Sinterklas dan Natal
Trisno S. Sutanto, EDITOR JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 26 Desember 2011
Kadang saya ragu, apakah Natal memang masih merupakan perayaan kelahiran Yesus yang diyakini sebagai pemenuhan janji berabad-abad lamanya tentang kedatangan Sang Mesias? Atau sesungguhnya, paling tidak dalam imajinasi populer, Natal adalah perayaan tentang figur Sinterklas dan kesempatan berbelanja habis-habisan sebelum tahun berganti?
Tokoh satu ini memang luar biasa populer dan disukai hampir oleh setiap kalangan, apapun latar belakang keagamaannya, dan berapapun usianya—walau paling populer di kalangan anak-anak. Dilukiskan sebagai kakek tua berjenggot putih, dengan perut buncit, pipi merah dan wajah selalu tersenyum gembira, berpakaian baju hangat berwarna merah-putih dan paling suka berseru, ‘Ho..ho..ho!’, Sinterklas sekilas kelihatan lebih afdol dan layak dijadikan simbol meriahnya Natal ketimbang figur Yesus. Sebab, dalam soal Sinterklas, memang tidak dibutuhkan laku iman. Dan ini punya ironi tersendiri.
Maksud saya begini: Anda tidak perlu menjadi orang kristiani agar mampu jatuh hati pada Sinterklas dan merasakan kegembiraan masa Natal. Juga tak perlu percaya maupun berdebat sengit, apakah benar Sinterklas datang dari kutub Utara, naik kereta salju yang ditarik Rudolph, si reindeer berhidung merah, dan masuk lewat cerobong asap untuk membagi-bagikan hadiah. Semua kisah itu, anggaplah saja, legenda guna memaniskan jalannya cerita yang tak perlu membuat orang terusik. Dan mungkin karena itulah, sejak awal bulan Desember, berbagai mall dan pusat-pusat belanja di Jakarta sudah berhias diri dengan pernak-pernik Natal, lengkap dengan figur Sinterklas maupun putih kapas pengganti salju. Semua orang menerimanya—dan, saya rasa, MUI belum mengeluarkan fatwa haram terhadap figur satu ini, walau melarang orang mengucapkan ‘Selamat Natal’.
Namun ada sisi ironis di sini. Pada satu sisi, gambaran tentang Sinterklas merupakan distorsi historis terhadap figur St. Nicholas, Uskup Myra yang dikenal memberi perhatian besar pada kaum miskin dan anak-anak, dan meninggal 6 Desember 343. Tanggal kematiannya itu, sampai sekarang, dirayakan oleh gereja sebagai St. Nicholas Day. Sementara itu Santa Claus (di Indonesia, karena warisan Belanda, lebih dikenal sebagai Sinterklas) adalah adaptasi sekaligus temuan jenial di Amerika abad ke-19 guna menjinakkan pesta-pesta libur Natal yang kerap berisi mabuk-mabukan, sekaligus mencerminkan nilai-nilai baru tentang keluarga dan masa kanak-kanak yang harus dilindungi dari lingkungan berbahaya.
Tanpa harus masuk ke rincian historisnya—untuk telaah lebih rinci, lihat http://www.stnicholascenter.org/pages/origin-of-santa/yang memikat—bisa dikatakan, di tengah konteks baru itu figur St. Nicholas berubah bentuk dan fungsi. Apalagi pada tahun 1821 terbit buku bergambar berjudul Children’s Friend yang pertama kali melukiskan ‘Sante Claus’ datang dari kutub Utara naik kereta salju—cerita yang, dalam sekejap, memikat imajinasi publik. Maka legenda baru, yang dirasa lebih cocok dari segi didaktis maupun komersial, pun lahir.
Sisi lain dari ironi itu lebih menohok: Sinterklas merupakan distorsi dan pendangkalan makna Natal. Sebab dalam figur Sinterklas, seluruh pewartaan Natal kehilangan arti dan kekuatannya sebagai warta tentang solidaritas radikal Allah pada kehidupan manusiawi yang serba rentan, dan hanya tinggal sebagai peristiwa liburan, hiburan, dan ilusi kenikmatan berbelanja sesaat.
Dalam diri Sinterklas, kita tidak dapat mencandra wajah-wajah kesengsaraan dan kerentanan hidup manusiawi, tempat di mana Yang Ilahi justru memilih untuk hadir, dan karenanya disebut ‘Imanuel’, ‘Allah-beserta-kita’. Sebaliknya, raut wajah Sinterklas selalu tersenyum dan tertawa gembira, memberi kesan ilusif bahwa everything’s okay, sekaligus membujuk orang untuk berbelanja lebih banyak agar bisa memberi lebih banyak lagi. Bukankah, dalam cerita Sinterklas, apa yang disebut kasih sayang hanyalah jika seseorang memberi banyak barang kepada orang lain? Karena itu, saya lupa siapa yang mengatakannya dengan bagus, Sinterklas patut dijuluki sebagai salesman paling berhasil dalam seluruh sejarah bisnis modern.
Padahal warta Natal persis kebalikannya! Natal bukanlah soal berbagi hadiah—kalau hanya itu, orang dapat melakukan kapan saja, tak perlu menunggu sampai masa Natal tiba. Sebaliknya, Natal adalah soal penantian penuh harap (itu sebabnya ada masa penantian, adventus, selama empat minggu sebelum Natal tiba), dan warta tentang jawaban radikal Allah yang menerima kerentanan hidup manusiawi sebagai sarana bagi kemuliaan-Nya. Natal juga merupakan pilihan-pilihan eksistensial manusia guna menjawab undangan Yang Ilahi itu: Maria yang menjawab ‘Ya!’ terhadap salam malaikat Gabriel; Yusuf yang harus menjawab ketika melihat tunangannya sudah hamil; orang Majus yang harus memilih kembali ke Herodes atau mengambil jalan lain, dstnya.
Tetapi seluruh kompleksitas cerita Injil tentang kelahiran Yesus itu hilang ketika masa Natal direduksi menjadi sekadar figur Sinterklas, undangan belanja, dan masa libur panjang di akhir tahun. Mungkin ini ‘nasib’ yang harus diterima ketika suatu perayaan keagamaan kehilangan élan vital-nya, entah terserap menjadi sekadar pernak-pernik budaya konsumerisme global, atau menjadi sekadar seremoni yang membosankan dan membuat orang mengantuk. Di situ pesan-pesan keagamaan mengalami proses insignifikansi maupun irrelevansi—tak lagi mampu memberi horison guna memaknai kehidupan, sekaligus tak lagi gayut dengan pergulatan sehari-hari.
Masa Natal adalah contoh par excellence kedua proses tadi. Di situ ibadah Natal di gereja kerap menjadi sekadar repetisi ritus-ritus lama, mengulang cerita yang sudah didengar sejak masa kanak-kanak tentang seorang perawan yang melahirkan Yesus di kandang domba di kota kecil Bethlehem—sebuah kisah yang hampir tak lagi mampu berbicara apa-apa bagi orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta. Sementara itu, kegembiraan Natal direduksi menjadi sekadar kegembiraan masa liburan panjang akhir tahun, ajang promosi dan pemuasan ‘mesin hasrat’ berbelanja tanpa batas.
Lalu orang memang layak bertanya, apa yang masih tersisa dari Natal? Jawabnya terserah Anda! ●