Pengelolaan Energi Libya Pasca-Qadhafi
Marwan Ja’far, KETUA FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA DPR-RI
Sumber : KORAN TEMPO, 13 Januari 2012
Riwayat sang revolusioner kini telah berakhir oleh gerakan revolusi rakyat sipil yang mengarus bersama irama revolusi Timur Tengah. Di kampung kelahiran sekaligus markas terakhir pendukung loyalisnya di Sirte, pada 20 Oktober lalu, Qadhafi diberondong dengan senjata oleh rakyatnya sendiri. Rakyat yang dalam rentang panjang menyimpan dan mengakumulasi bara dendam kesumat akibat sikap represif sang tiran. Seperti ditulis Larry Diamond (1992), kaum revolusioner adalah entitas yang kerap hadir mewakili jiwa dan semangat zaman yang tengah bergolak.
Libya bisa menjadi penanda kehancuran tirani oleh demokrasi, dan seiring dengan itu sekaligus menjelma menjadi medan perburuan baru ladang-ladang minyak. Inilah yang "mengganggu" pemikiran banyak kalangan, bagaimana nasib Libya setelah kematian Qadhafi ihwal urusan minyak.
Sulit dielakkan fakta bahwa perang sering kali berakhir dengan penjarahan dan perampokan sumber daya dan kekayaan alam suatu negara. Tanpa perlu berkutat menyingkap teka-teki, faktanya seperti yang sekarang dilakonkan Dewan Transisi Nasional (NTC) yang mengendalikan pemerintahan di Libya setelah runtuhnya dinasti kekuatan Qadhafi. Bukan lagi bisik-bisik, rupanya NTC sudah membuat kesepakatan untuk memberikan 35 persen pengolahan minyak mentahnya kepada Prancis sebagai tanda terima kasih atas dukungan penuh dalam gerakan revolusi menggulingkan Qadhafi. Bahkan, sebelum Qadhafi tewas, perdana menteri interim Libya, Mahmoud Jibril, mengatakan minyak Libya sudah mulai diproduksi setelah ditutup akibat perang.
Perburuan Emas Hitam
Libya memiliki cadangan 47 miliar barel minyak, dan merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia, serta negara yang paling kaya minyak di Afrika. Kekayaan miliaran barel minyak ini menjadikan Libya faktor penting bagi stabilitas energi dunia. Libya bukan hanya penghasil minyak. Negeri di Afrika Utara ini juga memiliki cadangan gas 54 triliun kubik. Hampir 95 persen minyak Libya diekspor ke negara-negara Barat dan Eropa. Negara-negara Barat dan Uni Eropa, sesudah perubahan politik di Libya, serta mendekatnya Muammar Qadhafi ke Barat dan dibukanya terusan Suez membuat ratusan perusahaan minyak dan gas melakukan investasi di Libya.
Eksplorasi besar-besaran dilakukan perusahaan minyak Barat, seperti British Petroleum, Exxon, Total, Occidental Petroleum, Marathon Oil, dan Oil and Amerada Hess yang telah menandatangani eksplorasi minyak dengan pemerintah Libya. Kerja sama dengan perusahaan Barat semakin terbuka sejak 2003 dan 2004, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mencabut sanksi atas Libya, dan pada 2006, Amerika Serikat mencabut status Libya yang selama ini dituduh sebagai negara teroris. Negara-negara Barat selama 19 tahun absen dalam investasi minyak di Libya. Sekarang Barat mendapat pasokan minyak dari Libya.
Tampaknya tidak hanya menyangkut kelangkaan energi minyak yang akan dialami Barat, tapi langkah-langkah menuju recovery ekonomi Barat yang dilanda krisis dan resesi akan terganggu bila tidak dilakukan langkah ofensif. Di sisi lain, dengan cara berbeda, mengobarkan perang dan menciptakan konflik dengan dalih demokrasi dan membela hak-hak sipil juga merupakan strategi Barat mengangkangi kekayaan alam suatu negara.
Pada akhirnya, kita bebas menjarah dengan datang sebagai pahlawan. Ini logika sederhana yang menjadi grand strategypenguasaan suatu wilayah oleh Barat. Amerika sendiri dikenal sebagai salah satu negara Barat yang masih menggunakan stock strategy, yaitu semacam upaya menimbun hasil sumber daya alam, khususnya minyak, sebagai jalan keluar krisis energi mendatang.
Kita bisa menyaksikan buktinya. Di Irak, setelah jatuhnya Saddam Hussein, segera dibuka tender bagi ladang-ladang minyak. Tercatat 120 perusahaan berpartisipasi dalam tender. Hasilnya sepertiga dari total perusahaan tersebut, yaitu sekitar 35 perusahaan asing, yang lolos. Bisa ditebak bahwa raksasa minyak global yang menyumbang pajak bagi kas Barat, khususnya Amerika dan sekutunya, secara agresif akan mendominasi.
Beberapa negara Timur Tengah yang pemerintahnya despotik, diktator, dan jauh dari nilai-nilai demokrasi, tapi tunduk pada keinginan Barat tetap saja dibiarkan. Misalnya Arab Saudi, Bahrain, Yaman, Suriah, Kuwait, Mesir (era Mubarak), dan Tunisia (era Ben Ali) diperlakukan berbeda dengan Irak (era Saddam Husein), Iran, Libya, serta negara-negara yang tak mudah ditelikung.
Jelas sudah bahwa keterlibatan Amerika dan sekutunya dalam revolusi di Libya dilatarbelakangi oleh emas hitam (baca: minyak). Tanpa minyak yang menggiurkan, mustahil pasukan sekutu mau bersusah-payah melakukan agresi militer ke Libya, dengan alasan membantu perjuangan rakyat sipil dari penindasan hak asasi manusia rezim pemerintahannya. Sekali lagi, inilah penjelasan mengapa pasukan sekutu tidak mau susah-susah menyerbu Suriah atau Yaman yang kini bergolak: karena kedua negara tersebut tergolong miskin mineral. Bandingkan pula, saat ini masih banyak negara yang tidak demokratis dan terus dilanda konflik sosial, tapi luput dari perhatian Barat, karena negara-negara tersebut merupakan negara miskin, seperti Zimbabwe, Somalia, dan Rwanda.
Hegemoni Barat
Tanpa bermaksud menggeneralisasi, tapi fakta telah terpampang. Di depan mata dunia, Barat berlakon ganda. Berkawan dengan yang tunduk dan murka kepada yang dianggap membangkang.
Ketika serangan udara militer sekutu ke basis-basis pertahanan Libya, bagi oposan Libya, serangan sekutu merupakan berkah dari langit, yang akan membebaskan negara kaya minyak itu dari genggaman diktator Qadhafi. Inilah bentuk kolaborasi dengan asing yang transaksional. Dan kini patriotisme menjadi mimpi di siang bolong di Libya. Setelah meluluhlantakkan bumi Libya, dan memakzulkan Qadhafi, pasukan asing yang "berjasa" itu pasti meminta imbalan.
Terlebih dengan semakin rontoknya ekonomi Barat akibat krisis 2008, dan ancaman depresi ekonomi pada tahun-tahun mendatang. Mereka butuh dana segar untuk proses akselerasi ekonomi di tengah kebangkitan ekonomi Cina yang telah menjelma menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika. Cina sukses menggeser Jepang yang selama ini merupakan sekutu Barat.
Di sisi lain, kepentingan ideologi juga menjadi hantu bagi Barat yang begitu agresif membantu upaya menggulingkan Qadhafi. Kita tahu negara-negara yang kini bergerak menguasai ekonomi global adalah mereka yang antikapitalis, atau paling tidak mandiri secara ideologi. Misalnya Cina dengan ideologi komunis. Di era pemerintahan Qadhafi, ternyata aliansi Cina-Libya sudah terjalin begitu kuat.
Selama ini kebutuhan energi Amerika banyak dipasok oleh negara berkembang, yang kini perlahan menjadi negara maju dan juga membutuhkan energi untuk akselerasi pertumbuhan ekonominya. Artinya, Barat akan kehabisan pasokan energi jika tidak segera mencari ladang-ladang segar dan baru. Kekhawatiran mereka pasti menjadi stimulus atas beragam jalan untuk melanggengkan hegemoni. ●