Indonesia sebagai Laboratorium


Indonesia sebagai Laboratorium
Dian R. Basuki, PEMINAT MASALAH SAINS
Sumber : KORAN TEMPO, 29 Desember 2011


Indonesia adalah laboratorium raksasa. Di negeri ini ada berlimpah persoalan yang dari dalamnya kita dapat menggali berbagai berkah. Kita hidup berdampingan dengan 129 gunung berapi, yang letusan dahsyatnya mengirim maut sekaligus menebarkan kekayaan mineral. Kita dikepung laut yang sangat luas, yang sanggup menelan kapal-kapal namun menawarkan makhluk air yang amat bermanfaat.

Jumlah penghuni yang bergerak menuju 250 juta merupakan tempat belajar yang kaya perihal penyakit, genetika, bahasa, ketegangan sosial, korupsi, dan sebut saja apa. Ini negeri yang memberi inspirasi bagi orang-orang yang berkehendak meneguk pengetahuan, bahkan sejak dulu telah menawan Wallace dan Junghuhn.

Dengan persoalan yang begitu berlimpah, kita sepertinya tidak cukup memiliki kehendak untuk belajar dari alam. Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, rob yang menerjang Jakarta, Merapi yang memuntahkan isi perutnya, dan Krakatau yang selalu disebut oleh ilmuwan dunia seolah tak cukup membuat kita tergerak untuk menjadikan ilmu pengetahuan (sains) sebagai basis dalam mengelola kehidupan. Mitigasi bencana jadi sekadar wacana lantaran pengetahuan yang terbatas mengenai alam kita.

Sains, di negeri ini, belum lagi menjadi basis bagi pengambilan kebijakan pembangunan. Kepentingan bisnis kerap mengalahkan pertimbangan rasional. Misi yang dicanangkan Dewan Riset Nasional untuk menempatkan iptek sebagai landasan kebijakan pembangunan nasional dan berkelanjutan akan membentur dinding tebal bernama kepentingan politik dan ekonomi.

Hingga akhir 2011 ini, kita mendengar keluhan yang sama seperti tahun-tahun yang silam: biaya riset yang kecil, penghargaan yang rendah kepada ilmuwan, arah penelitian yang tidak jelas, dan hasil riset yang kurang termanfaatkan. Zuhal Abdul Kadir, Ketua Komisi Inovasi Nasional, mengatakan kemampuan riset iptek peneliti Indonesia tak perlu diragukan. Soalnya ialah, ilmuwan tak cukup mampu menyuburkan lahan persemaiannya sendiri tanpa kepemimpinan negara dalam riset.

Penguasaan sains dan teknologi tengah bergerak dari Barat menuju Timur, kata Kishore Mahbubani dalam Asia Hemisfer Baru Dunia. Ramalan itu benar untuk Cina dan Korea Selatan. Sedangkan bagi kita, kita harus membuktikan bahwa pandangan Mahbubani itu benar. Riset yang berperan penting dalam percepatan kemajuan ekonomi bangsa hanya akan berhenti sebagai jargon bila dana riset tidak didongkrak dari angka 0,03 persen dari PDB.

Lukman Hakim, Ketua LIPI, menyebutkan angka 1 persen sebagai minimal--itu berarti pelipatgandaan sebesar 33 kali. Anggaran riset Cina sudah 1,5 persen PDB dan menuju 2 persen. Korea Selatan, yang pada 1970-an masih setara dengan kita, kini melaju lebih cepat. Laporan Royal Society, Networks and Nations: Global Scientific Collaboration in the 21st Century, mencatat pertumbuhan biaya riset yang meningkat rata-rata 45 persen dalam kurun 2002-2007. Pertumbuhan terbesar ditunjukkan Cina.

Dalam publikasi ilmiah, Cina naik dari posisi keenam menjadi kedua dengan jumlah penerbitan melonjak dari 4,4 persen menjadi 10,2 persen. Di urutan pertama masih AS, dengan kontribusi yang menurun signifikan dari 26 persen menjadi 21 persen. Iran tumbuh luar biasa dalam publikasi ilmiah, dari 736 artikel (1996) menjadi 13.238 artikel (2008).

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari Cina? Bukan hal yang luar biasa. Sebab, pelajaran itu sudah jelas: sediakan biaya riset dan pendidikan dasar sains yang besar. Iran menargetkan biaya ini mencapai 4 persen dari PDB pada 2030, melonjak tajam dibanding 0,59 persen pada 2006. Komitmen pengambil keputusan (eksekutif dan legislatif) untuk membangun bangsa berbasis sains dan teknologi masih harus didorong. Dibandingkan dengan insentif penelitian Rp 50 juta per topik, biaya pemilu sangat mewah dan berfoya-foya.

Indonesia memang dipuji sebagai negara yang ekonominya tengah bagus ketika Amerika dan Eropa diguncang prahara. Di balik itu, survei Bank Indonesia menemukan fakta yang mencemaskan: inovasi terbesar di sektor usaha merupakan inovasi rendah (78 persen), sedangkan menengah 20 persen dan inovasi tinggi hanya 2 persen. Kontribusi usaha besar bagi perekonomian nasional memang mencapai 44,9 persen. Tapi, seperti disebutkan B.J. Habibie di depan sidang Dewan Riset Nasional baru-baru ini, sumbangan itu bukan berasal dari penguasaan iptek, melainkan dari penjualan hasil tambang.

Penghargaan yang rendah bagi ilmuwan bukan satu-satunya alasan, bahkan mungkin bukan alasan utama, bagi ilmuwan Indonesia untuk berkiprah di negeri orang. Bagi ilmuwan, kesempatan untuk menguak misteri alam ini merupakan penghargaan yang jauh tak ternilai. Seorang ahli gunung berapi dengan nada iri menceritakan bagaimana Singapura, yang relatif aman dari bencana geologi, memiliki pusat kajian gunung berapi, Earth Observatory of Singapore. Beberapa ilmuwan kita bergabung di sana.

Brain drain adalah fenomena yang mungkin kurang kita cermati. Jika kita berkeliling ke banyak negara, kita akan mendapati astronom hebat kita di Max Planck Institute, ahli neurosciencekita mengajar di University of Wisconsin, ahli oseanografi kita mengajar di Louisiana State University. Sudut pandang nasionalisme, barangkali, terlalu sempit untuk memahami situasi brain drain.

Kita memang masih memiliki lembaga riset yang membanggakan, seperti Bosscha dalam astronomi dan Eijkman dalam riset dasar biomedik. Pusat riset semacam ini semestinya memperoleh perhatian serius. Ketimbang memecah anggaran riset untuk membiayai banyak sekali topik, fokus pada isu-isu tertentu yang fundamental akan lebih bermakna dalam jangka panjang.

Di luar itu, ada isu yang tak kalah strategisnya: menjadikan “literasi (melek) sains” (science literacy, scientific literacy) sebagai program negara. Di samping mendongkrak anggaran riset sainsnya agar menjadi basis pembangunan, Cina menempuh strategi membuat rakyatnya melek sains agar mampu mengimbangi pertumbuhan cepat jumlah doktor mereka.

Bagaimana dengan kita? Yang kita saksikan ialah relatif jauhnya jarak yang terbentang antara pengetahuan dan tindakan. Pengambilan keputusan kerap kehilangan konteks dari ilmu pengetahuan.

Alih-alih berbicara tentang “partikel Tuhan” yang menjadi isu panas tahun ini di kalangan fisikawan, yang sangat kita butuhkan dalam waktu dekat ialah mewujudkan kemauan untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai basis pembangunan manusia. Pertama-tama, dengan menyediakan anggaran riset yang besar. Indonesia adalah laboratorium alam raksasa yang membuat kita menyesal bila mengabaikannya. 
◄ Newer Post Older Post ►