Nakalnya Birokrasi


Nakalnya Birokrasi
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW
Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012



Gelontoran dana negara Rp 13,4 triliun pada 2010 untuk mendongkrak pendapatan pegawai negeri lewat program remunerasi ternyata belum cukup efektif untuk membenahi mentalitas koruptif birokrasi.

Berdasarkan data analisis tren penegakan hukum korupsi Indonesia Corruption Watch(ICW) 2011, pegawai negeri justru merupakan aktor yang paling banyak korupsi dibandingkan lainnya. Dari 1.053 tersangka korupsi yang datanya berhasil dikumpulkan selama 2011, sebanyak 239 berstatus pegawai negeri (ICW, Tren Korupsi 2011).

Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I-2011 lebih kurang seragam. Menurut BPK, meskipun terdapat perbaikan signifikan dalam kualitas penyajian laporan keuangan pemerintah di pusat dan di daerah, dugaan penyimpangan di birokrasi tetap tidak bisa dianggap remeh. BPK menemukan minimal ada 2.281 kasus ketidakpatuhan dengan berbagai variasi modus penyimpangan yang dapat menimbulkan kerugian negara Rp 5,5 triliun.

Modus penyimpangan yang diidentifikasi BPK merupakan ciri khas korupsi birokrasi, yakni berhubungan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa di lembaga pemerintah, seperti praktik penggelembungan harga, proyek pengadaan barang/jasa fiktif, pembiaran terhadap wanprestasi kontrak kerja rekanan, baik karena rekanan tidak menyelesaikan proyek atau kekurangan volume pekerjaan maupun kelebihan pembayaran pekerjaan.

Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah laporan perjalanan dinas (SPPD) fiktif dan melebihi pagu, pembayaran honorarium ganda, dan penggunaan uang negara untuk keperluan pribadi (BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I, 2011).

Beberapa penjelasan di atas telah menepis asumsi dominan bahwa penyebab terbesar penyakit korupsi di lembaga birokrasi adalah sistem penggajian yang buruk. Corruption by need tampaknya telah bertransformasi menjadi corruption by want. Jika kebutuhan memiliki batas dan kecukupan, keinginan merupakan sesuatu yang terus muncul dan didorong oleh nafsu ketamakan dan ”mimpi jorok” tentang kehidupan glamor.

Langkah Konvensional

Meskipun korupsi birokrasi sudah sangat mengkhawatirkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara konvensional untuk menyelesaikannya. Program remunerasi, sebagai misal, telah dibajak oleh para predator berbaju dinas sehingga tak banyak meningkatkan integritas para pegawai birokrasi. Selain itu, birokrasi yang mudah sekali dikooptasi oleh elite politik, baik di pusat maupun daerah, turut mendorong kegagalan reformasi birokrasi secara lebih efektif.

Bagaimana mungkin mekanisme insentif bagi pegawai birokrasi yang cakap, jujur, dan berprestasi dapat dipraktikkan jika pengaruh politik terhadap birokrasi masih sangat kental. Keinginan partai politik mendapatkan akses sumber daya publik melalui lembaga birokrasi—dengan menempatkan kader mereka di pucuk pimpinan departemen atau sebagai kepala daerah—telah mengacaukan agenda reformasi birokrasi yang bertumpu pada peningkatan kesejahteraan pegawai.

Akibatnya, agenda reformasi birokrasi ibarat membuang garam di lautan. Meski ada sedikit perbaikan kualitas pelayanan publik, penyalahgunaan anggaran dan penerimaan negara terus berlangsung.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS juga tak berwibawa. Ringannya sanksi terhadap pegawai negeri yang melakukan penyimpangan, termasuk korupsi, tak banyak menimbulkan efek takut. Pertanyaannya, mengapa jenis pelanggaran yang sama (misalnya penyalahgunaan kekuasaan) memiliki jenjang hukuman berbeda dilihat dari dampaknya: terhadap lingkungan kerja, lembaga tempat bekerja, atau negara?

Pemerintah agaknya alpa bahwa dampak terburuk dari sikap yang sangat permisif terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan birokrasi adalah terbentuknya nilai-nilai yang salah: bahwa melanggar itu dapat ditoleransi. Bandingkan dengan Pemerintah Meksiko yang telah memecat dengan tidak hormat 900-an aparat kepolisian dalam kampanye antikorupsi terkait perang besar terhadap narkotika.

Reformasi Mendasar

Reformasi birokrasi memang membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama, birokrasi harus benar-benar steril dari kepentingan politik di berbagai jenjang pemerintahan. Kehadiran partai politik dan elitenya yang gemar mengeksploitasi sumber daya publik melalui berbagai praktik korupsi telah berdampak buruk pada birokrasi yang dikendalikannya. Tanpa sterilisasi, sulit mendorong perubahan di lembaga birokrasi dalam sistem politik yang amat koruptif ini.

Kedua, pembiayaan atas birokrasi akan terus meningkat jika postur dan ukurannya tidak dipangkas. Negara bisa kebobolan anggaran jika pertumbuhan lembaga birokrasi tidak dihentikan. Menurut data Seknas Fitra, 124 pemda di Indonesia terancam bangkrut karena belanja pegawainya di atas 60 persen dari total APBD (Seknas Fitra, 2011).

Jeff Hutter dan Anwar Shah menyarankan, satu-satunya cara melapangkan jalan reformasi birokrasi adalah dengan pemangkasan postur birokrasi dan jumlah pegawai. Dengan pengerucutan ukuran dan jumlah pegawai birokrasi, negara akan lebih efisien dan fokus pada tugas utama melayani warga (Jeff Hutter dan Anwar Shah, 2000).

Ketiga, birokrasi tidak boleh lagi dianakemaskan oleh negara dengan berbagai macam fasilitas. Modernisasi birokrasi harus dilakukan dengan cara menghargai pegawai yang berprestasi sehingga akhirnya dapat menyingkirkan dengan cepat siapa saja yang tidak kompetitif, buruk kinerja, dan tidak profesional.

Tidak seperti hari ini: memecat yang sudah terbukti korupsi pun negara enggan. ●

Balada Politikus Muda


Balada Politikus Muda
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012



Betapa ”eloknya” perjalanan (sebagian) politikus muda di negeri ini. Begitu cepat melesat dan berkuasa meski akhirnya terpelanting dan tumbang akibat korupsi. Penjara pun siap menampung mereka.

Seperti balada, kisah mereka pun ”mengharu-haru biru” publik. Maklum, selama ini mereka sering tampil di panggung media cetak dan elektronik, baik sebagai politikus maupun pesohor (selebritas). Tubuh mereka licin bagai lilin. Wajah bersih. Senyum selalu mengembang setiap memberikan pernyataan. Persoalan-persoalan yang bagi rakyat dirasakan sangat berat, bagi mereka tak lebih dari intermezo.

Begitu pula ketika nama mereka disebut dalam perkara korupsi miliaran rupiah. Mereka membantah dengan enteng, bahkan sambil cengengesan. Kasus korupsi yang gawat, baginya tak lebih dari drama yang diyakini selalu berakhir dengan bahagia. Mereka seolah menganggap jagat politik dan seluruh lendir kebusukannya sekadar dongeng yang mengasyikkan. Padahal, bagi rakyat, seluruh kebusukan politik merupakan horor riil.

Penikmat Reformasi

Para politisi muda (berusia 30-40 tahun) bisa disebut para penikmat buah reformasi 1998; sebuah momentum yang menjebol otoritarianisme dan memberi jalan bagi liberalisme politik dan ekonomi. Partai-partai politik menjamur bagai gerai (warung). Ada yang berkelas kelontong yang serba subsisten. Ada pula yang berkelas ritel modern atau mal yang memiliki modal menggumpal. Baik gerai kecil maupun raksasa sama-sama menjual dagangan bermerek perubahan demi meraih dukungan besar dan dapat merebut kekuasaan.

Ke dalam gerai-gerai itulah para politikus muda bernaung. Tentu dibutuhkan banyak syarat, antara lain modal uang, popularitas, modal sosial, dan modal (baca: lobi) politik. Dengan cara instan itulah mereka nangkring di lembaga-lembaga negara.

Jangan bertanya soal ideologi, perubahan, dan komitmen sosial kepada mereka. Tanyalah yang praktis-praktis saja. Misalnya, mobil mewah merek apa yang mereka sukai atau alasan membeli rumah yang harganya ”cuma” Rp 1,5 miliar. Anda akan dianggap ”jadul” (kuno) jika bertanya soal pentingnya memperjuangkan jaminan sosial bagi rakyat, pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan/pendidikan, upaya mengatasi pengangguran/kemiskinan, dan pemberantasan korupsi.

Sebagian (besar) memahami peran sosial-politik sebagai karier profesional, bukan panggilan kemanusiaan/kebangsaan. Seluruh perolehan material dianggap lebih penting daripada ideologi (etika-etos) dan pengabdian yang memberikan output bermakna bagi publik. Ketersesatan pemahaman itu menimbulkan blunder, yakni korupsi, yang akhirnya membunuh karakter para politikus muda itu.

Impian untuk menjadi kaya menggoda mereka untuk bermain sulap dalam soal anggaran yang bersumber dari APBN. Jalan lain yang ditempuh adalah melakukan praktik-praktik makelar dalam permainan tender yang bernilai miliaran, bahkan triliunan rupiah.

Mati Sebelum Berarti

Politisi muda yang terjangkit korupsi itu gagal membangun nilai dan makna atas peran sosialnya; kalimat kunci yang oleh Chairil Anwar dielaborasi menjadi frase puitis ”sekali berarti sesudah itu mati”. Mereka pun telanjur ”mati” sebelum berarti.

Materialisme dan pragmatisme yang menguasai jagat politik sekarang ini terlalu tangguh hanya dihadapi dengan kemampuan teknis, kecakapan intelektual, dan lobi politik. Mahatma Gandhi mengajarkan, politik butuh komitmen moral agar tidak kotor. Moralitas berbicara tentang nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan/diwujudkan: kemanusiaan, keadilan, kebangsaan, dan solidaritas sosial. Moralitas melekat pada martabat. Politik yang bermartabat mampu mengubah chaos menjadi cosmos.

Sangat mungkin para politisi yang kini ”mati muda” itu lebih terpukau pada silau jagat politik yang menjanjikan kemapanan, limpahan uang, dan popularitas. Seolah-olah martabat ditentukan dari gebyar duniawi itu sehingga mereka giat membangun proyek pencitraan diri. Mereka lupa, martabat ditentukan karakter personal (jujur, bersih, mampu, dan bertanggung jawab) yang membias/mewujud dalam praksis sosial bermakna. 

Politikus yang berkarakter selalu menggugat diri terkait kehidupan rakyat yang tidak sejahtera, bukan malah sibuk menuntut kenaikan gaji dan fasilitas mewah.

Betapa sederhananya perjalanan para politikus muda, sesederhana kisah-kisah dalam balada. Mereka melesat bak meteor, sekejap ”bercahaya”, tetapi akhirnya lenyap diringkus gelap.

Pada akhirnya, setiap orang akan menemukan ”kodrat” dirinya. Politisi bermental instan, rapuh, dan bermoral keruh tak akan mampu menyentuh lapisan langit pencapaian tinggi dan jauh. Sejarah pun memasukkan nama mereka dalam catatan yang buram dan lusuh.

Dalam jagat politik yang oleng dan galau, bangsa ini membutuhkan politikus-politikus berkapasitas pendekar sekaligus kesatria-kesatria iman yang tangguh. Kepada mereka bangsa ini selalu menaruh hormat dan tak akan pernah mengucapkan ”selamat tinggal”. ●

Bupati-bupati Inlander


Bupati-bupati Inlander
Sri-Edi Swasono, GURU BESAR UI; KETUA UMUM MAJELIS LUHUR TAMANSISWA
Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012


Seorang pejabat tinggi pemerintah menyampaikan kepada saya niatnya menerbitkan buku berdasarkan data yang dimiliki kantornya berjudul ”Tukang Becak dan Kemiskinan Massal”. Saya bilang, judul semacam itu tidak akan menarik selera baca.
John Kenneth Galbraith yang menulis buku Why The Poor Are Poor, 55 tahun lalu, tak direspons pembaca. Istrinya mengusulkan judul buku diganti The Affluent Society. Buku itu pun terkenal sebagai buku superlaris, menyajikan pencerahan tentang ekonomi dan humanisme.

Kepada pejabat tinggi itu saya sarankan agar judul bukunya diganti ”Bupati-bupati Inlander” atau ”Bupati-bupati Keblinger”, pasti bukunya akan jadi tersohor.

Tugas Kerakyatan

Ketika saya berkunjung ke satu kabupaten, yang sesuai kriteria Bappenas termasuk kabupaten tertinggal, sang bupati memamerkan pemasukan anggaran Rp 1 miliar per tahun berupa royalti dari restoran cepat saji makanan asing yang diizinkannya berdiri di pinggir alun-alun kabupaten. Alun-alun turun pangkat, bukan lagi sebagai kemegahan lokal yang dikelilingi kantor kabupaten, masjid agung, kantor pos, penjara, dan kawedanan. Sang bupati yang bangga dengan hadirnya restoran waralaba asing itu masih inlander, mudah terkagum-kagum.

Berapa omzet restoran cepat saji ini jika berani membayar royalti Rp 1 miliar per tahun: Rp 10 miliar-kah, Rp 15 miliar-kah? Maka, akan sebesar omzet itu pula uang rakyat tersedot ke situ, tidak lagi dibelanjakan jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat. Proses pemiskinan ini tidak menguak kesadaran sang bupati. Baginya modernisasi adalah pembaratan, mengagumi investor asing, lengah akan tugas kerakyatan.

Membangun mal atau supermal tentu tak harus dilarang, tetapi semestinya dikenai syarat-syarat. Sebagai pemberi izin, seharusnya kekuasaan pemerintah daerah ini disertai aturan menata kehidupan ekonomi demi menyejahterakan rakyat. Misalnya, 70 persen produk yang dijual di mal harus produk lokal dan produk dalam negeri. Lalu, 30 persen tempat disediakan untuk usaha-usaha kecil—termasuk pedagang kaki lima bisa masuk ke dalam mal— dengan biaya kios yang terjangkau.

Pelanggaran terhadap aturan ini tidak boleh ditoleransi dengan denda. Barangkali ada baiknya pula jika konsumen-konsumen dapat diatur oleh perbankan memperoleh saham kesertaan dari minimarket-minimarket di RT/RW. Bukankah rakyat harus senantiasa terbawa serta dalam kemajuan pembangunan?

Pemodal dan Pedagang Politik

Globalisasi dengan selera hidup konsumtif affluency-nya mendapat tempat di Indonesia. Kesan kuat terasakan, banyak penguasa daerah mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, supermarket, dan semacamnya. Ibaratnya, pembangunan ada jika muncul restoran hamburger, piza, dan semacamnya, serba absurd dengan papan-papan nama serba berbahasa asing. Ternyata sebagian teman kampus menyukai pula model dan selera ekonomi macam ini, tetapi bagi sebagian yang lain menyebutnya sebagai kemiskinan akademis.

Akibatnya nyata: demi mal, supermarket—dan tentu demi hotel mewah dan permukiman supermewah—pembangunan telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Transfer pemilikan—terutama tanah—dari si lemah ke si kuat makin intensif dan masif, sekaligus merupakan proses minderisasi (inferiorization) rakyat.

Tidak ada orang yang tergusur dengan pesangon menjadi kaya, sebaliknya pemilik baru akan terus memperoleh rente ekonomi. Pemilikan bersama (co-ownership) adalah kata kunci penyelesaian. Pemiskinan rakyat ini terjadi karena berlakunya pakem-pakem zaman edan, mumpungisme alias carpediemism dan cita rasa murah penguasa-penguasa daerah, maka pembangunan berubah menjadi proses dehumanisasi.

Terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh. Tokoh lokal yang terbaik tidak terpilih jadi pemimpin akibat takhta bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal dan pedagang politik. Kata Mendagri, ada 160 bupati jadi tersangka atau masuk bui. Indeks korupsi APBD diberitakan tetap tinggi. Mereka bupati-bupati keblinger, jabatannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri.

Siapa salah jika sang bupati tak mengenal potensi rakyat, potensi daerah, dan nilai oportunitasnya? Siapa salah kalau sang bupati tak berwawasan pembangunan humanistis sebagaimana dikehendaki konstitusi kita: bahwa pembangunan harus menghasilkan nilai tambah ekonomi sekaligus nilai tambah sosial-kultural?

Pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat. Brutalitas neoliberalisme ekonomi menambah kesewenang-wenangan dan kesengsaraan rakyat. Otonomi daerah telah membawa kegamangan bagi para bupati. Ibaratnya, sumber daya alam boleh diobral: Indonesia is for sale!

Barangkali Mendagri lengah budaya di sini, ia ”menyekolahkan” bupati-bupati baru ke Harvard School of Government, bukan ke kampus-kampus kita sendiri yang memahami pembangunan partisipatori-emansipatif. Barangkali itulah hasilnya ke Harvard, asingisasi.

Bukan Sekadar Bagi-bagi Kue

Pembangunan bukan lagi sekadar memperbesar ”kue pembangunan”, bukan memperbesar produk domestik bruto (PDB). Bahkan, tak lagi sekadar bagaimana membagi kue pembangunan secara adil.

Hakikat pembangunan justru menyangkut jenis kue pembangunan itu sendiri, menyangkut pola produksi yang mendikte pola konsumsi. Apakah kita membuat ”kue tar” dengan bahan-bahan impor yang tak diproduksi di dalam negeri? Apakah kita membuat ”tumpeng” sebagai kue pembangunan yang penuh bahan lokal produksi rakyat kita sendiri, yang berarti partisipasi dan emansipasi rakyat lebih luas, yang tentu akan lebih memakmurkan dan memanusiakan rakyat.

Pembangunan juga dituntut menjadi upaya peningkatan dan perluasan kemampuan rakyat sehingga proses pembangunan dapat diartikan sebagai proses keberlanjutan peningkatan produktivitas rakyat. Di sinilah peran ilmu ekonomi institusional sekaligus ekonomi konstitusi yang diabaikan dalam pembelajaran otonomi daerah. Tentu tidak semua bupati merusak otonomi daerah. ●

Antara Doha, Ramallah, dan Tel Aviv


Antara Doha, Ramallah, dan Tel Aviv
Broto Wardoyo, PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, UI
Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012


Hamas dan Fatah akhirnya mencapai kesepakatan rekonsiliasi. Mediasi yang dilakukan oleh Qatar berhasil menjembatani kepentingan kedua faksi untuk membentuk pemerintahan koalisi yang akan dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas.
Ada empat catatan terkait kesepakatan yang ditandatangani di Doha ini.

Pertama, kesepakatan ini muncul justru ketika Palestina mengalami kebuntuan dalam negosiasi dengan Israel di Amman. Perundingan Palestina-Israel menunjukkan kegamangan Presiden Abbas. Pada September 2011, PLO mengajukan aplikasi untuk menjadi anggota PBB sebagai negara berdaulat. Pilihan untuk tetap menjalankan negosiasi langsung dengan Israel bisa dilihat sebagai inkonsistensi Palestina dalam bersikap.

Tekanan Publik

Kontradiksi ini juga bisa dilihat sebagai semakin lemahnya posisi politik Presiden Abbas. Langkah aplikasi ke PBB yang dilakukan PLO tidak saja ditentang Israel, tetapi juga Hamas.

Hamas konsisten dengan perjuangan bersenjata dalam melawan Israel meski melakukan modifikasi strategi (berkisar pada model intifada hingga strategi teror). Konsistensi Hamas ini mendapatkan hasil dengan peningkatan dukungan publik Palestina.

Kedua, terkait dengan catatan pertama, perundingan kali ini ditandatangani oleh Khaled Meshaal dan bukan oleh Ismail Haniya. Hal ini semakin mengindikasikan lemahnya posisi politik Presiden Abbas. Di Kairo, Fatah berunding dengan Hamas pimpinan Haniya. Sementara di Doha, Fatah berunding dengan Hamas pimpinan Meshaal.

Penandatanganan kesepakatan dengan Hamas pimpinan Meshaal, bukan Hamas versi Haniya, sangat mungkin dilakukan karena kebutuhan untuk memecah belah Hamas. Hamas pimpinan Haniya lebih mengakar di publik Palestina dibandingkan Hamas pimpinan Meshaal. Keberadaan Hamas pimpinan Haniya di ”wilayah pendudukan” dengan aksi-aksi sosial yang nyatalah yang selama ini jadi kekuatan utama Hamas dan pendulang suara publik Palestina.

Selain itu, berlangsungnya dua trek perundingan tersebut juga menjadi indikasi dua hal. Pertama, munculnya dualisme kepemimpinan di kubu Hamas. Kedua, ada pertarungan untuk mendapatkan keuntungan perdamaian (peace dividend) dari hadirnya kesepakatan. Kedua kemungkinan tersebut mempertegas dugaan semakin beragamnya pemain politik di Palestina.

Isu perpecahan di kubu Hamas bukanlah isu baru. Selain terpecah jadi kekuatan militer dan politik, Hamas juga terpecah dalam Hamas di ”wilayah pendudukan” dan Hamas di pengasingan. Hamas juga terpecah dalam kubu antara kelompok tua yang lebih ideologis dan kelompok muda yang lebih pragmatis.

Ketidakjelasan organisasional ini berkontribusi pada penolakan Barat secara membabi buta terhadap eksistensi Hamas. Akibatnya, semua perundingan yang dilakukan oleh Fatah dengan Hamas akan ditolak oleh Barat.

Catatan ketiga yang muncul dari kesepakatan ini adalah hadirnya Qatar sebagai mediator. Dalam beberapa tahun terakhir, peran regional Qatar cenderung meningkat. Peran Qatar dalam politik kawasan menjadi sangat terlihat dengan kemenangan Partai Ehnada dalam pemilu di Tunisia. Partai Ehnada disinyalir memiliki hubungan baik dengan Qatar.

Anna Mahjar-Barducci, Presiden Association of Liberal Democratic Arabs, bahkan menggunakan istilah patron untuk merujuk pada Emir Qatar dan klien untuk merujuk kepada pemimpin partai Ehnada Rached Ghannouci. Keterlibatan Qatar yang dikabarkan memiliki hubungan dagang dengan Israel tersebut semakin memperumit tali-temali hubungan di antara Hamas, Fatah, dan Israel.

Terakhir, catatan keempat, munculnya kesepakatan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kuatnya tekanan perubahan di Dunia Arab atau dikenal dengan sebutan ”Arab Spring”. Meski tidak banyak disorot, gelombang protes publik Arab juga melanda Palestina.

Di periode awal ”Arab Spring”, publik Palestina menyerukan tekanan kepada para pihak yang bertikai di Palestina—Hamas dan Fatah—untuk melakukan rekonsiliasi. Publik mengancam akan melakukan mosi tidak percaya kepada pemerintahan-pemerintahan yang terbentuk kecuali jika pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan koalisi Hamas-Fatah. Ancaman kudeta publik ini yang kemudian menghasilkan rangkaian pertemuan antara Hamas dan Fatah di Kairo, sebelum akhirnya dunia dikejutkan dengan penandatanganan kesepakatan antara Hamas dan Fatah di Doha.

Tuntutan Perubahan

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah perubahan apakah yang akan terjadi di masa datang? Kemungkinan terjadinya perubahan drastis peta politik Palestina tetap ada meski sangat kecil.

Ada beberapa alasan yang menjelaskan hipotesis tersebut. Pertama, suara Hamas pimpinan Meshaal di dalam Palestina tidak sekuat suara Hamas pimpinan Haniya. Meshaal memang memiliki relasi internasional yang kuat, termasuk dengan Iran. Meshaal menjadi saluran masuknya dana-dana bantuan bagi Hamas di ”wilayah pendudukan”. Figur Meshaal cukup kuat pada masa-masa yang lalu, tetapi sudah mulai memudar di masa-masa yang lebih kini.

Kedua, kesepakatan ini mensyaratkan pembentukan kabinet koalisi yang akan dipimpin Presiden Abbas. Hal ini akan membutuhkan pengaturan politik kenegaraan yang berbeda (terkait perangkapan jabatan perdana menteri dan presiden). Apakah tatanan politik baru tersebut bisa dibangun dalam rentang waktu yang cukup pendek? Apalagi, kabinet baru tersebut dibebani tugas melakukan pemilu di bulan Mei tahun ini. Tugas tersebut memiliki implikasi jangka panjang yang besar mengingat salah satu yang menjadi penyebab kekalahan Fatah dalam pemilu tahun 2006 adalah aturan pemilu yang menguntungkan Hamas.

Ketiga, penolakan Israel dan Barat terhadap keterlibatan Hamas. Meski Qatar memiliki relasi positif dengan Israel dan negara-negara Barat, Israel dan negara-negara Barat tetap menolak masuknya Hamas ke dalam pemerintahan. Selama logika berpikir ini (Hamas sebagai penghambat proses perdamaian) tak diubah, rekonsiliasi jenis apa pun tidak akan dapat membawa hasil pada proses negosiasi Palestina-Israel yang lebih maju. Pemahaman tentang pergeseran arah politik Hamas harus terlebih dahulu diterima sebagai realitas politik masa kini.

Tiga hal tersebut hanya akan bisa dikalahkan oleh semakin menguatnya tuntutan perubahan, bukan saja di Dunia Arab, melainkan juga di Israel. Hingga gelombang ”Arab Spring” berubah menjadi ”Middle East Spring”, rekonsiliasi Palestina tidak akan berdampak signifikan. ●