Antara Kapitalisme dan Koperasi
Tawaf T. Irawan, DIREKTUR EKONOMI LEMBAGA STUDI DAN PENGEMBANGAN ETIKA USAHA
Sumber : SUARA KARYA, 8Februari 2012
Sepertinya kita perlu merenungkan sejenak nasib kapitalisme. Hingga hari ini, kesahihan invisible hand sedang menghadapi ujian terberatnya. Satu per satu negara-negara Eropa seperti Yunani, Portugal, Spanyol dan Belgia serta beberapa negara lainnya telah menjadi 'negara pesakitan'. Sejumlah negara Eropa memerlukan pengobatan serius. Bahkan, di antara mereka mungkin nantinya terancam masuk ruang Intensive Care Unit (ICU).
Negara-negara tersebut adalah pengusung tulen kapitalisme, yang motor utamanya adalah Amerika Serikat (AS). Terakhir, AS sendiri telah menghadapi kritik pedas dari sebagian rakyatnya yang menamakan dirinya sebagai 'kelompok 99%', yaitu kelompok yang merasa terpinggirkan, termarjinankan dan tidak mendapatkan keadilan ekonomi dari negaranya. Kelompok ini menjadi miskin bukan karena rendahnya kreativitas mereka. Mereka miskin karena terkunci akses ekonominya yang selama ini dikuasai oleh 'kelompok 1%'. Kelompok inilah yang terus mengakumulasi kekuatan ekonominya dengan cara-cara yang disahkan oleh sistem kapitalisme.
Wajah 'mulia' kapitalisme memang dapat kita temukan, misalnya, pengakuan yang demikian besar pada eksistensi individual dalam mengkreasikan hak-hak ekonomi dan kesejahteraannya. Kapitalisme memberikan ruang yang demikian besar terhadap individu dalam akumulasi modal tanpa batas. Kreasi dan kreativitas sangat dijunjung tinggi dalam paham ini. Kemudian, berbagai model dan pendekatan investasi diberikan ruang selebar mungkin dengan berbagai turunannya yang mengasyikkan.
Tapi, apakah 'hukum individualisme' ini telah memberikan dampak positif terhadap kemaslahatan orang banyak? Kata greedy (ketamakan) yang pernah dilontarkan beberapa abad lalu oleh Adam Smith, akhirnya belakangan ini telah dibuktikan dengan banyaknya gejolak yang terjadi di beberapa negara seperti di AS dan Eropa. Sistem kapitalisme justru telah melahirkan kemiskinan 2/3 penduduk di atas muka bumi ini. (Todaro, 2000)
Kesemua ini tidak lepas dari semangat ketamakan yang dibangun oleh negara-negara maju, perusahaan multi national corporation (MNC), dan para komprador di negara-negara berkembang, yang mau mengeksplorasi dan menjual kekayaan bangsanya demi kenyamanan diri dan kelompoknya.
Kapitalisme yang penuh 'wajah buruk' itu terus di-make over agar terlihat cantik dan menarik. Padahal, banyak pakar ekonomi telah sanksi atas keampuhan sistem kapitalisme dalam menyelesaikan masalah ketimpangan dan kemiskinan dunia. Bahkan, ekonom sekaliber Paul Ormerod telah menghakimi bahwa teori ekonomi telah mati. Kegalauan para ekonom terhadap teori ekonomi akhirnya terjawab sudah dengan peristiwa serial kegoncangan ekonomi di negara-negara Eropa.
Lebih Bergairah
Mungkinkah kelesuan kapitalisme dapat tergantikan oleh gairah koperasi? Pertanyaan ini memang terdengar sangat ambisius. Terang saja, gaung dan gejolak kapitalisme terjadi nun jauh di sana. Terlalu berlebihan memang jika mencoba untuk mengkaitkan gairah koperasi dengan kelesuan kapitalisme. Tapi, di sini ada esensi penting yang perlu dilihat dari gairah koperasi itu.
Perlulah disadari bahwa koperasi merupakan kumpulan orang, bukan kumpulan modal. Esensi kumpulan orang ini memberikan makna yang dalam. Koperasi sangat menghargai eksistensi orang. Berbeda dengan sistem kapitalisme bahwa orang didudukkan sebagai 'alat produksi'. Mungkin tidak salah bahwa aksi demo buruh di Bekasi, baru-baru ini juga dapat dimaknai bahwa pekerja itu diposisikan sebagai 'mesin pabrik' yang diperlakukan secara efisien dan efektif.
Inilah perbedaan esensial antara sistem kapitalisme dan koperasi. Yang terkandung dalam koperasi, setiap orang memiliki hak dan kewajiban sama, yang disesuaikan dengan kontribusi masing-masing. Di koperasi dikenal prinsip one man, one vote. Di koperasi juga dikenal konsep 'redistribusi pendapatan'. Pengertian redistribusi pendapatan ini adalah bahwa setiap aktivitas koperasi, baik aktivitas modal maupun ekonomi memiliki korelasi terhadap kepentingan ekonomi anggota, karyawan, pengurus dan bahkan masyarakat.
Hal ini, misalnya, terlihat pada saat koperasi membagikan Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggota, pengurus, dan karyawan. Terutama, anggota dan pengurus, mereka akan memperoleh SHU sesuai dengan kontribusi masing-masing. Keaktifannya dalam mengembangkan usaha koperasi melalui peran transaksi yang dilakukannya akan berdampak pada kemanfaatan yang diperolehnya di akhir buku nanti.
Lingkungan dan masyarakat di sekitar koperasi juga memperoleh kemanfaatan dari penyelenggaraan siati koperasi. Misalnya, melalui dana sosial dan pembangunan lingkungan. Dengan memperhatikan penjelasan yang sederhana ini, maka jika persepsi dan pemahamannya diagregasikan secara makro dan meluas ke seluruh Indonesia, tidaklah mengherankan jika masyarakat bahkan mereka yang berada di pelosok-pelosok desa akan mendapatkan manfaat dari keberadaan koperasi ini. Artinya, konsep redistribusi pendapatan akan mengalir dengan mulus dan berkesinambungan.
Maka, tidak mengherankan, mengapa koperasi ketika belum tergusur oleh keangkuhan kapitalisme kala itu, telah mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Indonesia secara luas? Barangkali ada baiknya para pelaku ekonomi AS dan Eropa perlu menengok sejenak koperasi untuk dapat menarik hikmah di dalamnya! ●