Resolusi Konflik pada 2012
Danang Probotanoyo, PENELITI CENTER FOR INDONESIAN REFORM
Sumber : REPUBLIKA, 28 Desember 2011
Miris, satu kata yang tepat menyikapi berbagai konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia sepanjang 2011. Mesuji, Papua, Ahmadiyah, Ambon, "ritual" tawuran mahasiswa di Makassar, tawuran kolosal pelajar di Ibu Kota, dan kasus Bima hanyalah sederet kecil potret konflik yang sarat kekerasan bangsa Indonesia pada 2011. Hampir tak bisa dipercaya semua itu terjadi pada bangsa yang mengaku mempunyai Pancasila, bahkan lebih jauh lagi sebagai bangsa yang menganut agama-agama dalam peri kehidupannya.
Memang, fenomena konflik telah hadir sejak awal keberadaan umat manusia dan terjadi di setiap bangsa. Diawali dari perselisihan (dispute) antara Habil dan Qabil-putra Nabi Adam-hal persembahan untuk menentukan jodoh keduanya berujung pada konflik kekerasan (violent conflict), yang membawa petaka kematian Habil di tangan Qabil. Lakon Habil-Qabil setidaknya menjadi catatan awal dari sejarah panjang konflik manusia. Katastropik akibat konflik bisa dibuktikan berupa hilangnya jutaan nyawa dan kehancuran berbagai peradaban monumental manusia.
Indonesia memiliki sejarah panjang konflik dan kekerasan (violent) dari era prasejarah hingga era reformasi sekarang ini. Ditemukannya tengkorak purba yang retak akibat pukulan kampak batu, huru-hara keris Empu Gandring yang memakan korban nyawa tujuh turunan di Singosari, tewasnya jutaan patriot di berbagai kancah pertempuran melawan kolonialisme, tragedi makar, kerusuhan politik, konflik horizontal yang berdarah-darah menjadi memorabilia konflik dan kekerasan bangsa ini.
Bila menginventarisasi konflik secara lebih mikro, yakni pada ranah interaksi bermasyarakat, niscaya akan membuat kita bergidik. Dari berbagai media massa, setiap waktu kita disuguhi pertikaian dan konflik yang tak jarang berujung pada kekerasan, seolah konflik dan kekerasan menjadi stereotip bangsa ini.
Corak dan motif konfliknya pun beragam, mulai dari yang sederhana dan interpersonal, seperti perselisihan dalam keluarga, ribut antartetangga, konflik di tempat kerja, perkelahian remaja, tawuran antarkampung dan lain-lain, hingga konflik yang bersifat komunal dan complicated, seperti masalah perburuhan, penertiban PKL, konflik pertanahan, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, hak ulayat yang terabaikan, sengketa pemilu/pemilukada, konflik SARA, pertikaian politik, dan masih banyak lagi. Singkatnya, konflik dengan segala varian sumber dan manifestasinya akan selalu hadir mengiringi perjalanan hidup kita.
Jangan Sembunyikan Potensi Konflik
Lalu, bagaimana menyikapi fenomena konflik yang bisa muncul setiap saat dengan berbagai dimensi perwujudannya? Apakah kita mempunyai kuasa untuk menghindarkan bahkan melenyapkan konflik itu sendiri?
Telah diulas di atas bahwa konflik akan selalu hadir selama peradaban manusia itu masih ada (inherent omni presence). Kodrat manusia sebagai makhluk berakal akan selalu menumbuhkan pikiran, gagasan, dan perilaku yang beragam, sehingga konflik menjadi suatu keniscayaan yang terus muncul sebagai akibat manifestasi dari segala perbedaan tersebut.
Dalam kalimat Chris Mitchell (1981), Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau mereka mengira memiliki tujuan yang tidak sejalan dan berkesesuaian (incompatible). Apalagi, dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman, baik dalam hal etnis, budaya, keyakinan, agama, disparitas status sosioekonomi, bahkan aspirasi politik bermacam-macam yang setiap saat bisa menjadi letupan-letupan konflik.
Yang perlu dilakukan di sini bukanlah menghindari konflik yang sudah telanjur muncul (manifest conflict). Fokus perhatian justru dicurahkan pada bagaimana kita mampu memahami dan mengelola konflik agar tidak menjelma menjadi konflik kekerasan (violent conflict) yang dapat berakibat destruktif, kemudian mentransformasi konflik tersebut menjadi energi positif untuk perbaikan dan perubahan di setiap lini kehidupan.
Selama ini terjadi salah kaprah di masyarakat dengan menyalahkan, mencegah, bahkan memusuhi pihak lain ketika mengungkapkan secara terbuka segala ketimpangan sosial-ekonomi, kebijakan yang salah dari para pengambil kebijakan, dan mengkritisi segala hal yang dirasakan tidak berpihak pada rakyat. Justru, perilaku berusaha menekan atau menyembunyikan segala hal yang berpotensi menimbulkan konflik (suppressing conflict) pada masa yang akan datang harus dihindari. Dengan menutupi segala ketimpangan dan semua yang serbabias dari hadapan publik justru akan membuat timbunan masalah semakin menumpuk dan terakumulasi, yang akan menimbulkan potensi konflik besar ke depannya.
Para aktivis, pengamat, dan pemerhati yang memfokuskan diri pada upaya pengkritisan dan pengungkapan segala masalah justru harus diapresiasi dan diberi ruang, karena dari merekalah segala masalah yang memendam potensi konflik (latent conflict) akan terungkap ke permukaan (intensifying conflict). Sehingga, memunculkan upaya pencarian solusi guna perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Mencegah konflik tidak berarti menghindari atau berusaha menekannya, apalagi menyembunyikannya, karena hal itu sama dengan menyimpan bom waktu.
Menurut Lacey (2003), menangani konflik berarti mengelola dan menggunakan konflik tersebut untuk memperoleh kesempatan guna kemajuan ke depan. Singkatnya, janganlah suka menyimpan kotoran di bawah permadani yang indah. Untuk itu, perlu penguasaan seluk-beluk tentang konflik, baik segi teoritis maupun aksi-aksi yang bersifat praktis, guna mencegah konflik (conflict prevention), menangani konflik (conflict settlement), mencari penyelesaian konflik (conflict resolution), dan mengubah konflik menjadi perubahan yang bersifat positif (conflict transformation).
Tanggap Konflik
Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak perlu takut, apalagi minder dengan keberagaman yang dimiliki, yang sewaktu-waktu bisa memunculkan konflik. Yang lebih urgen untuk dipikirkan dan diupayakan adalah mencegah konflik agar tidak bermetamorfosis menjadi kekerasan yang bisa berakibat destruktif.
Bangsa Indonesia harus diyakinkan untuk bisa "hidup berdampingan secara harmonis" dengan produk sosial yang bernama konflik, sebagaimana keharusan bangsa Indonesia untuk bisa hidup secara akrab dengan bencana alam yang menjadi kodrat geografisnya. Terus dipupuk pikiran positif dan kesadaran kolektif bahwa setiap konflik mengandung suatu blessing in disguise untuk perbaikan, kemajuan, dan kedamaian bangsa yang majemuk ini.
Mari, memasuki tahun 2012 nanti, kita harus lebih cerdas lagi dalam mengantisipasi dan mengatasi segala kemungkinan konflik yang timbul. Tinggalkan cara-cara tidak beradab dalam menghadapi segala persoalan dan perselisihan di antara kita. Bila itu tidak kita lakukan, berarti kita termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi. ●
Memang, fenomena konflik telah hadir sejak awal keberadaan umat manusia dan terjadi di setiap bangsa. Diawali dari perselisihan (dispute) antara Habil dan Qabil-putra Nabi Adam-hal persembahan untuk menentukan jodoh keduanya berujung pada konflik kekerasan (violent conflict), yang membawa petaka kematian Habil di tangan Qabil. Lakon Habil-Qabil setidaknya menjadi catatan awal dari sejarah panjang konflik manusia. Katastropik akibat konflik bisa dibuktikan berupa hilangnya jutaan nyawa dan kehancuran berbagai peradaban monumental manusia.
Indonesia memiliki sejarah panjang konflik dan kekerasan (violent) dari era prasejarah hingga era reformasi sekarang ini. Ditemukannya tengkorak purba yang retak akibat pukulan kampak batu, huru-hara keris Empu Gandring yang memakan korban nyawa tujuh turunan di Singosari, tewasnya jutaan patriot di berbagai kancah pertempuran melawan kolonialisme, tragedi makar, kerusuhan politik, konflik horizontal yang berdarah-darah menjadi memorabilia konflik dan kekerasan bangsa ini.
Bila menginventarisasi konflik secara lebih mikro, yakni pada ranah interaksi bermasyarakat, niscaya akan membuat kita bergidik. Dari berbagai media massa, setiap waktu kita disuguhi pertikaian dan konflik yang tak jarang berujung pada kekerasan, seolah konflik dan kekerasan menjadi stereotip bangsa ini.
Corak dan motif konfliknya pun beragam, mulai dari yang sederhana dan interpersonal, seperti perselisihan dalam keluarga, ribut antartetangga, konflik di tempat kerja, perkelahian remaja, tawuran antarkampung dan lain-lain, hingga konflik yang bersifat komunal dan complicated, seperti masalah perburuhan, penertiban PKL, konflik pertanahan, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, hak ulayat yang terabaikan, sengketa pemilu/pemilukada, konflik SARA, pertikaian politik, dan masih banyak lagi. Singkatnya, konflik dengan segala varian sumber dan manifestasinya akan selalu hadir mengiringi perjalanan hidup kita.
Jangan Sembunyikan Potensi Konflik
Lalu, bagaimana menyikapi fenomena konflik yang bisa muncul setiap saat dengan berbagai dimensi perwujudannya? Apakah kita mempunyai kuasa untuk menghindarkan bahkan melenyapkan konflik itu sendiri?
Telah diulas di atas bahwa konflik akan selalu hadir selama peradaban manusia itu masih ada (inherent omni presence). Kodrat manusia sebagai makhluk berakal akan selalu menumbuhkan pikiran, gagasan, dan perilaku yang beragam, sehingga konflik menjadi suatu keniscayaan yang terus muncul sebagai akibat manifestasi dari segala perbedaan tersebut.
Dalam kalimat Chris Mitchell (1981), Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau mereka mengira memiliki tujuan yang tidak sejalan dan berkesesuaian (incompatible). Apalagi, dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman, baik dalam hal etnis, budaya, keyakinan, agama, disparitas status sosioekonomi, bahkan aspirasi politik bermacam-macam yang setiap saat bisa menjadi letupan-letupan konflik.
Yang perlu dilakukan di sini bukanlah menghindari konflik yang sudah telanjur muncul (manifest conflict). Fokus perhatian justru dicurahkan pada bagaimana kita mampu memahami dan mengelola konflik agar tidak menjelma menjadi konflik kekerasan (violent conflict) yang dapat berakibat destruktif, kemudian mentransformasi konflik tersebut menjadi energi positif untuk perbaikan dan perubahan di setiap lini kehidupan.
Selama ini terjadi salah kaprah di masyarakat dengan menyalahkan, mencegah, bahkan memusuhi pihak lain ketika mengungkapkan secara terbuka segala ketimpangan sosial-ekonomi, kebijakan yang salah dari para pengambil kebijakan, dan mengkritisi segala hal yang dirasakan tidak berpihak pada rakyat. Justru, perilaku berusaha menekan atau menyembunyikan segala hal yang berpotensi menimbulkan konflik (suppressing conflict) pada masa yang akan datang harus dihindari. Dengan menutupi segala ketimpangan dan semua yang serbabias dari hadapan publik justru akan membuat timbunan masalah semakin menumpuk dan terakumulasi, yang akan menimbulkan potensi konflik besar ke depannya.
Para aktivis, pengamat, dan pemerhati yang memfokuskan diri pada upaya pengkritisan dan pengungkapan segala masalah justru harus diapresiasi dan diberi ruang, karena dari merekalah segala masalah yang memendam potensi konflik (latent conflict) akan terungkap ke permukaan (intensifying conflict). Sehingga, memunculkan upaya pencarian solusi guna perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Mencegah konflik tidak berarti menghindari atau berusaha menekannya, apalagi menyembunyikannya, karena hal itu sama dengan menyimpan bom waktu.
Menurut Lacey (2003), menangani konflik berarti mengelola dan menggunakan konflik tersebut untuk memperoleh kesempatan guna kemajuan ke depan. Singkatnya, janganlah suka menyimpan kotoran di bawah permadani yang indah. Untuk itu, perlu penguasaan seluk-beluk tentang konflik, baik segi teoritis maupun aksi-aksi yang bersifat praktis, guna mencegah konflik (conflict prevention), menangani konflik (conflict settlement), mencari penyelesaian konflik (conflict resolution), dan mengubah konflik menjadi perubahan yang bersifat positif (conflict transformation).
Tanggap Konflik
Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak perlu takut, apalagi minder dengan keberagaman yang dimiliki, yang sewaktu-waktu bisa memunculkan konflik. Yang lebih urgen untuk dipikirkan dan diupayakan adalah mencegah konflik agar tidak bermetamorfosis menjadi kekerasan yang bisa berakibat destruktif.
Bangsa Indonesia harus diyakinkan untuk bisa "hidup berdampingan secara harmonis" dengan produk sosial yang bernama konflik, sebagaimana keharusan bangsa Indonesia untuk bisa hidup secara akrab dengan bencana alam yang menjadi kodrat geografisnya. Terus dipupuk pikiran positif dan kesadaran kolektif bahwa setiap konflik mengandung suatu blessing in disguise untuk perbaikan, kemajuan, dan kedamaian bangsa yang majemuk ini.
Mari, memasuki tahun 2012 nanti, kita harus lebih cerdas lagi dalam mengantisipasi dan mengatasi segala kemungkinan konflik yang timbul. Tinggalkan cara-cara tidak beradab dalam menghadapi segala persoalan dan perselisihan di antara kita. Bila itu tidak kita lakukan, berarti kita termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi. ●