Ijtihad Liar MK

Ijtihad Liar MK
(TANGGAPAN UNTUK NURUL IRFAN)
http://budisansblog.blogspot.com/2012/02/ijtihad-spektakuler-mk.html
Muh Nursalim, KEPALA KUA KECAMATAN GEMOLONG, SRAGEN;
KANDIDAT DOKTOR UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 25 Februari 2012



Tahun lalu, di kantor kami, 10 persen calon pengantin telah hamil. Mereka nikah karena terpaksa, married by accident. Dengan putusan MK tentang Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tampaknya jumlah yang menikah karena `kecelakaan' akan mengalami penurunan.

Saksi ahli dalam judicial review UU No 1 Tahun 1974, Nurul Irfan, dalam harian ini menulis, “Jika tambahan rumusan pasal itu dipahami hanya dari sudut kalimat semata-mata maka akan sangat wajar jika akhirnya menuai kontroversi. Oleh sebab itu, pemahaman runtut dan komprehensif sangat dibutuhkan agar tidak salah paham. Meminjam istilah ulumul qur'an dan ulumul hadits, rumusan pasal ini harus dikaitkan dengan asbabun nuzul atau asbabul wurud yang melatarbelakanginya“.

Bagi para pengkaji hukum, memahami sebuah teks hukum dengan melihat latar belakangnya memang akan dapat memahaminya secara komprehensif.
Misalnya, untuk memahami UUD 1945 sebelum amandemen terdapat penjelasan sebagai berikut:

Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionsel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal undang-undang dasarnya (Loi constitutionelle), tetapi juga harus menyelidiki bagaimana praktiknya dan bagaimana suasana kebatinannya. Inilah yang oleh Mahfud MD dalam disertasinya yang dinamakan politik hukum.

Pasal-pasal hukum tidak turun dari ruang hampa, tetapi melalui tarik ulur berbagai kepentingan. Ketika sudah menjadi rumusan dan disahkan maka penerapannya di masyarakat tidak ada satu pun pasal yang mengharuskan pemakainya melihat latar belakang ayat tersebut ketika dirumuskan. Karena itu, anjuran Nurul Irfan agar kita memahami asbabun nuzul putusan MK ini sama sekali tidak relevan. Latar belakangnya memang untuk mengesahkan anak hasil pernikahan siri, tetapi putusannya melebar mengesahkan anak hasil kumpul kebo, kawin kontrak, anak jadah, dan lain-lain. Putusan ini semacam ultra petita, putusan yang melebihi tuntutan.

Bertentangan dengan Syariah

Selama ini, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibanggakan sebagai fikih munakahatmazhab nasional. Hal ini terkait adanya beberapa kekhasan pada pasal-pasalnya yang berbeda dengan fikih munakahat di negeri Muslim lain, misalnya, soal poligami. Ini berbeda dengan Arab Saudi, Tunisia, dan lainnya yang memudahkan poligami.

Salah satu maqasid al syari'ah (tujuan syariah) adalah hifzhun nasl(memelihara nasab atau keturunan). Untuk tujuan ini, lembaga perkawinan menjadi satu-satunya cara yang harus ditempuh. Tanpa perkawinan, keturunan yang dihasilkan menjadi tidak sah. Islam sangat perhatian dalam urusan nasab ini. Dalam kitab-kitab tafsir terdapat asbabun nuzul yang sangat menarik terkait persoalan ini. Rasulullah memiliki anak angkat bernama Zaid. Rasul kemudian memanggil anak ini dengan nama Zaid bin Muhammad walau secara nasab, ia bukan anak kandung. Allah SWT kemudian menurunkan surah al-Ahzab ayat 4 sebagai teguran kepada Rasulullah SAW. Sejak turunnya ayat tersebut, Rasul tidak lagi memanggil Zaid bin Muhammad, tetapi menasabkan dengan bapaknya, Haritsah.

Dalam rangka kepastian nasab ini pula, pada perceraian ada ketentuan idah, yaitu masa tunggu istri setelah cerai. Sebelum menikah dengan orang lain, seorang wanita yang bercerai harus menunggu sampai yakin bahwa rahimnya bersih dari benih mantan suaminya terdahulu. Bila ia hamil, idahnya sampai melahirkan dan bila suci, sampai idahnya tiga kali haid. Sedangkan, untuk janda yang ditinggal mati suaminya, idahnya empat bulan 10 hari.

Mengapa Islam sangat perhatian dalam urusan nasab? Paling tidak, akibat pernasaban itu terkait empat perkara: perkawinan, perwalian, warisan, dan hijab. Tiga yang pertama merupakan hak-hak keperdataan, sedangkan hijab merupakan hukum yang berkaitan dengan akhlak pergaulan. Misalnya, dari 14 wanita yang haram dinikahi, tujuh di antaranya karena hubungan nasab.
 
Dari aspek perwalian nikah terdapat 21 wali nikah yang sah, mulai yang terdekat, yaitu al-abu (bapak) sampai yang terjauh anak laki-laki paman kakek.
Bila 21 wali nasab ini tidak ada, baru boleh pindah ke wali hakim.

Adapun warisan, selain suami/istri hanya orang yang terkait nasablah yang berhak mendapat warisan. Sedangkan, untuk masalah hijab selain suami/istri, hanya orang yang terkait nasab tertentu yang boleh melihat aurat kita. Beberapa ketentuan ini menunjukkan, betapa nasab itu menjadi urusan yang sangat penting untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Maka, tidak salah bila syariah Islam meletakkannya pada al-maslahah al-hajiyat (primer).

Kami melihat, putusan MK atas Pasal 43 Ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengacaukan antara anak secara biologis dan anak secara nasab. Keduanya didudukkan sama dalam hal memperoleh hak keperdataan. Saya yakin, tujuan MK baik, yaitu memberikan hak yang sama terhadap setiap warga negara Indonesia. Sebab, anak yang lahir di luar perkawinan pun bukan keinginannya sendiri, melainkan akibat perbuatan maksiat “orang tuanya“.

Dalam Islam, maksiat orang tua seperti itu masuk dalam ranah jarimah, mereka terancam hukuman dari Allah, yaitu dirajam sudah bersuami/istri dan didera 100 kali bila jejaka/perawan. Adapun anak hasil nikah siri (di luar perkawinan resmi), putusan MK tersebut sudah pas, hanya saja ijtihad MK ini menjadi liar tatkala yang termaktub adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan....“ Sebab, kalimat ini mencakup semua anak tanpa kecuali. Karena itu, perlu tafsir resmi dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan menteri sehingga dapat menjadi pedoman pejabat teknis di tingkat bawah tanpa harus melanggar syariat.  ●

Anak Pasti Berayah


Anak Pasti Berayah
Moh Mahfud M.D., GURU BESAR HUKUM KONSTITUSI  
Sumber : SINDO, 25 Februari 2012



Salmah, sebutlah namanya begitu agar agak tersamar dari eks teman-temannya, adalah teman saya semasa kuliah di Yogyakarta pada awal 1980-an. Saat itu, sebagai mahasiswi yang cantik dia kecantol atau di-cantol oleh seorang mahasiswa ganteng, Salman, yang berasal daerah yang sama dengannya.

Karena cintanya sudah begitu mendalam dan hasratnya tak tertahankan untuk hidup bersama, menikahlah Salmah dan Salman. Tapi karena keduanya masih mahasiswa/i, mereka melakukan nikah siri (nikah diam-diam), tidak diumumkan, tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama,dan hanya orang-orang terbatas yang tahu peristiwa itu. Syahdan, dari pernikahan siri itu lahirlah anak lelaki bernama Chasib.

Pada 1984 Salman lulus sebagai sarjana, sedangkan Salmah tak bisa melanjutkan kuliahnya karena harus mengasuh Chasib. Celakanya, begitu selesai kuliah, Salman langsung pulang ke daerah asalnya dan oleh keluarganya dikawinkan secara resmi dengan gadis lain,Santi, yang konon sudah dipesan oleh orang tua Salman sejak gadis itu masih kecil.

Pada 1994, saya mendapati Salmah sudah sangat menderita, sekolahnya tak selesai, mau pulang tak berani dan malu pada keluarganya, pakaiannya kusut, wajahnya sudah kusam sama sekali tak meninggalkan bekas kecantikan, bahkan tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Salman yang sudah bekerja di kantor pemerintah tak mau lagi dihubungi oleh Salmah, tak peduli juga pada Chasib, anak kandungnya sendiri.

Salmah tak bisa bekerja karena tak punya ijazah sarjana, sedangkan ijazah SMA yang dimilikinya tak mampu menemukan formasi. Sekarang ini dia sering bekerja sebagai pencuci pakaian dari rumah ke rumah, terutama rumah beberapa eks teman kuliahnya, dan kadang kala menjadi tukang pijit amatiran untuk sekadar mendapat upah. Yang lebih memilukan adalah Chasib, anak hasil kawin siri yang kemudian diingkari itu.

Anak tersebut sulit mendapat sekolah karena selain tak punya biaya, dia hanya hidup dengan ibunya yang tidak punya pekerjaan tetap. Setiap mau bersekolah dia selalu ditanyai “akta kelahiran”. Dia tidak mempunyai akta kelahiran karena ayahnya tak mau melakukan itsbat (pengakuan) sebagaimana dipersyaratkan bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang resmi jika ingin memiliki akta kelahiran dan mempunyai hubungan dan hak-hak keperdataan dengan ayahnya.

Akta kenal lahir yang kemudian dimilikinya hanya menyebutkan dia adalah anak dari seorang ibu bernama Salmah, tidak ada nama ayahnya. Kasihan Salmah, kasihan Chasib. Keduanya telah menjadi korban dari seorang lelaki egois yang lari dari tanggung jawab secara kejam dengan berlindung di bawah ketentuan administrasi sahnya perkawinan.

Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, anak yang lahir di luar pernikahan yang resmi (dicatatkan) hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Chasib, oleh UU, dinyatakan tak mempunyai hubungan perdata dengan Salman,ayah biologisnya. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 43 (1) UU No 1/1974 yang diajukan Machicha Mochtar.

Machicha dan anaknya M Ikbal mengaku tertimpa nasib yang sama dengan Salmah dan Chasib. Diyakini bahwa banyak di Indonesia kaum hawa dan anak-anak yang bernasib seperti itu tertimpa kemalangan karena ketidakadilan dalam pengaturan hukum. Mungkin pembentuk UU No 1/1974 bermaksud baik, yakni mencegah lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud mencegah perempuan agar tidak mau dinikahi secara siri.

Tapi dalam faktanya masih sangat banyak orang yang melakukan kawin siri dengan mengorbankan banyak wanita dan anak-anak dengan alasan kawin siri itu sah menurut agama. Padahal yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan darinya. Menurut MK, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena tidak adil dan melanggar moralitas hukum.

Anak yang lahir dari nikah siri tidak boleh diperlakukan tidak adil dan ditelantarkan dengan seenaknya, sebab dia sendiri tak pernah minta dilahirkan oleh siapa pun dan dengan prosedur apa pun. Dia dilahirkan sebagai akibat alamiah dari hubungan badan antara ayah dan ibunya.Kalau dalam agama Islam, Nabi Muhammad mengatakan,“Setiap bayi itu lahir dalam keadaan suci,” sehingga tak boleh dilanggar hak-hak dan martabatnya, tak ada anak haram atau anak kotor.

Dengan vonis MK itu,setiap anak yang dilahirkan dari seorang ibu dinyatakan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdasar alat bukti lain yang sah menurut hukum. Ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina.

Pokoknya, siapa pun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya. Maka menjadi tidak benar kalau dikatakan bahwa vonis MK itu melegalkan perzinaan. Justru vonis tersebut dimaksudkan untuk mencegah perzinaan, terutama mencegah kaum lelaki agar tak sembarang main tembak.

Dampak Putusan MK


Dampak Putusan MK
Irsyad Dhahri S Suhaeb, DOSEN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
Sumber : REPUBLIKA, 25 Februari 2012



Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pekan lalu menyangkut Pasal 43 (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang memberikan pengakuan hubungan antara anak di luar nikah dan ayah biologisnya sempat menimbulkan polemik. Sebab, putusan itu mengindikasikan anak yang lahir di luar nikah bukan lagi anak haram sesuai aturan hukum Islam positif di Indonesia.

Orientasi Masa Depan

Harus diakui bahwa putusan MK di atas adalah terobosan baru. Selain itu, putusan ini cenderung akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana pada masa mendatang, sebab putusan ini akan memengaruhi ketentuan-ketentuan hukum lain yang terdapat pada sistem hukum nasional, seperti UU perkawinan, warisan, perwalian, atau hubungan perdata lainnya dalam hukum keluarga.

Harus disadari bahwa putusan ini telah membuka peluang timbulnya per masalahan sosial lain dalam ketentuan undang-undang nasional, khususnya UU Perkawinan. Sebab, dengan putusan ini, minat masyarakat untuk melangsungkan seremoni formal pernikahan sesuai UU perkawinan akan berkurang, sebab tanpa pernikahan resmi pun, status anak yang akan lahir dari suatu hubungan laki-wanita akan diakui oleh negara.

Dengan kata lain, kebiasaan yang selama ini berlaku dalam masyarakat bahwa salah satu tujuan untuk melakukan ikatan pernikahan karena adanya keinginan agar anak yang akan lahir dari hubungan seorang lelaki dan seorang wanita, baik melaui pernikahan ataupun tidak, tidak akan mendapatkan kesulitan untuk diakui hak keperdataannya dengan ayah ibunya secara hukum, tidak perlu lagi dilakukan.

Dalam aspek hukum agama, putusan MK terhadap UU No 1/1974 ini akan berdampak luas dalam rangka kelanjutan pelaksanaan syiar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu dasar pembentukan UU Perkawinan selain sebagai lembaga sosial adalah agar berfungsi sebagai lembaga agama.

Ini berarti melalui UU perkawinan, ajaran Islam yang mayoritas dipeluk oleh penduduk Indonesia dapat diterapkan secara lengkap. Salah satu contoh ajaran Islam yang melarang seorang wanita untuk mempunyai lebih dari seorang suami, bertujuan untuk menghindari kebingungan dan kesalahan dalam mengidentifikasi siapa ayah dari anak yang akan lahir dari rahim ibunya, diaplikasikan dalam Pasal 3 UU Perkawinan. Sebagai konsekuensinya, anak yang lahir di luar pernikahan dianggap tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya sebab hubungan ayah ibunya dianggap tidak pernah ada.

Dengan putusan MK tersebut, anak yang lahir di luar penikahan, secara hukum nasional tidak akan dianggap haram lagi oleh agama Islam, agama yang masih diharapkan untuk diterap kan nilai-nilainya oleh masyarakat pada institusi perkawinan.

Selanjutnya, putusan MK yang membatalkan Pasal 43 UU ini akan berdampak pula pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa seorang wanita hanya boleh menikah dengan seorang pria, sebab berapa pun pria yang berhubungan dengan seorang wanita, tidak akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa nantinya ayah biologisnya melalui pembuktian ilmu pengetahuan. Gambaran konflik ini, yakni dengan adanya putusan MK itu tidak mustahil akan menimbulkan kegaduhan hukum dan politik, bila diarahkan pada diskursus pemilihan antara ketaatan masyarakat pada hukum nasional atau hukum agama.

Keadilan Restoratif

Terlepas dari penilaian aspek hukum nasional dan agama di atas, putusan MK ini secara kemanusiaan dan hak asasi manusia menjadi acuan yang signifikan bagi terciptanya konsep sistem yang bertujuan keadilan restoratif. Keadilan ini berupaya mengembalikan situasi dan kondisi korban yang telah dirusak oleh adanya serangan atau aturan hukum yang dianggap dan telah merugikan seseorang serta mengganggu perlindungan hak asasi manusianya.

Menurut J Braithwaite (2009) “human rights must be protected by restorative justice processes”, perlindungan hak asasi sebaiknya dilakukan dengan berorientasi pada keadilan retoratif ini. Dengan adanya pengakuan hak anak yag berhubungan dengan ayah biologisnya maka salah satu hak asasi manusia anak telah dipulihkan sesuai konsep keadilan restoratif. Ini berarti pula bahwa seorang anak yang lahir sebagai akibat interaksi seorang wanita dan seorang lelaki, untuk mendapatkan pengakuan secara lengkap dari ibu dan ayahnya meski interaksi mereka tersebut tidak melalui pernikahan.

Sebagai penutup, tentu masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab dari implikasi putusan MK ini, termasuk apakah dengan memberikan pengakuan hak anak-ayah biologis pada seorang anak yang lahir di luar nikah masih bernilai manusiawi bila mana justru pengetahuan ini akan berkibat buruk pada masa depan anak itu sendiri. Ini terlihat ketika ia mengetahui bahwa ayah biologis yang sebenarnya dimilikinya adalah seorang narapidana, atau mereka yang terbukti mempunyai perilaku negatif. ●

Dramatika Perupa, Inspirasi Sinema


Dramatika Perupa, Inspirasi Sinema
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI,
PENULIS BUKU RIWAYAT YANG TERLEWAT – 111 CERITA AJAIB DUNIA SENI
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Februari 2012



Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang mengeluh ihwal film Indonesia yang semakin klise, lantaran berpuluh kali mengangkat horor pocong. Tentu ada film-film serius non-pocong yang lahir di tengah kelindan para hantu itu. Namun jumlahnya yang sedikit menyebabkan industri ini tertumbur pada anggapan: dunia film Indonesia tidak memiliki perbendaharaan tema.

Tulisan ini ingin menyentuhkan kenyataan bahwa, dari dunia seni rupa Indonesia, banyak inspirasi cerita bisa digali, untuk kemudian dielaborasi menjadi kisah besar sebuah karya sinema. Pengunjukan ini diilhami oleh Hollywood, yang pernah mengangkat pelukis Jan Vermeer dalam film The Girl with a Pearl Earing, Pablo Picasso dalam Surviving Picasso, Frida Kahlo dalam Frida, Jackson Pollock dalam Pollock. Tentu juga Vincent van Gogh, pelukis Belanda yang sudah digubah dalam 70 film.

Saleh, Henk, Basoeki

Kisah hidup perupa terkenal pada umumnya memiliki banyak nuansa human interest, dengan di dalamnya melibatkan kompleksitas persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di tengah kesenyapan desa dan kompleksitas kota atau negara. Sebab, seorang seniman utama adalah ex speciali gratia, “orang langka”, yang selalu tertempatkan pada posisi “ada di mana-mana”. Mereka seperti siluman yang tak henti melahirkan cerita.

Berikut ini adalah petikan permukaan kisah-kisah besar dengan latar peristiwa (sangat) sinematografis, sehingga layak diangkat ke layar lebar.

Raden Saleh (1807-1880) adalah pelukis bumiputra pertama yang belajar seni di Belanda. Di Eropa, ia senantiasa mengenakan busana kebesaran Jawa, sehingga disambut sebagai “Pangeran dari Timur”. Ketika kembali ke Indonesia, ia hidup di Bogor dan menikahi Constancia Winkelhagen, janda pemilik pabrik gula. Di kurun berikutnya, ia ingin menikah lagi dengan wanita Jawa, Raden Ajeng Danurejo. Hasrat menggebu ini menimbulkan keributan besar dalam keluarga, sehingga Winkelhagen meminta cerai.

Raden Saleh meninggal diduga lantaran diracun dengan zat arsenik. Si pembunuh konon adalah pembantu yang dendam lantaran dituduh mencuri lukisannya. Ia meninggal pada Jumat, 23 April 1880, dengan mewariskan kebesaran serta kekayaan yang menggetarkan bumiputra abad ke-19. Rumah Raden Saleh, yang seperti istana, kini jadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta. Kebon binatangnya yang luas jadi Taman Ismail Marzuki. Makamnya di kawasan Bondongan, Bogor, dikeramatkan dan acap dikunjungi para pemburu wangsit!

Kehidupan Basoeki Abdullah (1915-1993) tak kalah menarik dan filmis. Pelukis paling populer di Indonesia ini menjalani hidup dengan petunjuk Tuhan lewat Nyi Loro Kidul. Namun di sebalik yang mistik itu ia hidup sangat modern dan glamor. Ia dikelilingi wanita cantik. Ia keliling dunia dan jadi pelukis istana Belanda, Muangthai, Filipina, Kamboja, dan Brunei. Kawin empat kali dengan wanita asing. Namun ia wafat dengan “sederhana” di Jakarta: dibunuh maling yang akan mencuri arlojinya.

Kisah hidup Henk Ngantung (1921-1991) menyimpan gelora untuk menghidupkan layar sinema. Henk adalah seniman yang punya karier monumental. Pada umur 13 tahun, ia telah menyelenggarakan pameran tunggal di Manado. Ia pernah bekerja sebagai wartawan tulis dan lukis. Kisah perundingan Linggarjati pun ia liput dengan laporan visual berbentuk sketsa coretannya. Kemampuannya yang berganda membawa ia menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta pada 1964.

Henk disayangi Sukarno, dan ia Sukarnois. Karena itu, ketika G30S (Gerakan 30 September) 1965 meletus dan para Sukarnois ditangkap, Henk ikut dibekuk. Indonesia merehabilitasi namanya menjelang 1980-an. Momentum ini membakar semangatnya untuk melukis lagi. Tapi matanya mendadak buram, dan bahkan cenderung buta. Namun, dalam keburaman, ia terus berkarya dan berpameran tunggal di Ancol pada akhir November 1991. Anehnya, pemerintah kembali mempersulitnya dan mengerahkan banyak intel dalam pergelarannya. Bahkan pameran ditutup sebelum waktunya. Henk, yang buta, bisa melihat kenyataan pedih itu. Hatinya merana, sampai kemudian ia meninggal sepekan setelah pamerannya dibongkar.

Riwayat pelukis S. Sudjojono (1913-1986), sang “bapak seni lukis Indonesia modern”, punya peluang menjadi dongeng besar di layar lebar. Sudjojono adalah anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, institusi budaya milik PKI) yang berpengaruh. Namun ia dipecat dari Lekra karena memadu Mia Bustam, dan mengawini Rose Pandanwangi, penyanyi seriosa keturunan Belanda. Ketika penangkapan kader Lekra-PKI dilakukan pasca-G30S, Sudjojono lolos. Sedangkan Mia Bustam justru masuk penjara tahanan politik selama berbilang tahun. Tragedi Mia, komedi Rose, dan sikap Sudjojono di tengah kegaduhan gendang politik adalah cerita gila.

Lempad dan Spies

Bali adalah lokasi yang luar biasa seksi untuk dunia sinematografi. Kisah hidup I Gusti Nyoman Lempad bisa dipakai untuk jalan menuju ke sana. Lempad lahir pada 1847 dan meninggal pada 1978. Usia 131 tahun menjadikan dia sebagai saksi mata jagat Bali tiada duanya. Ia mengembuskan napas terakhir setelah mendengar kabar bahwa sahabatnya, Rudolf Bonnet, baru saja tutup usia di Belanda. “Saya dan Tuan Bonnet sudah janji untuk jalan bareng ke nirwana,” kata Lempad kala masih sehat.

Yang ajaib, ketika Lempad dinyatakan meninggal, masyarakat Ubud tenang-tenang saja. Masalahnya, pada saat itu di Pura Besakih sedang berlangsung upacara Panca Wali Krama. Dalam upacara sebulan penuh itu ada ketentuan: tidak boleh ada orang mati. Dengan begitu, tak ada orang yang melayat Lempad. Tak ada kentongan berbunyi. Masyarakat bekerja seperti biasanya.

Ketika jenazahnya diaben, puluhan stasiun televisi internasional meliput, belasan ribu orang Bali mengantar, tokoh seni dari seluruh dunia datang. Di antaranya adalah Paloma Picasso, putri pelukis terbesar dunia abad ke-20 Pablo Picasso. Pada saat itu Paloma mengatakan, “Upacara kematian Lempad lebih besar dari upacara kematian ayah saya....”

Yang paling menggetarkan bagi dunia sinema mungkin historiografi dramatik Walter Spies (1895-1942). Ia adalah pelukis Jerman yang hidup di Bali. Pertama ke Indonesia, ia menginjak Batavia, kemudian ke Bandung dengan bekerja di bioskop sebagai pengisi musik film bisu. Kemudian ke Yogyakarta untuk mengajar musik Barat atas undangan petinggi keraton. Spies pernah dipenjara oleh Belanda lantaran homoseks. Ketika Jerman menistakan Belanda di kancah Perang Dunia II, pemerintah Belanda di Indonesia ngamukdan memenjarakan Spies. Beberapa bulan sekeluar dari penjara, Spies diungsikan dengan kapal laut Van Imhoff. Oleh Jepang, kapal ini dibom di sekitar laut Makassar. Spies tewas.

Ooo, film mungkin akan menayangkan realitas ini pada menit-menit terakhir: gemuruhnya lelang lukisan kecil Walter Spies yang harganya terus mendaki mencapai bilangan rupiah Rp 15 miliar! ●

Mengawal Demokrasi, Menggantang Korupsi

Mengawal Demokrasi, Menggantang Korupsi
Nur Kholis Anwar, DIREKTUR CENTER FOR STUDY OF ISLAMIC AND POLITIC
UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 25 Februari 2012




Perilaku buruk anggota DPR seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang tidak terkendali bisa mengakibatkan institusi tersebut kehilangan legitimasi sebagai wakil rakyat yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.

Terlebih baru-baru ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ada 2.000 transaksi mencurigakan di kalangan DPR, terutama pada bagian Badan Anggaran.

Meskipun belum terbukti benar atau tidak laporan PPATK tersebut, isu ini menjadi penting ketika sudah dipublikasikan dan diketahui masyarakat umum. DPR sebagai wakil rakyat tentunya mampu mengawal dan mengontrol jalannya pemerintah.

Realitasnya yang terjadi, DPR justru enggan dengan tugas-tugasnya tersebut. Hal yang terjadi malah konspirasi antara kroni-kroninya di lembaga legislatif untuk menggerogoti uang negara.  

Hannah Arend menyebut negara sebagai tempat ekspresi (action) dan komunikasi (communication) ruang publik yang menyimpan rapat-rapat kepentingan individu. Ruang publik, lanjut Arend, hanya bisa terjadi ketika orang-orang mempunyai tujuan dan misi yang sama.

Namun, sebuah ruang tidak lagi dikatakan sebagai ruang publik ketika di antara orang-orang tersebut saling memikirkan kepentingan individu masing-masing. Dengan kata lain, kepentingan individu (ruang privat) mampu meruntuhkan kepentingan publik.

Bagi Arend, jika kepentingan individu itu terus diekspresikan dalam ruang publik, praktik ketidakwarasan atau hal-hal yang merugikan kepentingan umum akan terjadi. Ini karena dominasi kepentingan individu hasilnya tidak lain adalah praktik otoritarianisme. Di Indonesia, praktik semacam ini sangat kentara pada masa kepemimpinan Soeharto hingga sekarang ini.

Para anggota DPR yang merupakan representasi dari misi rakyat, ditutup rapat dengan kepentingan individu masing-masing anggota.  Dalam hal ini, lembaga legislatif merupakan ruang publik yang diciptakan oleh rakyat dan atas kepentingan rakyat.

Sebagai ruang publik, seharusnya legislatif mempunyai fungsi yang sama atas kehendak rakyat, yaitu mengontrol, mengawasi dan mengawal jalannya pemerintahan. Namun, karena dominasi interest kelompok atau individu, lembaga legislatif hanya sebatas formalitas, sedangkan peran nyata untuk menyuarakan hak-hak rakyat tidak tampak sama sekali.

Justru yang tampak malah kepentingan individu yang diwujudkan dalam praktik korupsi secara berjemaah. Dengan kata lain, secara tidak langsung lembaga legislatif tidak bisa lagi dikatakan sebagai lembaga yang mewakili hak-hak rakyat. 

Demokrasi dan Korupsi Demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat agaknya perlu ditinjau kembali. Ini karena demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini tidak sepenuhnya mengekspresikan kehendak publik. 

Demokrasi justru menjadi batu loncatan para politikus untuk mengeruk uang negara.
Demokrasi membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.  Peran politikus yang kian dominan tampaknya menjadi problem krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Terlebih banyak politikus yang kongkalikong dengan perusahaan sehingga memunculkan konspirasi pembunuhan Indonesia melalui mafia-mafia korupsi. Munculnya pemilihan umum dan multipartai sebagai penanda adanya demokrasi, ternyata tidak seindah yang kita bayangkan.

Justru yang terjadi malah sebaliknya, partai menjadi kendaraan kaum pemodal untuk melancarkan tender proyek-proyek gelap. Demokrasi yang pada kelahirannya di Indonesia menginginkan adanya demokratisasi, semuanya nonsense.

 Laode Ida (2008) mengatakan, umumnya parpol dan politikus kita boleh dikatakan nir-ideologi, lebih berorientasi pragmatis ke arah dua subjek yang saling terkait: jabatan atau kekuasaan dan materi.

Saat menjabat sungguh-sungguh dinikmati dengan memanfaatkan segala peluang dan sumber yang tersedia untuk mengakumulasi harta, termasuk mengembalikan berbagai biaya yang telah dihabiskan dalam proses-proses konsentrasi untuk memperoleh jabatan.  
Kecenderungan dan sikap itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari rakyat, dikuras habis tanpa ada batas. Wakil rakyat yang merupakan representasi dari rakyat, ramai-ramai ikut merampok uang negara hingga triliunan rupiah.

Inilah yang kemudian penulis sebut bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk “kapitalis”. Terbukti, dalam hal ini rakyat tidak lebih sebagai tumbal para kapitalis tersebut.  

Jika kita lihat dengan menggunakan kacamata sosiologis, kecenderungan seperti itu sebenarnya membenarkan teori Karl Marx bahwa sesungguhnya negara hanyalah instrumen dari kalangan pemilik modal. Dengan demikian, sulit diharapkan untuk benar-benar peduli pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Terlebih praktik korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga sehingga sulit dibersihkan. Sebaik apa pun KPK bekerja untuk memberantas koruptor di negeri ini, tapi generasi koruptor baru akan terus bermunculan. Inilah saat-saatnya Indonesia mengalami darurat korupsi.

Hampir semua elite birokrasi terjangkit virus korupsi yang secara tidak langsung telah membunuh rakyat dengan perlahan. Namun, para elite itu tidak sadar bahwa ada jutaan rakyat yang mati karena ulah mereka.

Logika kotornya, rakyat tidak lebih sebagai tumbal untuk mengeruk kekuasaan negara. Tidak heran kalau rakyat diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Logika semacam ini yang kemudian akan membunuh tidak saja rakyat, tetapi juga negara.

Jika sudah demikian, rakyat Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan wakil-wakilnya di DPR yang juga tersandera kasus korupsi. ●

Menunggu Menteri Koperasi Non-Partai


Menunggu Menteri Koperasi Non-Partai
Djabaruddin Djohan, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PERKOPERASIAN
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Februari 2012



Sebetulnya peran dominan pemerintah dalam pengembangan koperasi, terutama pada awal pertumbuhannya, sudah menjadi hal yang jamak di negara-negara sedang berkembang. Inilah yang disebut dalam terminologi perkoperasian sebagai the classical British-Indian pattern. Dalam pola pembinaan koperasi yang diterapkan pada koperasi-koperasi di negara bekas jajahan Inggris ini, pemerintah secara sadar mengambil prakarsa, khususnya dalam persiapan pendirian koperasi, yang meliputi: pendidikan/pelatihan, informasi, konsultasi, hingga ke awal pendirian koperasi. Begitu koperasi sudah berfungsi secara mandiri, pemerintah segera menarik diri.

Pola pengembangan koperasi model Inggris-India seperti di atas telah berhasil menghantarkan beberapa koperasi di negara bekas jajahan Inggris ke tingkat koperasi kelas dunia. India, misalnya, memiliki tiga jenis koperasi, yaitu Koperasi Susu, Koperasi Pupuk, dan Koperasi Pemasaran Produk Pertanian, yang masuk dalam daftar ICA 300 Global List (2007). Sedangkan Singapura, yang hanya berpenduduk 4,5 juta orang, “menyumbangkan” dua jenis koperasi kelas dunia, yaitu Koperasi Retail/Konsumen dan Koperasi Asuransi. Meskipun tidak termasuk dalam daftar koperasi kelas dunia, Malaysia mempunyai lima koperasi yang termasuk dalam 300 daftar koperasi berprestasi di negara-negara sedang berkembang (ICA Developing 300 Project, 2007).

Bagaimana dengan koperasi-koperasi di Indonesia, yang tidak satu pun masuk daftar Developing 300 Project, apalagi dalam daftar 300 Global List? Pengembangan koperasi di Indonesia pada hakikatnya juga mengikuti pola Inggris-India, yang menempatkan prakarsa pemerintah pada awal perkembangannya. Tetapi, berbeda dengan perkembangan koperasi di negara bekas jajahan Inggris, kebanyakan koperasi di Indonesia cenderung merasa lebih nyaman untuk terus berada di bawah perlindungan pemerintah. Sementara itu, di lain pihak, pemerintah terkesan kuat juga ingin tetap mempertahankan status quo, yang menjadikan gerakan koperasi terus bergantung padanya. Dewasa ini, obsesi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (UKM) adalah memiliki koperasi-koperasi yang besar yang dapat masuk ke kelompok Global 300 List, yakni daftar 300 koperasi-koperasi konglomerat versi ICA (International Co-operative Alliance) yang beraset dari US$ 467 juta dan turnover US$ 654 juta (Associated Press, Amerika Serikat) hingga yang beraset US$ 18.357 juta dan turnover US$ 63.449 juta (Zen Noh, Jepang).

Tentu keinginan Pak Menteri ini harus kita apresiasi. Tetapi kita harus juga realistis tentang kondisi perkoperasian yang kebanyakan masih amburadul, di samping banyak yang menyimpang dari jatidiri koperasi. Meskipun demikian, juga harus diingat bahwa keinginan untuk menjadikan koperasi-koperasi kita bisa masuk Global 300 List versi ICA seharusnya datang dari Dekopin sebagai anggota ICA, bukan dari pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM).

Dalam rangka pembinaan koperasi ini, peran pemerintah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, yang untuk penetapan menterinya merupakan hak prerogatif Presiden, yang dasar pertimbangannya lebih banyak bernuansa politis. Pada dua periode pemerintahan sebelumnya, kursi Kementerian Koperasi dan UKM diduduki oleh tiga orang politikus (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan pada periode 2009-2014, menterinya adalah politikus dari Partai Demokrat.

Tidak berlebihan jika kondisi seperti ini memberi kesan kuat bahwa koperasi adalah komoditas politik. Sebagai pejabat politik, tentu tidak perlu memahami seluk-beluk perkoperasian yang bersifat teknis administratif, namun sangat diperlukan pemahamannya mengenai filosofi, ideologi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, yang menunjukkan koperasi bukanlah semata sebagai perusahaan yang tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan materi/finansial. Sama pentingnya dengan fungsi ekonominya, koperasi juga mempunyai fungsi sosial yang melekat pada organisasi koperasi, seperti keadilan, tolong-menolong (gotong-royong, kepedulian pada masyarakat dan lingkungannya).

Hal inilah yang terkesan kurang dipahami oleh menteri-menteri dari partai politik ini, sehingga pembinaan yang ditempuhnya banyak melenceng dari koridor koperasi. Sebut saja, misalnya, pembinaan koperasi yang dicampur-aduk dengan UKM (yang dalam kenyataannya lebih berat ke UKM-nya), pengembangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang berpraktek bak bank gelap, tanpa ada peringatan dari otoritas koperasi. Bisa dimengerti jika perkembangan koperasi seperti jalan di tempat, tanpa arah yang jelas, meskipun, berdasarkan data resmi, perkembangan koperasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan secara kualitatif bisa dikatakan semakin mundur.

Dengan latar belakang kondisi pengembangan koperasi seperti diuraikan di atas, tidak berlebihan jika di kalangan Gerakan Koperasi muncul harapan agar kursi Menteri Koperasi dipercayakan kepada seorang profesional yang nonpartisan. Di bawah menteri yang profesional dan nonpartisan ini, diharapkan pembinaan/pengembangan koperasi dapat terfokus pada pembangunan koperasi yang sehat, yang sekaligus juga tetap berada dalam koridornya.

Idealnya, profesionalisme Kementerian Koperasi dan UKM juga harus diimbangi dengan profesionalisme Dekopin, organisasi tunggal Gerakan Koperasi, yang salah satu fungsi utamanya adalah sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan koperasi. Tetapi bagaimana mungkin bisa profesional jika kegiatannya saja sepenuhnya masih bergantung pada APBN, yang pelaksanaannya tentu harus mengikuti mekanisme proyek pemerintah, yang tidak selalu seirama dan sejalan dengan kepentingan/kebutuhan Gerakan Koperasi. 

Sebagai mitra pemerintah yang profesional, yang keberadaannya didukung oleh para anggotanya dari Gerakan Koperasi (termasuk dukungan dananya), Dekopin dengan bebas akan dapat meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam setiap kebijakan pemerintah dalam pembangunan koperasi, tanpa khawatir akan dicabut alokasi dana APBN-nya.

Hanya, apabila kedua instansi/lembaga (Dekopin serta Kementerian Koperasi dan UKM) bisa bersinergi, berkoordinasi, dan bekerja sama berbasis profesionalisme dalam satu platform yang sama, dengan pembagian tugas yang jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah (cq Kementerian Koperasi dan UKM, maupun instansi pemerintah terkait dengan pembangunan koperasi lainnya) dan apa yang seharusnya dilakukan oleh Gerakan Koperasi/Dekopin, yang berarti tidak jalan sendiri-sendiri seperti saat ini, barulah ada harapan koperasi bisa berkembang dengan baik dan normal.

Dan siapa tahu, suatu ketika nanti mimpi Menteri Koperasi dan UKM untuk dapat memiliki koperasi besar yang masuk dalam daftar Global 300 ICA dapat terwujud. Tetapi juga harus diingat bahwa konglomerat-konglomerat koperasi yang masuk Global 300 List ICA tersebut juga dimulai dari koperasi-koperasi kecil, yang dikembangkan dengan tekun, konsisten dan berkesinambungan dalam jangka waktu puluhan tahun, bahkan beberapa di antaranya lebih dari satu abad. Bukan dengan simsalabim dalam satu malam. ●