“The Balanced Scorecard”


“The Balanced Scorecard”
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR DI SINAR HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 17 Januari 2012


PEKAN lalu, publik di Jakarta (termasuk penulis) beruntung dapat mendengarkan ceramah langsung yang disampaikan Robert S Kaplan, pakar manajemen dari Harvard Business School, penemu metode manajemen the balanced scorecard yang terkenal itu.
Seluruh ruangan ballroom yang ada di Hotel Shangri-la penuh terisi oleh sekitar 700 kalangan eksekutif yang memang ingin mendengar langsung pengajaran dari salah seorang tokoh manajemen berpengaruh di dunia. 
Dalam workshop bertajuk ”Using Strategy Maps and Scorecards for Effective Strategy Execution”, Kaplan banyak mengulas mengenai pentingnya pengembangan sumber daya manusia karena memang itulah aset organisasi yang tak terlihat (intangible asset).
Dia memulai kuliahnya itu dengan mengutip NR Narayana Murthy, chairman and chief mentor dari kelompok Infosys, yang berkata, “Our core corporate assets walk out every evening. It is our duty to make sure these assets return the next morning, mentally and physically enthusiastic and energetic.” Sebagai catatan, pada 2010 net income Infosys adalah US$ 1,3 miliar, namun market value-nya mencapai US$ 35 miliar.
Buat Kaplan segala hal di dunia dapat diukur. “Yang sulit hanyalah untuk mengukur cinta,” selorohnya pada acara jamuan makan malam setibanya di Jakarta, Kamis (12/1) malam. Karena itu, prinsip utama dalam the balanced scorecard adalah pengukuran: if you can’t measure it, you can’t manage it; if you can’t manage it, you can’t improve it. 
Dia membagi perspektif antara korporasi dan publik itu tak lain untuk mengatakan semua dapat diukur selama organisasi mempunyai visi dan misi yang jelas, dan visi itu diturunkan dalam strategi, strategi itu dituangkan dalam anggaran, dan semua elemen (komponen) dalam organisasi (mulai yang paling tinggi sampai yang terendah) paham tentang visi organisasi dan strategi untuk mencapainya.  
Dalam perspektif perusahaan/korporasi, empat hal yang patut diukur, yakni perspektif finansial, perspektif pelanggan/konsumen, perspektif proses, dan learning and growth. Sementara untuk sektor publik dan lembaga nirlaba, perspektif yang diukur itu mencakup misi organisasi, perspektif dukungan, finansial, learning and growth, dan proses itu sendiri. 
Berdasarkan pengamatannya, kegagalan dalam banyak organisasi antara lain karena hanya 25 persen manajer yang mengaitkan insentif dengan strategi, atau hanya 5 persen anggota yang paham strategi organisasi, atau 85 persen tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam dalam sebulan untuk mendiskusikan strategi, dan 60 persen organisasi tidak mengaitkan anggaran dengan strategi. 
“Sehingga ujungnya anggaran selalu diperas-peras, karena tidak terkait dengan strategi,” jelasnya.
Swasta dan Publik
Dalam kuliahnya itu, Kaplan memberikan contoh bukan saja keberhasilan yang dicapai VW Brazil mentransformasi diri dari perusahaan merugi menjadi pemegang pangsa terbesar kedua di negara tersebut, tetapi juga keberhasilan masyarakat di Provinsi Rio Grande do Sul di Brasil yang bersama-sama menyusun visi dan strategi untuk membangun kembali provinsi mereka dari kebangkrutan. 
Di Amerika, banyak perusahaan yang menerapkan the balanced scorecard ini dengan hasil memuaskan, demikian pun sejumlah lembaga pemerintah, seperti US Navy, United States Postal Service, dan FBI.
Di Indonesia juga cukup banyak perusahaan swasta yang menerapkan balanced scorecard, semisal Soho Group, Garuda Indonesia, Kresna Securities, Bank BTN, dan Bank Indonesia. 
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, yang juga alumni Universitas Harvard, ketika memberikan sambutan pada workshop itu menyatakan di Kementerian Perdagangan dalam waktu dekat juga akan diterapkan metode balanced scorecard untuk meningkatkan kinerja kementerian, dengan tiga klaster kegiatan yang akan menjadi fokusnya: penanganan perdagangan komoditas dengan nilai tambah (value added trade), perdagangan domestik, dan perdagangan eksternal.  
Keberhasilan penerapan balanced scorecard pada umumnya tergantung pada para pemimpin dan bagaimana strategi yang telah disusun itu pelaksanaannya didukung seluruh jajaran organisasi berdasarkan konsensus dan komitmen bersama, yang bahkan sudah menjadi belief oleh mereka semua yang ada di organisasi.
Indonesia Potensial 
Kaplan sebenarnya tidak memasukkan Indonesia dalam jadwal kunjungan resminya ke Asia, namun karena dibujuk Cherie Nursalim dari Yayasan Upaya Indonesia Damai (YUID), dia akhirnya mau datang, selepas memberikan workshop sejenis di Shanghai.
Dia mau datang antara lain karena akhirnya berhasil diyakinkan bahwa Indonesia potensial menjadi kekuatan ekonomi besar di masa depan. Gita membuktikan bahwa dunia kini mengelompokkan Indonesia dalam klub negara ber-PDB di atas US$ 1 triliun bersama-sama Korea Selatan, Brasil, dan China. 
Pertanyaan penting yang muncul dalam workshop itu: mengapa balanced scorecard gagal mendeteksi krisis ekonomi yang kini melanda Amerika? 
Kaplan menjawab, “Undang saya lagi ke Jakarta dan saya akan bicara mengenai aspek mitigasi dalam balanced scorecard, karena topik inilah yang sedang saya teliti hari-hari  ini.”
Artinya, dari jawaban itu Kaplan kini semakin yakin Indonesia adalah negara yang memang sangat berpotensi menjadi kekuatan ekonomi besar.
◄ Newer Post Older Post ►