Sepak Bola Ken Arok
Amir Machmud NS, WARTAWAN SUARA MERDEKA
Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
KUTUKANEmpu Gandring lewat keris bergagang cangkring sebagai realitas buram perjalanan sejarah Singasari, rupanya juga terefleksi menjadi ”kutukan aktual” bagi sepak bola Indonesia, seperti halnya lanskap ambisi Ken Arok yang bertabur daki kekuasaan, cara meraih kemuliaan, dan pendakuan hak.
Keris itu memakan penciptanya sendiri karena Arok ingin memutus hulu mata rantai pergerakan ambisinya, lalu menghabisi Akuwu Tunggul Ametung sebagai target utama. Namun spiral kutukan memakan pula Arok saat sudah bergelar Sri Rajasa Ranggah Sang Amurwabhumi lewat tangan seorang pengalasan yang akhirnya tewas oleh keris yang sama.
Lalu episode saling menjegal: Anusapati tewas di tangan Tohjaya, giliran putra Ken Arok dari Ken Umang itu ditikam dalam pelarian karena pengejaran para pembalas dendam. Sampai di sini, keris haus darah itu ”mengikuti” mekanisme aksi-reaksi, respons-merespons yang sulit menemukan hilir peredaan.
Maka ketika Ketua Indonesia Football Watch Sumaryoto menganalogikan PSSI ”terkena kutukan keris Empu Gandring”, metafora tentang tikam-menikam dan jatuh-menjatuhkan itu nyata tergambarkan dari sepak bola yang bertanah lapang kekuasaan, bisnis, dan politik menjelang 2014.
VANDALISME, yang biasanya ditakutkan dari suporter sepak bola, secara sistemik kini justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa berhak mengendalikan persepakbolaan nasional. Sistem dihantam dengan pendekatan kekuasaan, berbagai keputusan dijustifikasi dengan mengklaim kebenaran. Pengkubuan antara yang di dalam sistem dan di luar sistem --antara kompetisi di jalur Indonesia Premier League dan Indonesia Super League-- mengetengahkan atmosfer yang tak berbeda dari model perlawanan pada era Nurdin Halid.
Sedemikian pentingkah menguasai induk organisasi sepak bola itu, sehingga seolah-olah menafikan apa pun untuk menjadi pengendali yang menentukan semua?
Sedemikian kuatkah tuah sepak bola sebagai pengantar orang atau sekelompok orang meraih popularitas ke tujuan kemuliaan?
Sedemikian berprospekkah industri kompetisi kita, sehingga secara bisnis pantas diperebutkan?
Sedemikian strategiskah PSSI sebagai penggalang massa bagi kepentingan-kepentingan kontestasi politik 2014 nanti?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu kita pahami sebagai latar mengapa organisasi sepak bola kita diperebutkan orang dan kelompoknya, sulit membayangkan akan adakah solusi yang mampu mementahkan ”kutukan Empu Gandring” itu.
Rezim Nurdin Halid dijatuhkan, kekuasaan Djohar Arifin Husin digoyang. Jika Kongres Luar Biasa PSSI bisa terselenggara dan Djohar pun ”di-skak mat”, adakah jaminan siapa pun yang nanti terpilih tidak juga terancam oleh ”keris milik Ken Arok” itu? Budaya tanding akan selalu muncul seiring dengan semangat pendakuan hak yang mengikuti rezim demi rezim.
Awam pun membaca, kristal pengkubuan itu merepresentasikan dua kekuatan politik besar. Antara kubu Kuningan (Nirwan Bakrie) dan Jenggala (Arifin Panigoro), yang dalam polarisasi pendukungan merefleksikan kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Jadi tegakah kita membiarkan sepak bola dijadikan permainan kepentingan, yang hanya meminggirkan peran para pemilik dan pelaku sejati: penggemar bola, pemain, pelatih, wasit, serta para pengabdi yang sesungguhnya?
Dari kegelisahan itu, kehendak KLB vis a vis defensivitas status quo dengan semua pernik yang melatari pertikaian ini harus segera terbaca oleh FIFA dengan kacamata jernih dari investigasi aktif.
KEHENDAK saling menguasai PSSI, dengan konstelasi demikian, rasanya sulit menggugah nurani rekonsiliasi. Semangat ”keris Empu Gandring” lebih menghegemoni. Padahal, akan banyak korban ketika satu pihak mendelegitimasi pihak lain dengan segala dampaknya.
Kepada siapa harapan peredaan disampirkan? Jika FIFA hanya menunggu insiatif penyelesaian dari kubu-kubu yang merasa punya keyakinan dan argumentasi karena latar politik yang lebih mendesakkan kepentingan, konflik akan terus menganga dalam format ”legitimasi formal” vs ”legitimasi faktual”.
Pastilah pemerintah canggung memainkan perannya secara berwibawa, karena para elite kekuasaan tak terhindar pula dari keberpihakan politis. Dari hulu persoalannya, sejarah juga mencatat keterlibatan pemerintah ketika ”memesan keris” lewat Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pada 2009 sebagai pengibas bendera start kemelut panjang ini.
FIFA mesti mengirim tim untuk melihat fakta-fakta, bukan hanya laporan secara de jure dari pengurus.
Namun jika FIFA memandang PSSI sekadar sebagai noktah kecil yang tak terlalu penting dalam orbit kekuasaan mereka, atau merasa hanya membuang waktu untuk turun tangan membangun stabilitas sepak bola di negeri ini, itulah tanda fenomena saling tikam bakal terus terpelihara.
Sulit untuk tidak mengatakan, jalan politik telah sedemikian tega mengolengkan bahtera sepak bola kita... ●
Keris itu memakan penciptanya sendiri karena Arok ingin memutus hulu mata rantai pergerakan ambisinya, lalu menghabisi Akuwu Tunggul Ametung sebagai target utama. Namun spiral kutukan memakan pula Arok saat sudah bergelar Sri Rajasa Ranggah Sang Amurwabhumi lewat tangan seorang pengalasan yang akhirnya tewas oleh keris yang sama.
Lalu episode saling menjegal: Anusapati tewas di tangan Tohjaya, giliran putra Ken Arok dari Ken Umang itu ditikam dalam pelarian karena pengejaran para pembalas dendam. Sampai di sini, keris haus darah itu ”mengikuti” mekanisme aksi-reaksi, respons-merespons yang sulit menemukan hilir peredaan.
Maka ketika Ketua Indonesia Football Watch Sumaryoto menganalogikan PSSI ”terkena kutukan keris Empu Gandring”, metafora tentang tikam-menikam dan jatuh-menjatuhkan itu nyata tergambarkan dari sepak bola yang bertanah lapang kekuasaan, bisnis, dan politik menjelang 2014.
VANDALISME, yang biasanya ditakutkan dari suporter sepak bola, secara sistemik kini justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa berhak mengendalikan persepakbolaan nasional. Sistem dihantam dengan pendekatan kekuasaan, berbagai keputusan dijustifikasi dengan mengklaim kebenaran. Pengkubuan antara yang di dalam sistem dan di luar sistem --antara kompetisi di jalur Indonesia Premier League dan Indonesia Super League-- mengetengahkan atmosfer yang tak berbeda dari model perlawanan pada era Nurdin Halid.
Sedemikian pentingkah menguasai induk organisasi sepak bola itu, sehingga seolah-olah menafikan apa pun untuk menjadi pengendali yang menentukan semua?
Sedemikian kuatkah tuah sepak bola sebagai pengantar orang atau sekelompok orang meraih popularitas ke tujuan kemuliaan?
Sedemikian berprospekkah industri kompetisi kita, sehingga secara bisnis pantas diperebutkan?
Sedemikian strategiskah PSSI sebagai penggalang massa bagi kepentingan-kepentingan kontestasi politik 2014 nanti?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu kita pahami sebagai latar mengapa organisasi sepak bola kita diperebutkan orang dan kelompoknya, sulit membayangkan akan adakah solusi yang mampu mementahkan ”kutukan Empu Gandring” itu.
Rezim Nurdin Halid dijatuhkan, kekuasaan Djohar Arifin Husin digoyang. Jika Kongres Luar Biasa PSSI bisa terselenggara dan Djohar pun ”di-skak mat”, adakah jaminan siapa pun yang nanti terpilih tidak juga terancam oleh ”keris milik Ken Arok” itu? Budaya tanding akan selalu muncul seiring dengan semangat pendakuan hak yang mengikuti rezim demi rezim.
Awam pun membaca, kristal pengkubuan itu merepresentasikan dua kekuatan politik besar. Antara kubu Kuningan (Nirwan Bakrie) dan Jenggala (Arifin Panigoro), yang dalam polarisasi pendukungan merefleksikan kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Jadi tegakah kita membiarkan sepak bola dijadikan permainan kepentingan, yang hanya meminggirkan peran para pemilik dan pelaku sejati: penggemar bola, pemain, pelatih, wasit, serta para pengabdi yang sesungguhnya?
Dari kegelisahan itu, kehendak KLB vis a vis defensivitas status quo dengan semua pernik yang melatari pertikaian ini harus segera terbaca oleh FIFA dengan kacamata jernih dari investigasi aktif.
KEHENDAK saling menguasai PSSI, dengan konstelasi demikian, rasanya sulit menggugah nurani rekonsiliasi. Semangat ”keris Empu Gandring” lebih menghegemoni. Padahal, akan banyak korban ketika satu pihak mendelegitimasi pihak lain dengan segala dampaknya.
Kepada siapa harapan peredaan disampirkan? Jika FIFA hanya menunggu insiatif penyelesaian dari kubu-kubu yang merasa punya keyakinan dan argumentasi karena latar politik yang lebih mendesakkan kepentingan, konflik akan terus menganga dalam format ”legitimasi formal” vs ”legitimasi faktual”.
Pastilah pemerintah canggung memainkan perannya secara berwibawa, karena para elite kekuasaan tak terhindar pula dari keberpihakan politis. Dari hulu persoalannya, sejarah juga mencatat keterlibatan pemerintah ketika ”memesan keris” lewat Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pada 2009 sebagai pengibas bendera start kemelut panjang ini.
FIFA mesti mengirim tim untuk melihat fakta-fakta, bukan hanya laporan secara de jure dari pengurus.
Namun jika FIFA memandang PSSI sekadar sebagai noktah kecil yang tak terlalu penting dalam orbit kekuasaan mereka, atau merasa hanya membuang waktu untuk turun tangan membangun stabilitas sepak bola di negeri ini, itulah tanda fenomena saling tikam bakal terus terpelihara.
Sulit untuk tidak mengatakan, jalan politik telah sedemikian tega mengolengkan bahtera sepak bola kita... ●