Merealisasi Mobnas
Suwarno, STAF PENGAJAR TEKNIK MESIN ITS KANDIDAT PHD DI NTNU NORWEGIA
Sumber : REPUBLIKA, 10 Januari 2012
Sejak Nicolaus August Otto pada 1887 merancang dan mematenkan mesin empat langkah berbahan bakar gas, boleh dibilang mesin penggerak (engine propulsion) yang digunakan dalam sebuah mobil didasarkan pada prinsip rekayasa mekanika yang sama. Mobil-mobil di jalanan dengan variasi kecanggihannya dan aksesoris tambahan masih tetap mengaplikasikan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) dengan konsep yang dikembangkan Otto. Bahkan, dalam literatur rekayasa mesin, mesin-mesin mobil tersebut sering disebut sebagai mesin Otto.
Jadi, tidaklah mengherankan kalau teknologi ini pada dasarnya bisa dikembangkan oleh siapa pun, meskipun tidak memiliki sejarah ilmu pengetahuan otomotif yang kuat. Sebutlah Cina, Korea, Malaysia, atau Iran. Teknologi otomotif bukan hanya soal mesin, tetapi termasuk di dalamnya teknologi rangka dan komponen-komponen utama ataupun pendukung yang lain.
Perkembangan teknologi otomotif tidaklah benar-benar stagnan. Inovasi-inovasi sering kali dilakukan produsen mobil sebagai upaya menghadapi tuntutan konsumen yang membutuhkan mobil yang hemat, kenyamanan yang lebih, dan juga terjaminnya keselamatan. Faktor pendorong yang lain adalah tuntutan terhadap adanya produk mobil yang lebih bersih sebagai wujud kesadaran akan lingkungan.
Dengan demikian, sesungguhnya cukup rasional, jika anak-anak sekolah menengah kejuruan, yang notabenenya tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan yang memadai dalam teknologi perancangan mesin, mampu membuat mesin dan merangkainya dengan komponen-komponen lain menjadi sebuah mobil. Yang justru sesungguhnya tidak rasional mengapa Indonesia belum juga memiliki perusahaan besar yang berlaku sebagai prinsipal atas produk-produk otomotif di negeri sendiri?
Padahal, pasar otomotif di Indonesia sangat besar. Pada periode 2004-2010, rata-rata penjualan mobil di Indonesia tiap tahun kurang lebih 500 ribu unit. Pada 2011, bahkan menyentuh level 900 ribu unit (gaikindo.or.id), sebuah angka yang cukup fantastis. Berdasarkan sebuah studi, suatu usaha yang mampu memproduksi 40 ribu unit kendaraan per tahun sudah bisa dipandang sebagai usaha yang layak.
Berbicara mobil nasional (mobnas), tentu mengingatkan kita pada Inpres Nomor 2 Tahun 1996 yang secara tidak langung memberikan kesempatan pada Tommy Soeharto sebagai suatu hak tunggal pelaksanaan proyek mobil nasional. Sayangnya, di kemudian hari hal itu menimbulkan berbagai masalah. Kebijakan protektif yang bermuatan nepotisme dan diskriminasi tersebut menyebabkan Indonesia harus menanggung kekalahan atas gugatan Amerika dan Jepang di forum WTO (Haryo Aswicahyono & Faisal Basri, 2000).
Kombinasi masalah bertambah saat krisis 1998 yang menyebabkan proyek mobil nasional gagal total dan dihentikan atas rekomendasi IMF. Kalau kita mau flash back, sesungguhnya keinginan untuk menasionalisasikan industri otomotif sudah tampak dimulai sejak peraturan pemerintah dengan SK Menteri Perindustrian No 307/M/8/1976, yang yang mewajibkan setiap perusahaan perakitan mobil memenuhi kuota komponen lokal dengan persentase tertentu, yang mana perusahaan yang tidak sanggup melaksanakan ketentuan tersebut akan ditutup oleh pemerintah.
Namun, kebijakan ini berlarut-larut tanpa pelaksanaan yang jelas dan hingga muculnya surat keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan SK 307 tersebut. Dan, ketika diterbitkannya peraturan yang baru yang lebih bersifat insentif pada tahun 90-an, SK 307 itu belum pernah dilaksanakan.
Purwanto (1997) dalam artikelnya menyebutkan, lobi-lobi pengusaha waktu itu, di antaranya, William Suryajaya (Astra Group) begitu kuat sehingga nasionalisasi industri otomotif tak pernah berjalan. Sampai saat ini, industri otomotif di Indonesia masih bersifat ATPM (agen tunggal pemegang merek) untuk melakukan perakitan kendaraan di dalam negeri. Namun demikian, perancangan dan teknologinya dikembangkan di negara prinsipalnya. Sebagai akibatnya, meskipun produksi mobil di Indonesia tiap tahun menunjukkan peningkatan, namun kegiatan riset dan pengembangan (R&D) tidak pernah dilakukan di dalam negeri.
Dengan demikian, biaya R&D yang kurang lebih lima persen dari penghasilan (revenue) pabrikan otomotif tiap tahun tidak pernah menjadi bagian investasi R&D di Indonesia. Efek tumpahan (spillover) berupa pendidikan dan peningkatan sumber daya manusia Indonesia tidak pernah didapatkan. Sehingga, rasionalisasi untuk memperjuangkan mobnas menjadi suatu kenyataan, sering mengalami hambatan.
Dari sisi riset dan pengembangan, semangat menciptakan mobil nasional pernah dimanifestasikan dalam proyek besar, semacam proyek Maleo yang dipelopori Habibie yang waktu itu menjabat kepala BPPT. Dari kalangan swasta sebutlah Bakrie Group atau bahkan Astra Group pernah membuat purnarupa mobil nasional.
Era 2000-an adalah masa lahirnya proyek-proyek kecil yang diprakarsai masyarakat, lembaga pendidikan, ataupun secara terbatas oleh pemerintah. Sampai saat ini, sudah beberapa merek yang dikenal masyarakat, baik yang masih berupa purnarupa ataupun sudah dalam tahap diproduksi dan dipasarkan, di antaranya, mobil dengan merek GEA, Arina, Tawon, Komodo, dan tentu Kiat-Esemka yang dibuat oleh anak-anak SMK.
Berbeda dengan era 80 dan 90-an yang pengembangan ide mobnas bersifat town-down (bermula dari ide kalangan elite, pada 2000-an era mobnas justru lebih banyak dipelopori oleh rakyat (bottom up). Berdasarkan pengalaman yang ada, perjalanan panjang merealisasikan mobnas justru kandas karena kebijakan pemerintah yang kurang tegas, tidak jujur, dan tidak strategis terhadap zaman dan perubahannya. Jadi, kegagalan mewujudkan mobnas bukan soal ketidakmampuan teknologi.
Hadirnya beberapa merek mobil hasil rancang bangun putra-putri Indonesia semacam Kiat-Esemka, GEA, Arina, Komodo, dan lainnya itu, patut diapresiasi secara positif dan diberikan perhatian yang lebih oleh pemerintah, dalam menghasilkan karya yang lebih berkualitas.
Di sini barangkali menjadi titik temu antara lembaga riset, universitas, dan wirausahawan lokal untuk bekerja sama membantu meningkatkan kualitas mobnas. Pemerintah sudah pasti harus terlibat untuk memberikan kebijakan yang kondusif. Namun, bisa dimengerti bahwa untuk memberikan kebijakan perdagangan yang protektif merupakan sesuatu yang sulit dilakukan, mengingat Indonesia telah terikat berbagai komitmen dalam konteks globalisasi perdagangan.
Oleh kerena itu menurut hemat saya, keberpihakan pemerintah bisa dilakukan dengan berbagai model kebijakan jalan tengah. Misalnya dengan meningkatkan hibah riset yang berfokus pada mobnas dan teknologi pendukungnya. Memberikan hibah wirausahawan (entrepreneur grant) sebagai modal dalam bisnis otomotif.
Selain kebijakan-kebijakan tersebut, tentu keteladanan pemimpin seperti yang telah dimulai oleh Joko Widodo juga menjadi penentu terwujudnya mobnas yang dibanggakan rakyat, berkualitas, dan mampu bersaing di pasar lokal bahkan global. ●
Jadi, tidaklah mengherankan kalau teknologi ini pada dasarnya bisa dikembangkan oleh siapa pun, meskipun tidak memiliki sejarah ilmu pengetahuan otomotif yang kuat. Sebutlah Cina, Korea, Malaysia, atau Iran. Teknologi otomotif bukan hanya soal mesin, tetapi termasuk di dalamnya teknologi rangka dan komponen-komponen utama ataupun pendukung yang lain.
Perkembangan teknologi otomotif tidaklah benar-benar stagnan. Inovasi-inovasi sering kali dilakukan produsen mobil sebagai upaya menghadapi tuntutan konsumen yang membutuhkan mobil yang hemat, kenyamanan yang lebih, dan juga terjaminnya keselamatan. Faktor pendorong yang lain adalah tuntutan terhadap adanya produk mobil yang lebih bersih sebagai wujud kesadaran akan lingkungan.
Dengan demikian, sesungguhnya cukup rasional, jika anak-anak sekolah menengah kejuruan, yang notabenenya tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan yang memadai dalam teknologi perancangan mesin, mampu membuat mesin dan merangkainya dengan komponen-komponen lain menjadi sebuah mobil. Yang justru sesungguhnya tidak rasional mengapa Indonesia belum juga memiliki perusahaan besar yang berlaku sebagai prinsipal atas produk-produk otomotif di negeri sendiri?
Padahal, pasar otomotif di Indonesia sangat besar. Pada periode 2004-2010, rata-rata penjualan mobil di Indonesia tiap tahun kurang lebih 500 ribu unit. Pada 2011, bahkan menyentuh level 900 ribu unit (gaikindo.or.id), sebuah angka yang cukup fantastis. Berdasarkan sebuah studi, suatu usaha yang mampu memproduksi 40 ribu unit kendaraan per tahun sudah bisa dipandang sebagai usaha yang layak.
Berbicara mobil nasional (mobnas), tentu mengingatkan kita pada Inpres Nomor 2 Tahun 1996 yang secara tidak langung memberikan kesempatan pada Tommy Soeharto sebagai suatu hak tunggal pelaksanaan proyek mobil nasional. Sayangnya, di kemudian hari hal itu menimbulkan berbagai masalah. Kebijakan protektif yang bermuatan nepotisme dan diskriminasi tersebut menyebabkan Indonesia harus menanggung kekalahan atas gugatan Amerika dan Jepang di forum WTO (Haryo Aswicahyono & Faisal Basri, 2000).
Kombinasi masalah bertambah saat krisis 1998 yang menyebabkan proyek mobil nasional gagal total dan dihentikan atas rekomendasi IMF. Kalau kita mau flash back, sesungguhnya keinginan untuk menasionalisasikan industri otomotif sudah tampak dimulai sejak peraturan pemerintah dengan SK Menteri Perindustrian No 307/M/8/1976, yang yang mewajibkan setiap perusahaan perakitan mobil memenuhi kuota komponen lokal dengan persentase tertentu, yang mana perusahaan yang tidak sanggup melaksanakan ketentuan tersebut akan ditutup oleh pemerintah.
Namun, kebijakan ini berlarut-larut tanpa pelaksanaan yang jelas dan hingga muculnya surat keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan SK 307 tersebut. Dan, ketika diterbitkannya peraturan yang baru yang lebih bersifat insentif pada tahun 90-an, SK 307 itu belum pernah dilaksanakan.
Purwanto (1997) dalam artikelnya menyebutkan, lobi-lobi pengusaha waktu itu, di antaranya, William Suryajaya (Astra Group) begitu kuat sehingga nasionalisasi industri otomotif tak pernah berjalan. Sampai saat ini, industri otomotif di Indonesia masih bersifat ATPM (agen tunggal pemegang merek) untuk melakukan perakitan kendaraan di dalam negeri. Namun demikian, perancangan dan teknologinya dikembangkan di negara prinsipalnya. Sebagai akibatnya, meskipun produksi mobil di Indonesia tiap tahun menunjukkan peningkatan, namun kegiatan riset dan pengembangan (R&D) tidak pernah dilakukan di dalam negeri.
Dengan demikian, biaya R&D yang kurang lebih lima persen dari penghasilan (revenue) pabrikan otomotif tiap tahun tidak pernah menjadi bagian investasi R&D di Indonesia. Efek tumpahan (spillover) berupa pendidikan dan peningkatan sumber daya manusia Indonesia tidak pernah didapatkan. Sehingga, rasionalisasi untuk memperjuangkan mobnas menjadi suatu kenyataan, sering mengalami hambatan.
Dari sisi riset dan pengembangan, semangat menciptakan mobil nasional pernah dimanifestasikan dalam proyek besar, semacam proyek Maleo yang dipelopori Habibie yang waktu itu menjabat kepala BPPT. Dari kalangan swasta sebutlah Bakrie Group atau bahkan Astra Group pernah membuat purnarupa mobil nasional.
Era 2000-an adalah masa lahirnya proyek-proyek kecil yang diprakarsai masyarakat, lembaga pendidikan, ataupun secara terbatas oleh pemerintah. Sampai saat ini, sudah beberapa merek yang dikenal masyarakat, baik yang masih berupa purnarupa ataupun sudah dalam tahap diproduksi dan dipasarkan, di antaranya, mobil dengan merek GEA, Arina, Tawon, Komodo, dan tentu Kiat-Esemka yang dibuat oleh anak-anak SMK.
Berbeda dengan era 80 dan 90-an yang pengembangan ide mobnas bersifat town-down (bermula dari ide kalangan elite, pada 2000-an era mobnas justru lebih banyak dipelopori oleh rakyat (bottom up). Berdasarkan pengalaman yang ada, perjalanan panjang merealisasikan mobnas justru kandas karena kebijakan pemerintah yang kurang tegas, tidak jujur, dan tidak strategis terhadap zaman dan perubahannya. Jadi, kegagalan mewujudkan mobnas bukan soal ketidakmampuan teknologi.
Hadirnya beberapa merek mobil hasil rancang bangun putra-putri Indonesia semacam Kiat-Esemka, GEA, Arina, Komodo, dan lainnya itu, patut diapresiasi secara positif dan diberikan perhatian yang lebih oleh pemerintah, dalam menghasilkan karya yang lebih berkualitas.
Di sini barangkali menjadi titik temu antara lembaga riset, universitas, dan wirausahawan lokal untuk bekerja sama membantu meningkatkan kualitas mobnas. Pemerintah sudah pasti harus terlibat untuk memberikan kebijakan yang kondusif. Namun, bisa dimengerti bahwa untuk memberikan kebijakan perdagangan yang protektif merupakan sesuatu yang sulit dilakukan, mengingat Indonesia telah terikat berbagai komitmen dalam konteks globalisasi perdagangan.
Oleh kerena itu menurut hemat saya, keberpihakan pemerintah bisa dilakukan dengan berbagai model kebijakan jalan tengah. Misalnya dengan meningkatkan hibah riset yang berfokus pada mobnas dan teknologi pendukungnya. Memberikan hibah wirausahawan (entrepreneur grant) sebagai modal dalam bisnis otomotif.
Selain kebijakan-kebijakan tersebut, tentu keteladanan pemimpin seperti yang telah dimulai oleh Joko Widodo juga menjadi penentu terwujudnya mobnas yang dibanggakan rakyat, berkualitas, dan mampu bersaing di pasar lokal bahkan global. ●