Dilema Menaikkan Harga Minyak


Dilema Menaikkan Harga Minyak
Purbayu Budi Santosa, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNDIP
Sumber : SUARA MERDEKA, 30 Desember 2011



”Subsidi untuk minyak yang terkurangi hendaknya juga bisa dialokasikan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran”

BEBAN pemerintah terkait dengan subsidi minyak terlihat kian berat yang dapat mengganggu pembangunan berbagai sektor lainnya. Pemerintah menyatakan dana anggaran BBM subsidi diperkirakan menembus angka Rp 160 triliun sampai akhir 2011. Dengan begitu pemerintah harus menambah anggaran hingga Rp 30 triliun karena dalam APBN-P 2011 subsidi BBM dipatok Rp 129,7 triliun. Tahun 2012, pemerintah menganggarkan subsidi energi Rp 168,56 triliun terdiri atas subsidi BBM dan elpiji 3 kg Rp 123,6 triliun, serta subsidi listrik Rp 44,96 triliun termasuk pembayaran kekurangan subsidi listrik 2010 Rp 4,5 triliun (SM, 14-15/12/11).

Fluktuasi harga minyak bukan isu  baru mengingat sejak beberapa waktu lalu sering ditiupkan kabar bahwa tanpa penyesuaian harga minyak maka beban subsidi membengkak. Alternatif pemecahannya waktu itu sudah sering dikemukakan seperti  pada Maret 2011 akan dilakukan pembatasan BBM bersubsidi mula-mula di Jabodetabek dan secara bertahap berlaku secara nasional, yang diperkirakan bisa menghemat sekitar Rp 3,3 triliun.

Meskipun telah disosialisasikan lewat berbagai media dan studi penjajakan yang memakan biaya yang relatif besar, tindak lanjutnya tidak ada. Bahkan berita terbaru pemerintah bulat tekad melakukan pembatasan konsumsi BBM mulai April 2012 (SM, 26/ 12/11), perlu dicermati apa betul-betul dijalankan? Bahkan rasanya kenaikan harga minyak 2013 tidak dimungkinkan karena berkaitan dengan persiapan pemilu.

Kemudian ada alternatif pemecahan yang dikemukakan Tim Pengkaji  Pembatasan BBM Bersubsidi dengan memakai asumsi tiap kenaikan harga minyak 1 dolar AS akan menambah defisit APBN Rp 0,8 triliun. Ada tiga opsi yang dikemukan tim ini untuk melakukan pemecahan masalah kenaikan harga minyak dunia di atas batas psikologis 100 dolar per barel, yang mengakibatkan kenaikan beban subsidi .

Pertama; menaikkan harga premium Rp 500 per liter dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.000, namun angkutan umum diberi jaminan kembalian (cash back) sehingga tarif angkutan umum tidak naik. Kedua; harga pertamax dibatasi maksimal Rp 8.000 per liter. Ketiga; menjatah konsumsi BBM dengan sistem kendali (SM, 10/03/11).

Kajian yang telah dilakukan ini juga tidak ditindaklanjuti, sepertinya halnya berbagai penelitian yang hasilnya hanya ditumpuk. Kebijakan yang diambil lebih berdasarkan kepentingan politis, bukan kepentingan rakyat banyak. Justru yang muncul dari permerintah terkait dengan pemakaian BBM subsidi adalah imbauan moral.

Perlu Keberanian

Dalam situasi yang makin membebani anggaran pembangunan, Bank Dunia menyarankan untuk menaikkan BBM Rp 1.000 atau secara bertahap Rp 500/ liter. Saran ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Tim Pengkajian BBM Bersubsidi dengan opsi lebih rinci. Pertanyaannya, apakah pemerintah sekarang benar-benar berani menaikkan harga BBM, paling tidak tahun depan?

Mestinya pemerintah melakukan langkah penyesuaian harga. Memang dampak kenaikan harga akan memacu inflasi, tetapi subsidi yang terkurangi kiranya dapat digunakan membangun infrastruktur yang tertinggal dari negara lain. Akibatnya, peluang Indonesia menerima limpahan  dana berkurang karena buruknya kondisi infrastruktur, terlebih lagi kecepatan dan transparansi layanan perizinan kalah dari negara lain.

Subsidi untuk minyak yang terkurangi hendaknya juga bisa dialokasikan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Belum lagi, posisi indeks pembangunan manusia Indonesia seperti dilaporkan UNDP) beberapa waktu lalu hanya 0,617. Angka ini merosot ke posisi 124 dari 187 negara, dari tahun lalu peringkat 108 dari 169 negara. Dengan demikian pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan harus terus dipacu agar kualitas manusia Indonesia dapat bersaing.

Pengambil keputusan seyogianya bijak menyikapi perlu tidaknya menaikkan harga minyak. Jangan sampai harga minyak dinaikkan tetapi di belakang layar ternyata berisi kebohongan semata karena dalam eksplorasi tambang pihak Indonesia sering dirugikan. Sudah menjadi berita umum bahwa dalam kontrak eksplorasi minyak kita mendapat porsi lebih besar, tetapi pada akhirnya bisa terkalahkan karena ketidakjelasan biaya pengelolaan (cost recovery).

Sudah saatnya pemerintah dalam memutuskan harga barang publik memakai prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel sehingga harga yang ditetapkan lebih menguntungkan masyarakat banyak. Kalau selama ini pemerintah mengejar usaha dalam negeri terkait dengan pengelolaan yang baik kini saatnya kita melakukan kepada pihak mana pun, termasuk pihak asing.
◄ Newer Post Older Post ►