Kembali ke Konstitusi
Hajriyanto Y Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
Sumber : SINDO, 4 Januari 2012
Tahun 2012 adalah tahun pancaroba di bidang politik dan ekonomi. Pancaroba politik karena pada tahun ini pergumulan politik akan terus berlangsung dan memanas antarpemain utama perpolitikan nasional yang membentuk konfigurasi kekuatan politik sekarang ini:
Presiden SBY dengan pendukung- pendukungnya, partaipartai politik,dan kaum oposisi ekstraparlementer. Dialektika dan interplayantara ketiga sumbu kekuatan itulah yang akan menjadikan perpolitikan Indonesia pada 2012 memanas dan saling mengancam yang diduga akan diwarnai suasana yang nyaris kaotis secara politik.Jika demikian yang terjadi,dinamika politik yang mencapai titik didih itu akan memiliki resonansi dan reperkusi politik yang besar yang berupa guncanganguncangan politik yang kuat.
Pancaroba ekonomi akan terjadi akibat krisis ekonomi global terutama di Eropa dan Amerika Serikat.Tetapi bukan ini yang mengakibatkan terjadinya pancaroba secara langsung, melainkan problem pemerataan atas hasil pertumbuhan ekonomi selama ini yang secara makro memang sangat fenomenal.Ketidakmerataan ini akan membawa problem ikutannya, yaitu memuncaknya kecemburuan sosial ekonomi akibat kesenjangan yang semakin lebar antara sekelompok kecil orang kaya dan selautan rakyat yang miskin dan papa!
Dalam kaitan ini MPR menyampaikan appeal kepada penyelenggara negara,baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, komisi-komisi negara, dan pemerintah daerah untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi kita bernegara. Konstitusi haruslah dibaca secara utuh dan luas,bukan hanya secara tekstual pasal per pasal, melainkan ruhnya konstitusi yaitu dasar-dasar kenegaraan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: Pancasila dan tujuan dibentuknya negara ini.
Seruan ini relevan dan urgent karena kita sudah terlalu jauh mengembara meninggalkan konstitusi dan konstitusionalisme. Atas nama masa transisi politik dan demokrasi kita mengabaikan konstitusi dan atau empat pilar negara.Kini pada 2012 kita tidak boleh lagi menyebut era ini sebagai masa transisi, tapi masa konsolidasi sistem politik dan kehidupan demokrasi berdasarkan konstitusi.
Politik kita sudah terlalu jauh meninggalkan kearifan lokal (local wisdom) sebagai budaya bangsa yang kemudian dirumuskan dalam Pancasila. Apalagi pembangunan perekonomian kita.Asas ekonomi kekeluargaan dan kebersamaan dalam semangat kerakyatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 karena teperdaya oleh tekanan globalisasi telah digantikan dengan ekonomi pasar yang mendewa- dewakan pertumbuhan tanpa peduli pada kualitas pertumbuhan (the quality of growth) yang berbasiskan asas pemerataan.
Ideologi pertumbuhan di mana yang penting ekonomi tumbuh tak peduli pertumbuhan itu karena apa dan menguntungkan siapa saja sungguh telah mencederai nilai- nilai keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa sekaligus Sila Kelima Pancasila.Sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi kita dewasa ini propoor. Pertumbuhan ekonomi memang tinggi, bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di dunia,
tetapi pertumbuhan itu 49% disumbangkan oleh penjualan hasil tambang yang eksplorasinya berpotensi merusak lingkungan.Belum lagi menjadi faktor penyebab terbesar sengketa lahan pertambangan dengan rakyat penduduk tradisional tanah-tanah tersebut. Yang terakhir ini tampak dalam kasus Mesuji,Sumatera Selatan, dan Bima NTB. Sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi kita dewasa ini propeople dan proenvironment.
Dalam konteks dan perspektif ini saya mengusulkan segera dilakukannya dua langkah strategis: (1) konsolidasi politik dengan menekankan langkah pribumisasi demokrasi; dan (2) konsolidasi perekonomian nasional dengan melakukan kontekstualisasi perekonomian pasar bebas. Keduanya (pribumisasi demokrasi dan kontekstualisasi pasar bebas) harus berakar dan sekaligus merupakan perkembangan dari demokrasi asli Indonesia dan semangat kekeluargaan berdasarkan ekonomi kerakyatan! Marilah kembali ke konstitusi, back to the constitution! ●