Adakah Cerita Keberhasilan?

Adakah Cerita Keberhasilan?
Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK,
DEKAN FISIP UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Sumber : SINDO, 30 Desember 2011



Adakah hal yang menarik, menggembirakan, dan mungkin membanggakan, yang bisa dibicarakan berkaitan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia?

Jika membaca berbagai laporan media massa tentang apa yang terjadi di sepanjang 2011, bahkan mungkin juga tahun sebelumnya, jawaban atas pertanyaan di atas pasti negatif. Pertimbangkan saja pemberitaan mengenai penegakan hukum, pelayanan kesehatan, ketakterjangkauan biaya pendidikan, korupsi, kekerasan, membanjirnya produk luar negeri, perkembangan politik kepartaian yang hanya berkutat dengan threshold, kelakuan elite politik yang saling menyandera, dan sebagainya.

Dalam konteks tema-tema itu,niscaya akan sulit ditemukan ihwal yang menggembirakan dan menjanjikan bagi perbaikan Indonesia. Hampir tak ada apa yang bisa disebut sebagai success story. Adamemang,pelaku-pelaku korupsi yang ditangkap untuk kemudian diajukan ke pengadilan. Meski demikian,masih saja muncul pertanyaan: apakah memenjarakan banyak koruptor berarti kemenangan memerangi korupsi?

Semua orang tahu bahwa korupsi tetap marak,dilakukanolehterutama para penyelenggara negara— eksekutif,legislatif,maupun yudikatif. Tidakkah yang sedemikian itu merupakan pertanda bahwakorupsimasihbelumbisa diatasi? Bukankah memenjarakan banyak koruptor di tengah masih banyaknya tindak pidana korupsi merupakan bukti bahwa korupsi sebenarnya tak terberantaskan?

Kuliah umum Dr N Hassan Wirajuda di FISIP, Universitas Islam Negeri, Jakarta, beberapa waktu lalu,menyiratkan bahwa setidaknya ada dua wilayah cerita keberhasilan. Pertama ekonomi dan yang kedua politik.

Perkembangan Ekonomi

Sebetulnya, jika kita bersedia untuk sedikit lebih nuchter dalam melihat, di bidang ekonomi terdapat isyarat yang menjanjikan. Kalau dikelola dengan sungguh-sungguh, diperlakukan secara baik,bukan mustahil sektor-sektor tertentu ekonomi kita bisa menjadi ikon keberhasilan nasional.

Secara umum, ekonomi makro kita berpenampilan bagus. Hal ini ditandai dengan inflasi dan suku bunga rendah,nilai tukar menguat,dan pertum buhan yang relatif tinggi.Di tengah krisis yang melanda Amerika Serikat dan Uni Eropa, ekonomi Indonesia bukan hanya tidak terganggu, melainkan masih bisa tumbuh di atas 6%—sebuah angka yang hanya dikalahkan oleh India (7%) dan China (9%).

Sementara itu, jumlah usia produktif mencapai 7%. Pun, sebagaimana terbukti selama ini,daya tahan ekonomi masyarakat masih tetap kuat. Ditambah dengan investment grade (negara layak investasi) yang baru saja diperoleh, terbuka kemungkinan ekonomi kita di tahun-tahun mendatang akan sangat menjanjikan.

Dalam situasi seperti itu, tidak mengherankan jika banyak pihak yang berpendapat bahwa empat negara kelompok BRIC akan segera bertambah satu— Indonesia.Yang tidak lagi bersifat spekulatif adalah, seperti disebut banyak pengamat dan dilaporkan media massa, bertambahnya jumlah orang yang bisadikategorikansebagaikelas menengah.

Menurut Bank Dunia, sekarang ini 56,5% dari 237 juta penduduk Indonesia masuk kategori kelas menengah. Kata banyak orang,bahkan para ekonom sendiri, realitas yang menggembirakan ini bukan akibat langsung dari kinerja pemerintah.Untuk sebagian besar, hal itu lebih disebabkan oleh kegiatan dunia usaha.

Konsumsi menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia. Tidak semua setuju dengan pandangan di atas. Negara dengan aparatnya yang banyak itu pasti merasa punya andil lewat kebijakan yang dirumuskannya. Ini mirip dengan perdebatan mengenai kualitas pertumbuhan yang di atas 6% itu.

Banyak yang mempertanyakan, siapa sesungguhnya yang menikmati pertumbuhan itu? Apakah seluruh rakyat menikmati pertumbuhan tersebut? Juga soal mengenai munculnya kelas menengah yang semakin banyak. Ukuran yang digunakan untuk menentukan kelas menengah masih mengundang pertanyaan.

Hal ini terutama berkaitan dengan penilaian bahwa seseorang bisa dikategorikan sebagai kelas menengah jika ia membelanjakan uangnya antara Rp18.000 sampai Rp180.000 per hari. Bagi mereka yang bukan ekonom, angka Rp18.000, bahkan sampai Rp100.000 sekalipun, akan sulit memahami pengeluaran sebesar itu sebagai ukuran kelas menengah.

Barangkali, kisaran antara Rp150.000- 180.000 lebih bisa diterima sebagai pengeluaran golongan kelas menengah bawah—lebihlebih jika mereka hidup di kota kecil atau di daerah. Terlepas dari perdebatan yang ada, secara agregat ekonomi Indonesia memang membaik. Lebih dari itu, ekonomi rakyat juga telah menunjukkan daya tahan yang luar biasa selama 13 tahun terakhir ini.

Transformasi Politik

Di luar ekonomi, Indonesia sebenarnya bisa berbangga dengan proses transformasi politik yang berlangsung sejak 1998. Memang pada tahun-tahun awal reformasi,kita mengalami pergolakan yang luar biasa. Di dalam proses penjebolan benteng otoritarianisme Orde Baru,banyak korban yang jatuh,baik dalam konteks jiwa maupun harta.

Ketika pemilu demokratis diselenggarakan pada 1999,masih terdapat korban jiwa.Hal itu terjadi bukan pada hari dilaksanakannya pemungutan suara, melainkan pada suatu kesempatan ketika kampanye berlangsung.Gesekan-gesekan politik partisan, seperti yang terjadi di daerah Jepara pada waktu itu, telah menimbulkan korban jiwa.

Sebagai antisipasi, di kota besar semisal Jakarta, sekolah-sekolah diliburkan. Sementara itu,banyak gedung yang dipasangi pelbagai alat pengaman bangunan agar tidak menjadi sasaran kemarahan. Akan tetapi, lima tahun setelah itu, proses demokratisasi berjalan damai. Pemilu 2004 boleh dibilang aman. Demikian juga pada Pemilu 2009. Yang pantas dibanggakan di sini tentu bukan soal kualitas demokrasinya.

Tetapi, Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu demokratis secara damai, yang melibatkan lebih dari 170 juta pemilih, 600.000 tempat pemungutan suara (TPS), jutaan petugas, beban logistik yang berat, dan voting turnout yang besar, adalah hal yang luar biasa.

Jika pemilu demokratis di India masih diwarnai kekerasan, dan di Amerika Serikat hanya mampu mendatangkan voting turnout di bawah 50%, pemilupemilu di Indonesia pasca-1998 sebenarnya merupakan cerita keberhasilan tersendiri. Ditambah dengan pemilihan umum kepala daerah, baik pada tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota,yang jumlahnya lebih dari 400, dapat dikatakan bahwa pusat sirkulasi kekuasaan secara demokratis ada di Indonesia.

Komunikasi

Kenyataannya adalah dua hal di atas,ekonomi dan politik, justru menggenapkan persoalan- persoalan yang ada di Indonesia. Praktik ekonomi dan demokrasi di negeri ini masih ada masalah—seperti dalam kualitas––adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi, Indonesia mengalami capaian-capaian yang luar biasa di kedua bidang tersebut juga tidak bisa dinafikan.

Salah satu kunci persoalan dalam hal ini adalah komunikasi. Mengomunikasikan kepada publik bahwa secara bersamasama— bukan hanya negara, apalagi pemerintah periode tertentu—kita telah mencapai tahapan penting dalam perjalanan sejarah.

Secara bersama- sama kita telah berhasil mentransformasikan Indonesia dari negara otoriter yang di penghujung hayatnya mengalami krisis moneter dan finansial yang luar biasa ke negara demokratis yang bukan hanya mampu keluar dari krisis, tetapi juga berkembang secara ekonomi.

Ini penting sebab di tengah masih banyaknya masalah, publik memerlukan keyakinan dan peneguhan secara terusmenerus bahwa memang ada capaian-capaian yang berguna bagi masa depan Indonesia. Memang harus diakui bahwa hal ini tidak mudah dilakukan.

Keberhasilan membangun demokrasi yang masih diwarnai politik transaksional yang kental, kemampuan menjaga inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan yang hanya disaingi India dan China mungkin, barangkali tidak dirasakan secara langsung dan segera manfaatnya oleh sebagian masyarakat—apalagi mereka yang sehari-hari masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Kalangan kelas menengah yang semakin berkembang pun tidak begitu menghiraukan atas apa yang dilakukan negara. Di tengah hiruk-pikuknya politik transaksional, yang terpenting bagi mereka adalah bekerja dan bekerja.

Kenyataan bahwa yang lebih banyak dicerna masyarakat adalah masalah demi masalah, ketimbang cerita keberhasilan mengenai transformasi Indonesia,boleh dibilang negara telah gagal dalam mengomunikasikan kepada publik mengenai pentingnya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, pemerintah tidak melihat hal ini sebagai prioritas. Alih-alih mereka sibuk dengan berbagai urusan teknis komunikasi—soal BlackBerry yang harus mendirikan pabrik di Indonesia, mengontrol isi dan arus komunikasi, desa yang harus kemasukan jutaan jaringan telepon, dan sebagainya.

Pendeknya, negara telah gagal mengomunikasikan apa yang seharusnya dikomunikasikan, sehingga dalam diri masyarakat tumbuh optimisme—bahwa memang ada sesuatu yang penting yang telah dihasilkan,dan kita semua menuju ke arah dan titik yang lebih baik. Sampai kita semua menyadari bahwa memang ada cita- cita bersama yang harus disongsong secara bersama-sama pula, optimisme tidak akan tumbuh.

Cerita keberhasilan hanya menjadi sesuatu yang diaku oleh kelompok,yang tidak dirasakan secara bersamasama. Sementara itu, tahun 2012 dijamin tidak akan memiliki resolusi apa-apa, sematamata berjalan atas apa yang sudah digariskan di tahun-tahun sebelumnya.
◄ Newer Post Older Post ►