Tantangan Salafi di Mesir Pasca-Mubarak
Omar Ashour, Direktur Middle East Graduate Studies Program pada Institute of Arab and Islamic Studies, University of Exeter (UK),
pengarang The De-Radicalization of Jihadists: Transforming Armed Islamist Movements
Sumber : KORAN TEMPO, 16 Januari 2012
“Kami menginginkan demokrasi, tapi demokrasi menurut hukum Allah, memerintah tanpa hukum Allah berarti khianat,” demikian dikatakan baru-baru ini oleh Yasser Burhami, tokoh nomor dua Masyarakat Imbauan Salafi (SCS) dan pemimpinnya yang paling karismatik. Melonjaknya perolehan suara Salafi yang tidak diduga dalam pemilihan parlemen Mesir telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara Arab yang paling banyak penduduknya ini bisa menjadi teokrasi fundamentalis seperti Iran.
”Koalisi untuk Mesir” atau Koalisi Islam Salafi, yang dikenal karena penafsiran ultra-konservatismenya yang harfiah dan ketat mengenai Islam, dan penolakannya terhadap penafsiran lain, telah memenangi 34 kursi parlemen yang bakal merancang konstitusi baru Mesir. Di samping jumlah tersebut, 78 kursi lainnya telah dimenangkan Koalisi Demokrasi pimpinan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) bentukan Al-Ikhwan al-Muslimun (Persaudaraan Muslim).
Dari 168 kursi yang diperebutkan, partai-partai Islam memenangi 112 atau 66,6 persen. Walaupun terlalu dini untuk menentukan hasil akhir pemilihan yang menurut rencana diumumkan pada 11 Januari, putaran berikutnya ada kemungkinan tidak akan berbeda dengan pola perolehan suara sebelumnya. Provinsi-provinsi yang dianggap sebagai benteng tradisional kelompok Islamis akan memulai pemungutan suara pada putaran kedua (seperti Al-Sharqiya dan Suez) dan putaran ketiga (seperti Matruh dan Qalyubiyah).
Sebelum berlangsungnya pemilihan bulan November tahun lalu, banyak pihak ragu kelompok Salafi, yang tidak tersentralisasi, tanpa pemimpin, tanpa pengalaman politik, dan penuh kontroversi sosial, itu mampu memperoleh dukungan yang kuat dalam pemilihan. Tapi mereka ikut dalam pemilihan bersama beberapa partai, yang paling terorganisasi dan berpengalaman politik, di antaranya adalah al-Nour (Cahaya). Partai ini telah bergabung dalam koalisi dengan Partai al-Asala (Yang Asli) serta Partai Konstruksi dan Pembangunan bentukan Kelompok Islamis.
Al-Nour merupakan salah satu dari dua kelompok Salafi Mesir yang terorganisasi dan tersentralisasi sejak puluhan tahun lalu, sedangkan yang satunya Al-Ansar al-Sunnah (Pendukung Sunnah) relatif apolitis. Akar organisasi Salafi bermula pada 1977, ketika Al-Ikhwan al-Muslimun mendominasi kelompok Islamis pada Universitas Alexandria. Sebagai reaksi atas dominasi ini, mahasiswa-mahasiswa yang bersimpati kepada Salafi, terutama pada fakultas kedokteran, membentuk “Mazhab Salafi”, yang menolak ideologi dan dominasi Al-Ikhwan al-Muslimun atas aktivisme Islamis.
Menjelang pertengahan 1985, mazhab Salafi menamakan diri “Masyarakat Seruan Salafi”, yang memiliki lembaga pendidikannya sendiri, Institut al-Furqan, majalah bernama Sawt al-Da‘wa (Suara Seruan), dan jaringan layanan sosial yang luas. Ada Panitia Zakat yang bertugas mendanai dan mengurus rumah yatim-piatu, membantu para janda, melakukan kerja sosial, mendirikan pusat kesehatan masyarakat yang memberikan layanan secara gratis, serta sarana-sarana masyarakat lainnya
Penindasan ini mungkin menjelaskan mengapa reaksi awal pimpinan SCS terhadap revolusi bulan Januari tahun lalu itu begitu lamban. “Mereka pasti mengebom dari udara jika mereka melihat janggut-janggut kami bertebaran di Lapangan Tahir,” kata salah seorang pemimpin SDC. Memang, pimpinan SDC tidak secara resmi mendukung revolusi sampai hari-hari terakhir sebelum jatuhnya Mubarak, walaupun pegiat-pegiat menengah dan akar rumput mereka ikut dalam demonstrasi protes, termasuk Emad Abdel Ghafour, Ketua Partai al-Nour.
Yang jelas membedakan SCS dan sayap politiknya, Al-Nour, dari kelompok-kelompok Salafi lainnya adalah pengalaman berorganisasinya dan pemimpin-pemimpinnya yang karismatik. Muhammad Nour, juru bicara Al-Nour di Kairo, mengungkapkan kepada saya faktor yang mendukung kebangkitan partainya. “Media liberal berfokus menyoroti kami. Mereka melakukan kampanye untuk kami secara gratis,” katanya sembari tersenyum. “Ketika mereka dengan gigih memburuk-burukkan nama kami dan kemudian rakyat menyaksikan apa yang kami lakukan di lapangan, maka rakyat memahami bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan media, ...bukan dengan kami.”
Sekarang in, sudah tentu, kekhawatiran yang mencekam--bukan hanya di Barat, tapi juga di bagian-bagian dunia Arab lainnya--adalah bahwa Al-Ikhwan al-Muslimun (pemenang besar dalam pemilihan) dan Salafi akan bergandeng tangan setelah selesainya pemilihan Januari ini. Tapi kemungkinan terwujudnya hal ini kecil sekali. Seperti dikatakan kepada saya baru-baru ini oleh Nabil Na‘im, salah seorang pendiri organisasi Al-Jihad dan tokoh utama dalam transisi menuju aktivisme tanpa kekerasan: “Koalisi apa? Saya baru saja menengahi gencatan senjata di Fayyoum antara Al-Ikhwan al- Muslimun dan Salafi.”
Sebenarnya, komposisi pemerintah yang akan datang mungkin bakal terbentuk lebih oleh mobilisasi akar rumput dan perpecahan ideologi di antara partai-partai Islamis, oleh tindakan yang diambil--dan tidak ambil--Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) dan perilaku partai-partai liberal.
Sekarang ini, Al-Ikhwan al-Muslimun tampaknya bertekad, pertama-tama, membatasi peran militer dalam memberi bentuk pada konstitusi. Ia juga ingin memberdayakan parlemen dan memantau badan-badan keamanan negara dengan lebih efektif. Kaum Salafi, sebaliknya, berfokus pada agenda sosial-konservatif untuk memenuhi tuntutan basis pemilihnya.
Jika SCAF terus dengan diam-diam mendukung satu pihak, seperti yang dilakukannya sekarang, ia mungkin akan mendorong polarisasi Islamis-sekuler yang lebih luas, bukan cuma memperdalam perpecahan antara Al-Ikhwan al-Muslimun dan Salafi; prospek koalisi FJP-Nour, karena itu, bakal berkembang.
Penting bagi kelompok liberal untuk berusaha membatasi polarisasi dengan fokus pada langkah-langkah membangun kepercayaan dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, bukan dengan semata-mata bergantung pada SCAF untuk memberdayakan mereka. Seorang pegiat muda melukiskan kemungkinan ini dengan menarik: “Sebagian besar pegiat bersedia dengan senang hati melawan Al-Ikhwan al-Muslimun dan Salafi dalam pemilihan umum dan di jalan-jalan raya jika mereka melanggar hak warga negara. Tapi ini perjuangan kami, bukan perjuangan oleh militer.” ●