Ketika Buruh Turun ke Jalan
Andi Irawan, PEMINAT TELAAH EKONOMI-POLITIK INDONESIA
Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012
Para buruh melakukan demo yang memacetkan perjalanan pengguna jalan raya hampir 10 km di jalan tol Jakarta-Cikampek. Bukan hanya itu, demo buruh yang berdurasi satu hari tersebut menyebabkan setidaknya 5.000 perusahaan tutup sementara waktu sepanjang 27 Januari 2012 di kawasan industri Jababeka. Bekasi sebagai lokasi utama demo buruh merupakan kawasan utama ekspor. Adanya demonstrasi menghambat pengiriman barang-barang ekspor, yang akibatnya menimbulkan kerugian miliaran rupiah.
Demonstrasi ini dipicu oleh dikabulkannya gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai upah minimum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Barat. Pengusaha menilai gubernur melanggar kesepakatan lantaran menetapkan upah sedikit di atas yang diputuskan dalam musyawarah antara wakil pengusaha dan buruh.
Angka yang dipatok oleh Gubernur Jawa Barat itu terdiri atas tiga kelompok, sesuai dengan masa kerja, yakni Rp 1,5 juta per bulan untuk kelompok I, Rp 1,7 juta untuk kelompok II, dan Rp 1,8 juta untuk kelompok III. Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung mengabulkan keberatan kalangan pengusaha itu. Dengan kata lain, upah mesti diturunkan sekitar Rp 100-200 ribu (Editorial Koran Tempo 31 Januari).
Secara substansi, penolakan kalangan pengusaha itu tidak selayaknya terjadi. Ada beberapa alasan mengapa kita tidak setuju terhadap gugatan pengusaha tersebut dan bisa memahami demonstrasi yang dilakukan para buruh.
Pertama, struktur pasar tenaga kerja domestik adalah pasar yang monopsonistik.
Struktur pasar yang demikian terutama ditandai oleh sedikitnya perusahaan yang meminta tenaga kerja dan sangat banyaknya pencari kerja.
Dengan logika sederhana segera terlihat bahwa struktur pasar yang demikian ini akan menempatkan buruh dalam posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan perusahaan. Dalam struktur pasar monopsonistik ini, teori ekonomi mikro mengatakan upah keseimbangan yang terjadi di pasar pasti lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marginal tenaga kerja.
Artinya, buruh dibayar di bawah nilai produktivitasnya. Dengan kata lain, buruh menerima imbalan yang lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan yang mereka berikan kepada perusahaan. Selisih antara produktivitas dan upah yang diterima buruh sering disebut sebagai eksploitasi. Dengan memahami perilaku pasar tenaga kerja yang monopsonistik ini, maka tuntutan kenaikan upah yang diminta para buruh itu adalah hal yang rasional.
Kedua, upah minimum buruh yang digugat para pengusaha berkisar Rp 1,5-1,8 juta per bulan tersebut sesungguhnya masih jauh untuk bisa mencukupi kebutuhan primer mereka dalam satu bulan. Artinya, kita tidak selayaknya menggunakan asumsi kapitalisme primitif yang mengatakan bahwa upah buruh yang murah merupakan keunggulan kompetitif untuk menarik investasi, padahal tingkat upah buruh tersebut masih jauh dari hidup patut. Karena, sesungguhnya tingkat kesejahteraan berkorelasi erat dengan produktivitas.
John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya, Principles of Political Economy, mengemukakan bahwa biaya tenaga kerja tidak sama dengan upah. “Biaya tenaga kerja kerap kali paling tinggi jika upah berada pada tingkat yang paling rendah.... Tenaga kerja, walaupun murah, boleh jadi tidak efisien.“Biaya tenaga kerja turun jika para buruh bekerja lebih efisien. Karena itu, laba perusahaan yang besar dan upah yang tinggi bisa terjadi secara bersamaan.
Mankiw (1997) bahkan mengemukakan bahwa efficiency wages sangat penting diterapkan di negara-negara berkembang yang mengalami surplus tenaga kerja. Efficiency wages adalah tingkat upah yang lebih tinggi dari tingkat upah keseimbangan pasar guna menjaga keberlanjutan efisiensi produksi perusahaan. Dalam konteks kita, efficiency wages ini adalah tingkat upah yang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan (kebutuhan primer) buruh secara memadai.
Apa arti penting efficiency wages bagi perusahaan? Pertama, tingkat upah ini akan memberikan kebutuhan gizi yang cukup bagi buruh untuk mempertahankan produktivitasnya, dalam konteks kekinian kita sekitar 2.800-3.200 kalori per hari. Selain itu, buruh mendapatkan fasilitas kerja dan alat pelindung kesehatan yang cukup, tempat pemondokan yang layak, dan asuransi kesehatan bagi buruh dan keluarganya. Jika seluruh hak ini bisa terpenuhi, layak bagi pengusaha untuk menuntut produktivitas tinggi.
Kedua, mencegah terjadinya moral hazard oleh buruh. Sebab, pada hakikatnya perusahaan akan sangat sulit untuk melakukan pengawasan dan kontrol secara perfeksionis sepanjang waktu terhadap buruhburuhnya. Seorang buruh dengan upah rendah akan mudah bersikap lalai dan tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya walaupun ia tahu dampaknya ia bisa dipecat. Tingkat upah yang tinggi akan memberinya motivasi untuk bertanggung jawab dan berproduktivitas tinggi dalam pekerjaannya.
Ketiga, tingkat upah ini mencegah setiap buruh berkualitas prima meninggalkan perusahaan karena mencari pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya, yang tinggal di perusahaan adalah buruh baru dengan pengalaman kerja minim yang membutuhkan pelatihan dan adaptasi. Semua ini akan mengurangi efisiensi produksi perusahaan.
Sebenarnya ada titik temu antara buruh dan pengusaha. Pengusaha sesungguhnya masih mampu memenuhi tuntutan para buruh untuk mendapatkan efficiency wages seandainya transaction cost berupa biaya siluman, biaya pelicin, dan lain-lain yang mencapai 30-40 persen dari biaya produksi dapat dihilangkan. Sebagaimana yang diketahui, komponen upah buruh besarnya sekitar 10-15 persen dari biaya produksi.
Transaction cost yang besar tersebut merugikan baik pengusaha maupun buruh. Memerlukan upaya bersama untuk memangkas bahkan menghilangkan transaction cost tinggi tersebut. Dengan demikian, kesejahteraan buruh bisa ditingkatkan, meskipun upaya ini cukup berat karena harus berhadapan dengan mesin birokrasi negara yang ber-transaction cost tinggi.
Sebaiknya aksi demo para buruh itu ditujukan kepada mesin birokrasi negara untuk segera membersihkan perilaku ekonomi biaya tinggi tersebut. Begitu juga para pengusaha melalui asosiasi-asosiasinya berani secara tegas mendeklarasikan penolakan terhadap semua bentuk biaya siluman yang membebani mereka selama ini. ●