Korporasi dan Korupsi
Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PADJADJARAN,
ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (NASDEM)
Sumber : SINDO, 28 Februari 2012
Korporasi pada abad ke-21 telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional di seluruh dunia. Jika dirunut sejarah korporasi di Indonesia, harus diakui bahwa sejak pemerintah kolonial Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sesungguhnya adalah sekumpulan badan usaha Belanda yang melakukan perluasan perdagangan ke Nusantara dan beberapa daerah jajahan lainnya.
Korporasi dalam abad globalisasi saat ini dilandaskan pada aliran liberalisme yang meyakini bahwa korporasi harus diberikan ruang gerak berbisnis tanpa hambatan. Harapannya adalah dunia usaha yang baik tanpa KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme) akan berdampak pada peningkatan devisa negaradanpadagilirannya akanmemberikan kesejahteraan bagi rakyat di negerinya.
Pernyataan ini seakan tampak sempurna, tetapi dalam kenyataan berbeda jauh sekali karena selain terdapat korporasi yang sungguh-sungguh melaksanakan prinsip good corporate governance(GCG), terdapat juga korporasi yang berselimut legitimitas, tetapi beraktivitas kejahatan.Korporasi semacam ini dikenal dengan berbagai istilah,corporate crime atau business crime, dan berasal dari korporasi yang didirikan oleh organisasi kejahatan (mafia).
Kondisi ini terutama terjadi di AS sejak 1950-an sampai saat ini, juga di Jepang dengan Yakuza dan di beberapa negara lain termasuk Indonesia. Kehidupan dan perkembangan korporasi di Indonesia kini didasarkan pada Undang- Undang (UU) RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sejak pendiriannya sampai pada perubahan anggaran dasar. Undang-undang 2007 telah mengatur tentang berbagai syarat pendirian bagi suatu perseroan terbatas antara lain nama dan tempat kedudukan perseroan,maksud dan tujuan,serta jumlah modal yang disetor.
Selain itu juga dalam akta pendirian tercantum sekurang-kurangnya nama dan alamat lengkap pendiri perorangan, direksi dan komisaris, kewarganegaraannya, juga nama pemegang saham perseroan tersebut. Semua data korporasi berbadan hukum tercatat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.Korporasi dalam Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1999/2001 dan UU Antipencucian Uang Tahun 2010 adalah yang berbentuk badan hukum (perseroan terbatas) dan bukan berbadan hukum seperti organisasi masyarakat dan partai politik.
Keterlibatan Korporasi
Dalam praktik pemberantasan korupsi sejak 1960-an sampai saat ini 99% perkara korupsi selalu melibatkan korporasi di dalamnya baik sebagai pelaku maupun korporasi dijadikan kendaraan untuk melakukan korporasi atau menikmati keuntungan dari kejahatan. Fakta ini mencerminkan bahwa proses pendirian korporasi dan perubahan anggaran dasar memerlukan kajian ulang sehingga dapat dicegah korporasi bertentangan dengan maksud dan tujuan pendiriannya.
Korporasi dalam sistem hukum pidana telah diakui sebagai subjek hukum pidana yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi hukuman termasuk ormas dan partai politik yang terlibat dalam korupsi. Pertanggungjawaban pidana tersebut dibebankan pada direksi, dewan komisaris,dan pemegang saham sebagai peserta RUPS (rapat umum pemegang saham) atau kepada personel pengendali di dalam suatu korporasi.
Personel pengendali ini diartikan dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Merujuk pada UU RI Nomor 8 Tahun 2010 di atas,penyidikan dan pembuktian harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi termasuk antara lain tugas dan wewenang KPK sehingga dapat menyentuh personel pengendali korporasi, tidak hanya direksi atau anggota dewan komisaris atau pemegang saham korporasi.
Pertanggungjawaban pidana organ korporasi harus juga mempertimbangkan secara hati-hati ketentuan mengenai tanggung jawab perdata yang telah diatur dalam UU RI Nomor 40 Tahun 2007 agar tidak terkesan perkara perdata yang dikorupsikan.Pemiskinan koruptor termasuk korporasinya dapat lebih efektif jika UU Pencucian Uang digunakan secara optimal karena sasaran utama adalah aliran dana hasil korupsi baik kepada direksi, anggota dewan komisaris, dan personel pengendali.
Pemiskinan koruptor dan korporasi dapat diwujudkan jika tuntutan penuntut umum memasukkan ketentuan Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU RI Nomor 20 Tahun 2001.Aturan itu secara khusus mengatur masalah pidana penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana (perorangan atau korporasi).
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Pasal 12 UU KPK bahkan memberikan kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka perorangan dan korpo-rasinya. KPK juga bias menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,lisensi,serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.
Langkah pemiskinan tersebut tidak akan terwujud jika KPK sejak penyelidikan dan penyidikan tidak melakukan langkah hukum di atas dan penuntut umum tidak memasukkan tuntutan pidana tambahan di atas ke dalam tuntutannya. ●