Jalan Keluar Krisis Pilkada Aceh


Jalan Keluar Krisis Pilkada Aceh
Teuku Kemal Pasya, PENELITI TENTANG DEMOKRASI, SEDANG MELAKUKAN PENELITIAN TENTANG KRISIS PILKADA ACEH
Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Januari 2012


Kasus kekerasan yang mendompleng proses pilkada yang sedang berlangsung saat ini telah memberikan komplikasi bagi perdamaian Aceh.

Jejaring kasus kekerasan bersenjata yang menimpa warga perantauan dan etnis perantauan di Aceh, sejak 4 Desember 2011 hingga 5 Januari 2012, telah menyebabkan 11 orang tewas dan lebih 20 orang luka-luka. Kini teror juga menimpa calon bupati Aceh Utara dari jalur perseorangan.

Akibatnya, muncul kultur ketakutan di tingkat masyarakat Aceh. Bahkan mulai ada eksodus para pekerja perantauan dari Aceh yang menyebabkan beberapa proyek pembangunan terhenti.

Kasus-kasus ini dicoba disimplifikasi oleh elite pemerintah. Gubernur Irwandi Yusuf mengatakan kasus-kasus ini berhubungan dengan masalah kesenjangan ekonomi. Namun pikiran publik tak mungkin dikerangkeng untuk tidak menyimpulkan prahara kemanusiaan berhubungan dengan panasnya dengan tungku Pilkada Aceh yang telah berlarut-larut.

Hingga saat ini proses pilkada telah tertunda hingga empat kali: 10 Oktober, 14 November, 24 Desember 2011. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah membuat jadwal baru pelaksanaan pilkada pada 16 Februari 2012.

Salah satu pangkal persoalan konflik pilkada bermula ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus Pasal 256 UU No 11/2006 atau UU Pemerintahan Aceh.
Keputusan MK menghapus pasal yang dianggap mendiskriminasi hak-hak individual dalam berpartisipasi politik, bahwa calon independen di Aceh hanya berlaku sekali, yaitu pada saat pilkada pertama pasca-Perdamaian Helsinki. Penghapusan pasal itu menyebakan ada kesempatan bagi masyarakat Aceh untuk kembali maju dalam pilkada dari jalur perseorangan.

Menelisik sejarah Pilkada Aceh sejak 2006 hingga 2008, kesempatan itu telah berhasil dimanfaatkan sempurna oleh calon independen, yang tidak lain adalah representasi GAM-SIRA yang saat itu belum lagi membentuk partai lokal. Masa pilkada saat itu ada 11 pasang kepala daerah, termasuk pasangan Irwandi–Nazar di tingkat provinsi dari calon independen.

Fakta ini berbeda dengan praktik sistem elektoral yang melibatkan calon independen di seluruh Indonesia. Sejak UU pemerintah daerah (UU No 32/2004) diuji hukum di MK, dan melahirkan UU No 12/2008, calon independen berkesempatan maju mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah, namun tidak cukup banyak yang beruntung.

Hingga saat ini tidak ada calon gubernur dari calon independen yang bisa menang di seluruh Indonesia. Hanya ada beberapa daerah tingkat dua yang berhasil seperti Batubara (Sumatera Utara), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Rote Ndao (NTT), dan Garut (Jawa Barat).

Kasus mundurnya wakil bupati Garut, Dicky Chandra, bisa menjadi contoh bagaimana rapuhnya kekuasaan eksekutif calon independen ketika berhadapan dengan polisentrisme kekuasaan, terutama dari legislatif.

Di Aceh, kekuasaan eksekutif dari calon independen akhirnya bermetamorfosis menjadi partai politik. GAM membentuk Partai Aceh (PA) dan SIRA membentuk Partai SIRA.
Pada pilkada saat ini, representasi parpol jelas tidak lagi menginginkan adanya calon independen, karena bisa menjadi “buldozer politik” baru yang menggusur zona nyaman kepartaian.

Konflik Personal

Namun sesungguhnya, krisis pilkada ini berhulu dari konflik personal antara Irwandi dan kekuatan pengusungnya, PA. PA sebagai kekuatan pengusung merasa telah ditinggalkan Irwandi. Irwandi diibaratkan sebagai anak durhaka kepada orang tuanya. Di sisi lain Irwandi menganggap dirinya representasi kekuatan rakyat sehingga tak perlu merasa utang budi berlebihan dengan PA.

Dari konflik personal dan domestik itu kemudian berkembang menjadi konflik institusional dan legalistik. PA menolak mendaftarkan diri dalam pilkada selama calon independen tetap dimasukkan sebagai peserta pilkada. Mereka berpendapat kesempatan membuka kembali calon independen tidak sesuai dengan napas MoU Helsinki.

Penolakan keras ini akhirnya kembali berpuncak pada lahirnya keputusan MK kedua No 108/PHPU.D-X/2011, pada 2 November 2011, yang menyatakan calon independen tidak bertentangan dengan konstitusi dan butir MoU Helsinki (terutama poin 1.1.2), yang terkait dengan partisipasi setiap warga untuk mengisi jabatan publik di daerah tanpa harus melalui mekanisme pencalonan kepartaian.

MK juga menyatakan mekanisme pilkada yang dilaksanakan KIP Aceh telah sesuai tahapannya.

Namun pada saat akhir, PA menunjukkan sikap kompromistiknya. Mereka bersedia mengakui keputusan MK dan menyatakan ingin ikut serta pilkada. Namun problemnya adalah tahapan pencalonan telah ditutup. Pendasaran pemikirannya, PA tidak ingin kehilangan representasi eksekutif, terutama di tingkat dua yang dikenal sebagai basis kekuatan tradisional.

Di sisi lain, pemerintah pusat yang diwakili Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) memiliki pandangan yang berbeda tentang hal ini.

Kemendagri menganggap KIP Aceh sebagai penyelenggara pilkada terlalu kaku melaksanakan putusan hukum dan mengabaikan fakta politik di lapangan. Kemendagri menganggap “solusi sama-sama menang” dengan menunda pilkada dan pendaftaran kembali adalah yang terbaik.

Sementara Kemenkopolhukam menilai tak perlu kompromi lagi. Pilkada tetap harus jalan tanpa PA. Dualisme dua lembaga pemerintah mengakibatkan Aceh berada dalam situasi status quo yang akhirnya dimanfaatkan “penumpang gelap” menebarkan teror.

Saat ini kebuntuan itu akan diselesaikan melalui keputusan MK. Kemendagri menggugat MK terkait sikap kaku KIP Aceh yang tidak mau membuka lagi proses pendaftaran bagi PA.

Sikap keras ini bisa mengakibatkan tersemainya konflik dan lapuknya bangunan perdamaian. Semoga keputusan MK nanti mampu melihat suara batin masyarakat Aceh, dan tidak hanya terpaku pada hukum an sich.

Jalan terakhir ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden perlu turun tangan dengan memediasi kelompok yang berkonflik untuk mau membuat konsesus dan menghentikan polemik yang kontraproduktif bagi perdamaian Aceh.

Presiden memiliki kewenangan mutlak dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk meredakan kekisruhan, seperti menunda pilkada dan menetapkan pejabat sementara gubernur yang akan habis masa jabatannya.
Bukankah pasangan SBY-Boediono menang 93 persen di Aceh dalam pemilihan presiden 2009, mengalahkan tokoh perdamaian Aceh sebenarnya, Jusuf Kalla-Wiranto? Kini saatnya dituntut mengeluarkan pikiran terbaiknya tanpa harus terlalu terpicing pada sikap nasionalistik yang artifisial. Menyelematkan perdamaian Aceh sama dengan memperkuat sendi kebangsaan juga.
◄ Newer Post Older Post ►