Politik Akuisisi Partai


Politik Akuisisi Partai
Muhammad Aziz Hakim, MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA; PENGURUS PP GP ANSOR
Sumber : JAWA POS, 3Februari 2012



"MUNDURselangkah untuk maju beberapa langkah". Demikian kira-kira gambaran langkah kuda politik Partai Nasional Republik (Nasrep). Di saat partai politik baru -seperti SRI dan PKBN- berjibaku melengkapi berkas administrasi, Nasrep justru menarik diri dan mengakuisisi Partai Nurani Umat (PNU). Memanfaatkan celah hukum (loophole) UU No 2/2011 tentang Partai Politik, kini Nasrep sudah resmi berbadan hukum dan bersiap mengikuti verifikasi partai politik peserta pemilu.

Langkah kuda Nasrep ini mengejutkan. A. Malik Haramain, anggota Komisi II DPR, menegaskan bahwa langkah yang diambil oleh Nasrep adalah melanggar hukum (indopos.co.id, 31/2012). Benarkah akuisisi PNU oleh Nasrep tidak memiliki landasan yuridis sekaligus melanggar hukum?

Ketentuan Yuridis

UU No 2/2008 mengatur partai politik sebagaimana telah diubah oleh UU No 2/ 2011. Dalam dua UU tersebut, secara eksplisit tidak diatur perubahan nama parpol. Namun, setidaknya ada beberapa pasal yang dapat dikaitkan dengan perubahan nama parpol.

Pertama, ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No 2/2011 yang menyebutkan bahwa AD/ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan parpol. Dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) ini, terbuka peluang untuk mengubah nama parpol. Ini disebabkan materi muatan AD/ART yang tercakup di dalamnya adalah nama parpol, tanda gambar, dan lambang, serta ketentuan-ketentuan lain.

Kedua, pasal 41 poin (b) UU No 2/2008 yang menyebutkan bahwa parpol bubar apabila menggabungkan diri dengan parpol lain. Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan bahwa penggabungan partai memungkinkan dua format, yakni berupa menggabungkan diri membentuk parpol baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru dan menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu parpol.

Terdapat perbedaan akibat hukum dari dua format tersebut. Akibat hukum format pertama adalah parpol baru tersebut harus memenuhi ketentuan pasal 2 dan pasal 3, yakni keharusan melalui proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM (pasal 43 ayat 2). Adapun akibat hukum dari penggabungan parpol dengan format kedua adalah tidak diharuskannya melalui proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM (pasal 43 ayat 3).

Fakta Hukum

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang dilakukan Nasrep itu penggabungan partai ataukah "hanya" perubahan AD/ART partai. Pertama, penggabungan partai. Penggabungan dalam pengertian pasal 41 dan pasal 43 UU No 2/2008 adalah penggabungan dua partai politik atau lebih yang sudah berbadan hukum.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), terdapat lima unsur pokok badan hukum: (1) harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum lain; (2) mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (3) mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum; (4) ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri; dan (5) terdaftar sebagai badan hukum.

Dengan pengertian ini, perubahan nama PNU menjadi Nasrep bukan akibat penggabungan parpol. Mengapa? Sebab, Nasrep (sebelum perubahan PNU) bukan badan hukum meskipun menyebut dirinya parpol. Ini terjadi karena kegagalan Nasrep dalam verifikasi partai menjadi badan hukum. Karena itu, tidak tepat jika perubahan PNU menjadi Nasrep memakai landasan yuridis pasal 41 dan 43 UU No 2/2008 ini.

Kedua, perubahan AD/ART partai. Fakta hukum yang terjadi dalam kasus PNU dan Nasrep lebih tepat disebut sebagai perubahan AD/ART partai, yang masuk di dalamnya mengenai perubahan nama, lambang, dan tanda gambar partai. Jika memang berlandasan dan tidak bertentangan dengan AD/ART PNU, perubahan nama itu secara yuridis formal sah. Dan Surat Keputusan Menkumham No: M.HH-02.AH.11.01 tanggal 4 Januari 2012 menegaskan hal itu, yakni Keputusan tentang Perubahan AD/ART, Nama, dan Lambang Partai Nurani Umat menjadi Partai Nasional Republik. Karena itu, tidak tepat jika bahasa yang digunakan adalah akuisisi. Lebih tepat adalah perubahan AD ART PNU. Landasan yuridisnya pun sangat jelas, yakni pasal 5 ayat (1) UU No 2/2011.

Dengan demikian, perubahan PNU menjadi Nasrep sah secara yuridis formal. Perubahan nama ini tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Inilah celah hukum (loophole) yang terdapat pada UU No 2/2008 maupun UU No 2/2011 yang tentu menjadi pembelajaran bagi DPR dalam merumuskan ketentuan perundang-undangan mengenai partai politik pada masa yang akan datang.

Terlepas dari kontroversi etik dan tidaknya langkah politik Nasrep, fakta hukum dan landasan yuridis memungkinkan hal itu terjadi dan sah. Toh perjuangan Nasrep untuk menjadi parpol peserta pemilu masih cukup panjang. Nasrep harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang cukup berat dalam RUU Perubahan UU Pemilu. Di antaranya, memiliki anggota 1.000 orang atau 1/1.000 orang dari jumlah penduduk dalam satu kabupaten/kota yang terdapat kepengurusan Partai Nasrep. Sungguh persyaratan yang cukup berat. Selamat mengikuti verifikasi KPU.
◄ Newer Post Older Post ►