BBM dan Ketahanan Energi
Pri Agung Rakhmanto, DOSEN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINER INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 27 Februari 2012
Menggunakan momentum naiknya harga minyak mentah dunia akibat tindakan Iran yang menghentikan ekspor minyak mereka ke sebagian negara di Eropa, Presiden SBY menyampaikan kepada publik bahwa harga BBM mau tak mau harus naik.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyampaikan bahwa masyarakat miskin yang terkena dampaknya mesti mendapatkan bantuan langsung sementara (Kompas, 23/2/2012).
Dalam konteks polemik terkait opsi kebijakan bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini berkembang—pembatasan atau kenaikan harga—pernyataan Presiden secara langsung tersebut merupakan sinyal yang sangat terang benderang bahwa pilihan kebijakan yang akan dilaksanakan adalah kenaikan harga BBM, bukan pembatasan BBM seperti selama ini lebih kencang digaungkan oleh beberapa pejabat pemerintah.
Ini sejalan dengan sinyalemen sebelumnya ketika Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran BBM. Di dalamnya disebutkan, harga BBM dapat mengalami penyesuaian, naik atau turun. Hal ini sekaligus mempertegas pernyataan Menteri ESDM sebelumnya soal perlunya menekan subsidi BBM.
Tidak Populis
Bagi pemerintah, kenaikan harga BBM sangat tak populis dan dapat memunculkan kesan pemerintah menambah beban hidup rakyat karena menurunkan daya beli. Dari perspektif ekonomi, itu direpresentasikan melalui dampak kenaikan inflasi yang ditimbulkan. Dari kajian ReforMiner Institute (2012), kenaikan harga premium dan solar Rp 1.000 dan Rp 1.500 per liter akan menyebabkan tambahan inflasi 1,07 persen dan 1,58 persen.
Dari perspektif politik, kenaikan harga BBM adalah amunisi ampuh bagi lawan politik pemerintah untuk menurunkan citra pemerintah di mata rakyat. Kenaikan harga BBM juga sering dikaitkan dengan masalah ketidakadilan karena opsi kenaikan harga BBM justru dipilih di saat praktik korupsi dan inefisiensi di birokrasi sendiri masih merajalela.
Lebih Produktif
Sikap pemerintah yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan menaikkan harga BBM selama ini bisa dipahami dalam konteks politik yang lebih mengedepankan pencitraan. Dan menjadi sangat bisa dimengerti ketika dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, langkah kenaikan harga BBM dibungkus dengan istilah ”menurunkan subsidi BBM”.
Setidaknya ada dua argumen yang mendasari mendesaknya harga BBM dinaikkan. Pertama, kenaikan harga BBM adalah salah satu instrumen efektif untuk mengalokasikan anggaran untuk hal-hal yang (jauh) lebih produktif. Kajian ReforMiner Institute (2012) menunjukkan, pada harga minyak di kisaran 105 dollar AS per barrel, kenaikan harga premium dan solar sebesar Rp 1.000 dan Rp 1.500 per liter dapat menghemat subsidi BBM hingga Rp 38,3 triliun dan Rp 57 triliun per tahun.
Anggaran sebesar itu akan jauh lebih produktif dan bermanfaat jika dialokasikan untuk menunjang pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur energi maupun non-energi; penyediaan sarana transportasi publik; atau subsidi pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Artinya, kenaikan harga BBM tidak semata diperlukan untuk mengurangi beban APBN, tetapi juga membuat APBN bisa lebih berfungsi sebagai stimulus perekonomian nasional dan instrumen penyejahteraan.
Kedua, sepanjang harga BBM belum mencapai harga keekonomiannya, kenaikan harga BBM sejatinya memang diperlukan. Subsidi yang tepat adalah subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak, bukan subsidi terhadap harga komoditas. Kenaikan harga BBM (subsidi) tidak hanya akan memperkecil disparitas harga dengan BBM nonsubsidi—sehingga penyalahgunaan dan pasar gelap BBM berkurang—tetapi juga bisa mendorong berkembangnya energi alternatif non-BBM, seperti bahan bakar gas (BBG) dan bahan bakar nabati (BBN).
Selama harga BBM subsidi masih dipertahankan pada tingkat seperti sekarang ini, selama itu pula energi alternatif akan sulit berkembang secara progresif. Harga BBM yang terus-menerus disubsidi dan dipertahankan pada tingkat rendah akan mendorong konsumsi BBM yang berlebihan dan tidak terkendali. Dan itu berarti akan semakin memperparah ketergantungan kita terhadap minyak yang ketersediaannya semakin terbatas.
Status terkini, cadangan terbukti minyak kita hanya tinggal sekitar 3,7 miliar barrel. Dengan tingkat produksi yang ada, cadangan terbukti itu akan habis dalam waktu 11-12 tahun ke depan. Jadi, penyesuaian harga BBM adalah salah satu instrumen penting untuk memperkuat ketahanan energi nasional kita.
Pilihan untuk menaikkan harga BBM secara de facto telah diambil pemerintah. Pro dan kontra pasti akan tetap muncul. Pemerintah perlu memfokuskan diri pada dua hal. Pertama, meminimalkan dan mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Kedua, mewujudkan secara nyata manfaat yang diperoleh dari kenaikan harga BBM dan ”mengembalikannya” kepada rakyat. ●