produksi sumber daya manusia Indonesia. (1) Dapatkah dibenarkan jika hasil semua perjuangan kita dalam mengembangkan potensi dan daya saing sumber daya manusia Indonesia selama lebih dari 50 tahun kita hentikan dan persulit pembinaan prestasi nyatanya dalam bidang teknologi canggih dirgantara, kelautan, dan transportasi darat yang sudah dimiliki? (2) Apakah kita biarkan para ahli Indonesia bekerja di mancanegara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia Utara dan ASEAN dengan alasan makroekonomi?
Memang, tenaga kerja Indonesia yang pindah kerja ke luar negeri akan mendapat gaji dan upah yang lebih besar sehingga pendapatan pribadi mereka meningkat. Namun, kita ketahui juga bahwa yang bersangkutan tidak membayar pajak kepada Pemerintah Indonesia dan karena berada di luar negeri, maka biaya kehidupan dikeluarkan di luar negeri pula sehingga tidak berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Apakah hal yang demikian itu kita biarkan saja?
Teori apa pun dalam ilmu pengetahuan harus didasarkan pada filsafat dan keadaan (realitas) alami yang diketahui, disadari dan diyakini oleh masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, teori dibuat oleh manusia memiliki 'kendala awal' (initial condition) dan 'kendala batasan' (boundary condition) yang tergantung pada tempat dan waktu.
Semua masyarakat di mana pun di dunia menghendaki adanya kesejahteraan, kualitas hidup, dan ketenteraman yang merata. Untuk mencapai hal tersebut, telah diaksanakan beberapa pendekatan, seperti: (1) Pendekatan top down atau dari yang kaya ke yang miskin, yang juga dikenal sebagai sistem kapitalisme. (2) Pendekatan bottom upatau dari yang miskin (proletar) ke yang kaya, yang juga dikenal sebagai sistem komunisme. (3) Pendekatan dari tengah ke atas maupun ke bawah yang dikenal sebagai pasar yang berorientasi pada nilai-nilai sosial (soziale marktwirtschaft).
Sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan kedua diakhiri dengan bangkrutnya masyarakat yang menganut pendekatan tersebut. Sedangkan pendekatan pertama, jika tidak diadakan koreksi yang mendasar, akan menuju proses kebangkrutan pula.
Untuk mencapai tujuan yang kita cita-citakan bersama sebagai bangsa, sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, kita harus belajar dari kesalahan dan kekeliruan orang lain juga kekeliruan kita sendiri. Ingat bahwa dari pendekatan-pendekatan pertama, kedua, dan ketiga oleh para ilmuwan mancanegara telah dikembangkan banyak teori, yang ternyata juga perlu ditinjau kembali.
Uraian di atas menyadarkan kita bahwa yang harus kita perhatikan dan prioritaskan adalah kepentingan rakyat Indonesia sendiri, sebagai bangsa yang bermartabat yang sedang berjuang menuju cita-cita dengan berbagai keterbatasan yang ada. Terkait dengan masalah kepentingan tersebut, kita juga perlu bertanya: Mengapa kita biarkan pemakaian cadangan devisa dari hasil penjualan sumber daya alam kita untuk mengembangan produk militer di luar negeri?
Berbagai keadaan yang saya gambarkan sebelumnya dan ditambah lagi dengan berbagai permasalahan lain yang sedang menerpa bangsa kita, seolah telah melahirkan suatu keadaan paradoksal di Indonesia, yang dilukiskan dengan: Kita kaya tapi miskin, merdeka tapi terjajah, kuat tapi lemah, indah tapi jelek.
Orientasi dan Mentalitas Kasir
Situasi paradoksal tersebut terjadi karena seolah-oleh kita menderita penyakit orientasi, yaitu wawasan, kebijakan, atau langkah yang sejatinya akan melemahkan produktivitas, daya saing, dan bahkan ekonomi kita yang pada gilirannya akan melemahkan bangsa kita secara keseluruhan. Penyakit orientasi yang saya maksud adalah kita lebih mengandalkan sumber daya alam daripada sumber daya manusia. Selain itu, kita juga lebih berorientasi jangka pendek daripada jangka panjang (mentalitas kasir).
Kita lebih mengutamakan citra daripada karya nyata, lebih melirik makro daripada mikro ekonomi, serta lebih mengandalkan cost added daripada value added (more comparative rather than competitive advantages)./ Kita juga lebih berorientasi pada neraca perdagangan dan pembayaran daripada neraca jam kerja, lebih menyukai 'jalan pintas' (korupsi, kolusi, penyelewengan) daripada kejujuran dan kebajikan. Kita lebih menganggap jabatan (power)sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than accountable [amanah] orientation).
Keadaan paradoksal tersebut amat berbahaya kalau tidak segera kita sadari dan koreksi. Koreksi yang dapat kita lakukan ialah dengan 'penyembuhan' orentasi atau 'pelurusan' orientasi.
Di samping upaya 'penyembuhan' atau 'penyehatan' orientasi di atas, kita juga tidak henti-hentinya harus selalu menyegarkan kembali kesadaran sebagai warga bangsa yang ber-Pancasila, beragama, dan mempunyai cita-cita luhur sebagai bangsa yang beradab dan terhormat sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945.
Kita juga harus menyadari akan betapa besar risiko yang kita hadapi sebagai suatu bangsa apabila keadaan paradoks bangsa tersebut terus berlanjut tanpa adanya kesadaran dan upaya koreksi yang berarti, serius, serta berkesinambungan. Tidak mustahil, kita akan menjadi bangsa yang gagal. Memang, kita perlu memahami kesalahan (kolektif) bangsa-yang diindikasikan dengan 'penyakit orientasi'-dan kesadaran serta kesungguhan kita untuk melakukan upaya 'penyembuhan' yang serius dan berkelanjutan.
Kita mesti berkeyakinan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai budaya dan agama yang tinggi serta memahami dan menguasai mekanisme pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secanggih apa pun. Prasyarat merdeka dan bebas telah kita raih bersama untuk masa depan yang lebih sejahtera, tenteram, dan cerah merata bagi kita. Namun, akankah kita dapat meraih cita-cita masa depan kita? Akan ke sanakah kita menuju ? Mau ke mana kita? Quo vadis Indonesia! ●