“State Capture” dan Korupsi Politik
Burhanuddin Muhtadi, DOSEN FISIP UIN JAKARTA DAN PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA
Sumber : SINDO, 14 Januari 2012
Sebuah fakta kooptasi dan penghisapan negara oleh elite kapital berhasil dipetakan oleh survei Business Environment and Enterprise Performance Survey (BEEPS) yang dilakukan Bank Dunia dan European Bank for Reconstruction and Development (EBRD).
Survei ini dilakukan dalam empat tahap, dimulai sejak 1999 hingga 2009 dengan sampel sebanyak 6.500 hingga 11.800 perusahaan di 29 negaranegara Eropa Timur dan Asia Tengah (bekas pecahan Uni Soviet). Survei BEEPS membagi relasi perusahaan dan negara dalam tiga bentuk. Pertama, state capture atau pemberian suap kepada pejabat publik/ pengambil keputusan untuk memengaruhi pembuatan UU dan peraturan. Kedua, influence, yakni kapasitas perusahaan dalam memengaruhi proses pembuatan kebijakan tanpa harus membayar suap.
Ini karena pemilik perusahaan adalah tokoh politik atau “interaksi” yang cukup dekat dengan pejabat. Ketiga, korupsi administratif berupa sogokan kepada pejabat atau penegak hukum agar tidak melaksanakan aturan sebagaimana mestinya. Untuk mengukur state capture dilihat dari sisi “dampak”dan “perilaku”.Ada enam komponen yang membentuk indeks tinggi rendahnya state capture: (1) jual beli keputusan di parlemen untuk kepentingan perusahaan, (2) jual beli keputusan presiden, (3) korupsi di Bank Sentral, (4) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus kriminal, (5) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus perdagangan, serta (6) sumbangan untuk partai dan kampanye politik.
BEEPS menemukan state capture sangat tinggi di Azerbaijan, Bulgaria, Kroasia, Rusia, Georgia, Latvia, dan Ukraina. Adapun perusahaan yang memiliki pengaruh (influence) dibedakan pada dua level, di tingkat eksekutif dan legislatif.Korupsi administratif diukur melalui pertanyaan yang diajukan kepada pemilik atau manajer perusahaan: “Berapa proporsi dari keuntungan rata-rata per tahun yang diberikan kepada pejabat publik sebagai pemberian tak resmi?” Hasilnya, negara-negara pecahan Uni Soviet lebih tinggi tingkat korupsinya ketimbang negara-negara di Eropa Timur.
State Capture di Indonesia
Sayangnya BEEPS tidak memasukkan Indonesia sebagai negara yang disurvei sehingga kita mendapatkan gambaran lebih spesifik mengenai state capture di Indonesia. Bisa jadi gejala state capture di Indonesia lebih buruk ketimbang negara-negara yang disurvei BEEPS.Sudah menjadi rahasia umum, calon-calon pejabat publik atau penegak hukum sudah “diijon” dengan memenuhi segala kebutuhan materiil sejak mereka masih sekolah. Ada dua alasan utama mengapa state capture berkembang biak di Indonesia.
Pertama, secara kultural, feodalisme menjadi hambatan pemberantasan korupsi.Dalam teori negara patrimonial,relasi pemimpin atau elite politik sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyat bersifat asimetris. Sebagai patron, elite polit i k m e n - dominasi sumber daya ekonomi-politik. Siapa pun yang ingin mendapat akses sumber daya politik maupun ekonomi harus melayani sang patron. Praktik busuk inilah yang terjadi di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan kita. Terjadi lingkaran korupsi yang melibatkan anggota DPR dan birokrat sebagai patron dengan pengusaha sebagai klien.
Proyek baru diberikan kepada pengusaha yang dianggap paling memuaskan dalam memberikan “pelayanan” kepada anggota DPR dan birokrat. Dalam hubungan dyadic dengan DPR, birokrat memerankan diri sebagai klien untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kaum birokrat biasanya mendapatkan dana suap dari pengusaha.Contoh paling gres adalah dugaan suap Wa Ode Nurhayati dan mafia Banggar lainnya serta kasus penyuapan dua pejabat di Kemenakertrans oleh pengusaha yang dijanjikan mendapat proyek infrastruktur.
Ironisnya, relasi patronklien dilembagakan melalui otoritas dan kewenangan partai politik yang semakin besar pasca-Reformasi. Partai adalah produsen utama pejabat publik, mulai dari presiden hingga bupati. Secara ketatanegaraan, kewenangan DPR dalam menentukan pejabat dan kebijakan publik juga semakin besar sehingga terjadi legislative heavy. Alasan kedua mengapa state capture lebih parah adalah manajemen partai yang jauh dari nilainilai transparansi dan akuntabilitas. Rumus korupsi adalah monopoli kekuasaan (monopoly of power) ditambah diskresi pejabat (discretion of officials) minus accountability.
Jika akuntabilitas partai dan transparansi sumber pendanaan partai lemah, kewenangan besar tadi bisa diselewengkan oleh partai atau elitenya.Kasus Nazaruddin harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa partai yang makin kuat. Untuk itu, pengaturan dana parpol mutlak dilakukan, termasuk pembatasan penerimaan maupun pengeluaran, baik untuk kebutuhan operasional partai maupun pengeluaran saat kampanye. Jika tak ada pembatasan spending kampanye, partai makin tergantung sumbangan dari pihak ketiga.
Thomas Ferguson dalamInvestment Theory of Party Competition (1995) menyatakan bahwa dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakankebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan investor. Tak ada makan siang gratis. Sumbangan kepada partai adalah bentuk investasi yang memberikan return berupa kendali atas negara.
Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan bergeser ke arah plutarchy (penguasaan negara oleh oligarki kaya) karena parpol akan tereduksi menjadi sekadar bawahan segelintir elite korporasi.Partai atau kadernya tak lebih menjadi proksi atau anak perusahaan yang kebetulan ditempatkan di DPR dan birokrasi pemerintahan. ●