Menuju Pemilu Modern 2014
Sulistyo, MASTER DIBIDANG KOMUNIKIASI, KINI DIREKTUR EKSEKUTIF STUDY KLUB DEMOKRASI
Sumber : SUARA KARYA, 4 Januari 2012
Pemilihan umum (pemilu) semestinya dimaknai bukan semata-mata sebuah kontestasi politik melainkan juga sebuah mekanisme untuk menemukan putera-puteri anak negeri terbaik yang memiliki kompetensi menduduki jabatan-jabatan publik yang dikontestasikan. Karenanya, keberhasilan sebuah pemilu tidak semata-mata dilihat dari suksesnya penyelenggaraan pemilu secara prosedural tetapi juga perlu dilihat sejauh mana para pemegang jabatan publik hasil pemilu, pemegang otoritas terpilih itu mampu menjalankan fungsi dan perannya secara maksimal. Itu, kemudian berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kebermartabatan dalam berbangsa dan negara.
Dari pemikiran tersebut, sepantasnya kita berusaha agar Pemilu 2014 mendatang bisa menjadi sebuah pemilu yang demokratis dan modern. Yakni, pemilu yang mengedepankan substansi dan rasionalitas. Kesuksesan pemilu menuntut kepedulian semua pihak untuk mengambil tanggung jawab dalam menyukseskan pemilu. Tidak hanya lembaga formal penyelenggaran pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu) serta para peserta pemilihan umum, tetapi juga para warga negara pemilih yang perlu bersungguh-sungguh menggunakan hak pilihnya secara sadar dan rasional, bukan semata-mata pertimbangan emosional apalagi atas dasar saweran, yakni menentukan pilihan hanya karena imbalan uang.
Pemilu memang merupakan pilar utama dalam demokrasi, dia merupakan proses akumulasi kehendak warga negara sekaligus prosedur memilih pemimpin atau mekanisme suksesi dan sirkulasi elit politik yang paling tertib dan aman. Pemilu juga berfungsi sebagai legitimasi politik dan pendidikan politik. Dengan Pemilu, ruang politik publik demikian terbuka.
Perbaikan sistem terus dilakukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta Pemerintah, sebagai penyedia sistem pun kini tengah bekerja menyelesaikan sejumlah undang-undang. Nampaknya, sistem perwakilan proporsional, dengan membentuk daerah pemilihan yang kecil provinsi atau bagian provinsi (semacam distrik) tetap dipertahankan. Sistem ini memang semakin mendekatkan kontestan dengan pemilih. Apalagi dengan tidak perwakilan tunggal, sesungguhnya dapat mempermudah garis-garis komunikasi antara otoritas terpilih dengan rakyat pemberi suara. Fungsi keterwakilan dan akuntabilitas dapat lebih dimaksimalkan. Perwakilan banyak dalam sebuah daerah pemilihan juga lebih memastikan bahwa semua kelompok dalam masyarakat yang sangat bhineka, plural, merasa disertakan dalam proses politik atau lebih merefleksikan keberagaman.
Sebaliknya, karena kedekatan calon dengan pemilih, ditambah semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi sebagai akibat semakin bebasnya media massa menyampaikan informasi, maka menjadi tantangan bagi pejabat terpilih dan partai politik, karena sepak terjangnya teramati terus. Ini menuntut keharusan bagi pejabat publik untuk menjalankan tugasnya sebagaimana yang dikehendaki rakyat pemilihnya. Dia harus bekerja dibawah kontrol terus-menerus dari publik. Di era keterbukaan informasi ini, jika pejabat terpilih mengabaikan kehendak publik, maka hampir dipastikan dia akan ditinggalkan oleh pemilihnya.Standar kompetensi
Karena itulah, tantangan bagi partai-politik untuk terus mengembangkan dirinya agar tetap diterima rakyat pemilihnya. Sebagai penyedia bahan baku untuk anggota DPR, DPRD bahkan pasangan presiden dan wakil presiden, partai politik dituntut keikhlasan dan kesediannya menggunakan pendekatan standar kompetensi. Partai haruslah menjadi seleksi awal dengan memilih anggota-anggota terbaiknya untuk menduduki jabatan-jabatan sebagaimana kompetensinya. Pertimbangan elektabilitas calon juga harus disertai pertimbangan kapasitas dan kompetensi. Dengan demikian, partai menjalankan fungsi kaderisasi dan pendidikan politik bagi rakyat.
Belajar dari pengalaman, banyaknya anggota partai politik yang menduduki jabatan publik dan tersandung kasus suap, gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang serta narkoba, memberi gambaran bahwa partai bersangkutan belum memaksimalkan pendekatan kompetensi dalam rekrutmen kepemimpinannya. Jika ini terus berlangsung, maka tingkat kepercayaan rakyat kepada partai akan terus menurun. Bagaimana pun, kinerja politik dari anggota partai yang menduduki jabatan publik adalah instrumen kampanye paling efektif bagi partai politik. Standar kompetensi juga harus diterapkan pada para penyelenggaran pemilu, KPU dan Bawaslu, mengingat dua lembaga itu memiliki peran strategis dalam penyuksesan pemilu. Kasus kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), kisruh penetapan calon terpilih dan munculnya surat palsu MK serta mundurnya anggota KPU sebelum habis masa tugasnya hanya karena tertarik pada jabatan lain, juga memberi gambaran betapa mereka kurang memiliki kompetensi. Selayaknya, ke depan kasus-kasus seperti itu tidak terulang lagi.
Yang juga perlu menjadi catatan penting dari KPU yang sekarang adalah adanya berita pemusnahan dokumen pemilu sebagaimana santer diberitakan sejumlah media beberapa waktu lalu. Dokumen pemilu yang dimusnahkan itu, antara lain menyangkut Berita Acara dan Sertifikat Hasil Pemilu di tingkat TPS (Formulir C-1) yang terjadi di sebagian besar daerah (KPU Kabupaten/Kota) di wilayah NKRI.
Dokumen-dokumen tesebut, tentu harus dipahami bukanlah semata-mata dokumen yang terkait dengan keperluan sengketa pemilu, sehingga perlu dimusnahkan ketika masa gugatan sengketa pemilu telah berakhir. Semestinya, dokumen pemilu itu harus dimaknai sebagai dokumen sejarah milik negara yang bisa bercerita banyak dikemudian hari. ●