A. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berbangsa
Agama itu sangat penting disegala aspek kehidupan umat manusia selain itu agama juga agama berperan untuk menenangkan jiwa dan raga. Dengan agama yg kita yakini hidup akan lebih baik dan indah. Dengan agama kita akan lebih bijak menyikapi sesuatu. Contohnya saja diZaman Nabi Muhammad agama berperan penting dalam segala bidang termasuk pemerintahannya. Dizaman sekarang ini banyak orang pinter tapi agamanya kurang selain itu pinternya pada kebelinger, pintar bicara saja. tapi tidak ada buktinya. Makanya agama itu dibutuhkan oleh setiap umat manusia
Islam adalah solusi. Solusi segala permasalahan di dunia ini dengan kesempurnaan ajarannya (syumul). Kesempurnaan ajaran Islam dapat ditelaah dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan Sunnah yang mengatur pola kehidupan manusia, mulai dari hal terkecil hingga terbesar baik ekonomi, sosial, politik, hukum, ketatanegaraan, budaya, seni, akhlak/etika, keluarga, dan lain-lain. Bahkan, bagaimana cara membersihkan najis pun diatur oleh Islam.
Ajaran Islam merupakan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam), artinya Islam selalu membawa kedamaian, keamanan, kesejukan, dan keadilan bagi seluruh makhluk hidup yang berada diatas dunia. Islam tidak memandang bentuk atau rupa seseorang dan membedakan derajat atau martabat manusia dalam level apapapun. Islam menghormati dan memberikan kebebasan kepada seseorang untuk menganut suatu keyakinan atau agama tanpa memaksakan ajaran Islam tersebut dijalankan (laa ikrahaa fiddiin).
B. Penjelasan Qur’an Surat an-Nisa Ayat 59
Yaa ayyuhalladziina aamanuu athii’ullaha wa athii’urrasuula wa uulil amri minkum, fain tanaaza’tum fii syai-in farudduuhu ilallaha warrasuuli inkuntum tu-minuuna billahi walyaumil aakhiri, dzalika khairun wa-ahsanu ta-wiila. (Q.S. an-Nisa 59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Tentang Ayat Ini
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata tentang firman-Nya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu.” Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus oleh Rasulullah di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jama’ah kecuali Ibnu Majah.
Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW sudah memberi batasan kepada kita, bahwasannya ketaatan hanya pada yang ma’ruf, dan bukannya pada yang tidak ma’ruf.
Ayat juga ini disebutkan oleh ulama sebagai hak para pemimpin yang menjadi kewajiban rakyat. Sedangkan pada ayat sebelumnya QS. An-Nisa': 58, sebagai hak rakyat yang menjadi kewajiban para pemimpin. Yaitu agar para pemimpin menunaikan amanat kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, dan memutuskan hukum di antara rakyatnya dengan seadil-adilnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59)
Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.
Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:
Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59)
Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Hujuraat: 1)
Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: "Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!"
Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segenap perkara yang diperselisihkan.
Makna Ulil Amri
‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas bahwa, “Wa uulil amri minkum” (Dan Ulil Amri di antara kamu), maknanya adalah ahli fiqh dan ahli agama. Sedangkan menurut Mujahid, ‘Atha, Al-Hasan Bashri dan Abul ‘Aliyah-begitu pula Ibnu Qayyim Al-Jauziyah-, bermakna ulama. Ibnu Katsir menambahkan, “Yang jelas bahwa Ulil Amri itu umum mencakup setiap pemegang urusan, baik umara maupun ulama.”
Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in mengatakan, “Allah SWT memerintahkan manusia agar taat kepada Ulil Amri, dan Ulil Amri itu tidak lain adalah ulama, akan tetapi diartikan juga sebagai umara (pemerintah/tokoh formal masyarakat).”
Jadi, tidaklah benar ‘Ulil Amri’ bermakna satu-satunya pemimimpin dalam satu jamaah tertentu.
Ibnu Katsir berkata, “Ayat di atas (QS. An-Nisa: 59) adalah perintah untuk mentaati ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman, ‘Taatlah kepada Allah,’ yaitu ikutilah Kitab-Nya (Al-Qur’an), ‘Dan taatlah kepada Rasul,’ yaitu peganglah Sunnahnya, ‘Dan Ulil Amri di antara kamu,’ yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah.”
Artinya taat kepada Ulil Amri ada batasannya, berbeda dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang merupakan sesuatu yang mutlak.
Larangan Taqlid pada Ulil Amri
Ibnu Qayyim meneruskan dalam kitabnya tersebut, bahwasannya makna taat kepada Ulil Amri adalah bertaqlid kepada apa yang mereka fatwakan. Akan tetapi hal yang tidak dimengerti oleh orang-orang yang taqlid adalah bahwa Ulil Amri-seharusnya-hanya ditaati apabila tidak keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Para ulama dalam hal ini hanya berfungsi sebagai mediator (penyampai perintah dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat), sementara Umara memegang peranan sebagai fasilitator demi kelancarannya. oleh karena itu, ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di bagian mana dalam ayat ini yang menunjukkan prioritas pendapat para ulama atas Sunnah Rasulullah SAW, dan anjuran untuk bertaqlid kepada pendapat-pendapat itu?
Ibnu Qayyim meneruskan, bahwa sesungguhnya ayat yang membicarakan tentang ketaatan kepada Ulil Amri adalah alasan yang paling kuat untuk membantah dan memperjelas kekeliruan taqlid. Kekeliruan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, perintah taat kepada Allah adalah perintah untuk melakukan segala apa yang diperintahkannya, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Kedua, Ketaatan kepada Rasul SAW. Dua bentuk ketaatan ini tidak akan dapat ditunaikan oleh seorang hamba kecuali dengan mengenal dan tahu persis apa yang diperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mengetahui perintah-perintah Allah dan hanya bertaqlid kepada Ulil Amri, niscaya ia tidak mungkin mewujudkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, Di dalam sebuah riwayat ditemukan larangan untuk bertaqlid kepada Ulil Amri, sebagaimana terdapat dalam riwayat yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan lain-lain dari kalangan sahabat. Teks riwayat itu telah kita ketahui dari 4 Imam besar Al-Matbu’ (yang diikuti).
Keempat, Allah SWT berfirman, “Apabila kalian berselisih dalam sebuah urusan, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), sekiranya kalian beriman kepada-Nya dan kepada hari kiamat.” (QS. An-Nisa: 59)
Ayat ini dengan tegas menyalahkan taqlid dan melarang untuk mengembalikan perselisihan pada pendapat seseorang atau pandangan satu madzhab tertentu.
C. Hadits Tentang Politik
1. Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka. (HR. Abu Na'im)
2. Tidak akan sukses suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. (HR. Bukhari)
3. Rasulullah Saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda ditangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir. (HR. Ad-Dailami)
5. Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan. (HR. Muslim)
6. Ada tiga perkara yang tergolong musibah yang membinasakan, yaitu:
a. Seorang penguasa bila kamu berbuat baik kepadanya, dia tidak mensyukurimu dan bila kamu berbuat kesalahan dia tidak mengampuni.
b. Tetangga apabila melihat kebaikanmu dia pendam (dirahasiakan atau diam saja) tapi bila melihat keburukanmu dia sebarluaskan.
c. Isteri bila berkumpul dia mengganggumu (diantaranya dengan ucapan dan perbuatan yang menyakiti) dan bila kamu pergi (tidak di tempat) dia akan mengkhianatimu. (HR. Ath-Thabrani)
7. Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang bagi mereka. (HR. Ahmad)
8. Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath-Thabrani)
9. Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat. (HR. Ath-Thabrani)
Keterangan: Hal tersebut karena dia menyalah-gunakan jabatannya dengan berbuat yang zhalim dan menipu (korupsi dll).
10. Aku mendengar Rasulullah Saw memprihatinkan umatnya dalam enam perkara:
a. Diangkatnya anak-anak sebagai pemimpin (penguasa).
b. Terlampau banyak petugas keamanan.
c. Main suap dalam urusan hokum.
d. Pemutusan silaturahmi dan meremehkan p*mbunuhan.
e. Generasi baru yang menjadikan Al Qur'an sebagai nyanyian.
f. Mereka mendahulukan atau mengutamakan seorang yang bukan paling mengerti fiqih dan bukan pula yang paling besar berjasa tapi hanya orang yang berseni sastra lah. (HR. Ahmad)
11. Barangsiapa diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR. Ahmad)