Anak Bajang Menggiring Celeng (bagian 1)


Anak Bajang Menggiring Celeng (bagian 1)
Hajriyanto Y Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
Sumber : SINDO, 17 Januari 2012



Membaca tulisan dan pernyataan para tokoh nasional akhir-akhir ini hati kita menjadi miris. Meski ada aroma dramatisasi dan hiperbolisasi di sanasini, adalah benar ketidakpuasan publik terhadap penyelenggaraan negara (baca: eksekutif, legislatif, yudikatif) semakin luas.

Tujuan nasional dibentuknya negara ini setelah 66 tahun merdeka belum kunjung tergapai, alih-alih dinilai cenderung makin menjauh dari kenyataan. Apatah lagi tujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Lihat saja kemiskinan di negara ini: dengan ukuran USD1 (tepatnya Rp7.000) saja,masih ada sekitar 13,33% (baca: 31,5 juta) rakyatnya miskin. Apalagi jika yang digunakan sebagai ukuran kemiskinan adalah angka PBB yang USD2 itu: mungkin hampir separuh penduduk Indonesia miskin.

Meski persentasenya terus menurun, secara numerikal masih besar sekali. Ironisnya kemiskinan dan kesenjangan yang parah itu terjadi di negara yang pertumbuhan ekonominya hampir 7% per tahun sehingga sizeperekonomiannya terbesar ke-14 dunia yang karenanya diajak dalam G-20. Tetapi, aneh bin ajaib, bukan kemiskinan itu yang membuat rakyat apatis dan frustrasi. Rakyat Indonesia terkenal sabar dan tabah menghadapi penderitaan.

Rakyat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu dikenal berbakat prihatin.Ingat saja lagu rakyat Jawa berikut ini: “…Prihatin esok awan sore/ prihatin nganti tekan seprene/ Pacobane urip ora tau leren/teko lungo kaya ngene/ panyuwunku aku biso tabah nggonku nglakoni/kepengin ngrasake urip ayem tentrem/ adoh popo lan bencono…”. Sejak dulu rakyat dianggap domas singkatan dari wong bodo nanging atine emas: sebab selalu nrimo ing pandum meski selalu saja dipecundangi oleh elite pemimpinnya.

Korupsi Sistemik dan Masif

Kalau bukan kemiskinan itu sendiri (an sich) yang membuat rakyat apatis dan frustrasi, lantas apakah kehidupan politik nasional yang penuh hiruk-pikuk itu yang menjadi penyebabnya? Jawabnya juga negatif. Rakyat sudah hafal bahwa perubahan politik segaduh dan seheboh apa pun toh tidak ada korelasinya secara langsung dengan perbaikan ekonomi rakyat.Rakyat sudah lama tidak begitu yakin politik dapat mengatasi kesulitan hidup mereka, siapa pun dan partai politik apa pun yang berkuasa.

“Nggak ngaruh!” kata anak sekarang. Yang membuat rakyat apatis dan putus asa adalah sesuatu yang lain di luar itu. Sesuatu yang lain itu tidak lain dan tidak bukan adalah korupsi yang merajalela yang secara gila-gilaan dilakukan secara sistemik dan masif di depan mata rakyat yang miskin di negeri ini.Sangat meyakinkan, rakyat rela menderita dan hidup prihatin dalam kemiskinan kalau memang negara tidak mempunyai uang, alias sama rata sama rasa.

Tetapi,rakyat marah diminta untukhidupmiskin sementara negaranya kaya raya dengan uang APBN mencapai Rp1.435 triliun per tahun (2012). Rakyat akan lebih marah lagi mengetahui sebagian besar dari APBN itu dihabiskan secara inkonstitusional untuk “ongkos tukang”,yaitu penyelenggara negara atau pemerintahan. Sementara itu anggaran untukpembangunan kesejahteraan rakyat hanyalah sebagian kecil.

Itu pun dengan pola penyerapan yang tidak efisien.Ini pun belum dikurangi lagi dengan anggaran yang bocor karena korupsi yang lagi-lagi dilakukan para penyelenggara negara/pemerintahan itu juga. Ada 158 kepala daerah menjadi tersangka korupsi.Di Jawa Tengah saja yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi sekarang telah menjadi lumbung korupsi: dalam satu dasawarsa terakhir ini ada 20 bupati/ wali (dari 35 kabupaten/ kota) terseret korupsi.

Korupsi terjadi melintasi sekat-sekat teori Trias Politica. Bahkan juga di lembaga-lembaganegara baru(stateauxiliary body) produk reformasi yang jumlahnya mengharu biru sampai 80 komisi itu. Lihat juga, rekening liar yang ilegal terus ditemukan di berbagai instansi pemerintah, rekening gendut para pejabat sipil, bahkan pegawai negeri sipil (PNS) muda, dan petinggi polisi yang mencurigakan semakin banyak ditemukan, tetapi tidak pernah terungkap.

Orang yang baru berkuasa di level partai politik pun— yang jelas masih berada di luar birokrasi pemerintah—sudah bisa melakukan penetrasi dan beroperasi ke dalam birokrasi untuk bersama-sama mengeruk uang negara secara sistematis dan berjamaah. Korupsi yang menyengsarakan rakyat dan membuat kemarahannya semakin membara tersebut semakin menimbulkan frustrasi karena ternyata para pelakunya dilindungi oleh apa yang disebut dengan mafia hukum untuk menyempurnakan keberadaan mafia pajak, mafia anggaran, dan entah mafia apalagi yang muncul besok hari.Semua itu pada dasarnya adalah modus operandi kejahatan korupsi belaka. Maka berlakulah “Jangka Jayabaya”: wong cidro lan candolo soyo ndodro.
◄ Newer Post Older Post ►