Kebijakan Pengupahan dan Investasi


Kebijakan Pengupahan dan Investasi
Indrasari Tjandraningsih, PENELITI PERBURUHAN AKATIGA—
PUSAT ANALISIS SOSIAL, BANDUNG
Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012


Tahun 2012 kita masuki dengan rangkaian gejolak rakyat kecil yang menuntut dan mempertahankan haknya: buruh menuntut kenaikan upah minimum, petani menuntut lahan, pedagang kaki lima mempertahankan lapaknya. Gejolak ini secara jelas memperlihatkan dua kecenderungan yang semakin tajam.

Pertama, pengabaian negara terhadap kesejahteraan warga negara. Dan kedua, pemihakan pemerintah terhadap pemilik modal. Kedua kecenderungan ini paling jelas tampak dari rangkaian demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah minimum. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di saat secara makro Indonesia dinyatakan sebagai negara yang amat diminati investor asing dan peringkat investasinya dinyatakan terus membaik. Bagaimana menjelaskan ironi ini? Jawabannya ada pada kebijakan investasi yang ketinggalan zaman dengan menjual upah murah, di tengah tuntutan investor yang sudah jauh bergeser dari aspek upah murah ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah terhadap peraturan-peraturannya sendiri.

Secara resmi pemerintah Indonesia, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengundang investor (asing) dengan mengunggulkan murahnya harga tenaga kerjanya dibandingkan dengan harga tenaga kerja di Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan Cina, di samping kelimpahan sumber daya manusianya (http://www.bkpm.go.id). Harga tenaga kerja Indonesia secara mencolok dinyatakan paling murah di antara negara-negara tersebut, yakni US$ 0,6 per jam (=Rp 5.400). Bandingkan dengan upah di Filipina dan Thailand serta Malaysia, yang masing-masing US$ 1,04, US$ 1,63, dan US$ 2,88. Secara tegas dinyatakan dalam laman tersebut bahwa, dari aspek biaya tenaga kerja,“upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah di antara 10 negara ASEAN dan bahkan jika dibandingkan dengan pusat-pusat investasi di Cina dan India“.

Menjual tenaga murah di tengah persaingan global yang semakin sengit dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 merupakan cara yang terlalu primitif dan melukai harga diri bangsa. Apalagi kedatangan investor asing ke Indonesia paling utama didasarkan pada pertimbangan letak geografis Indonesia yang amat strategis untuk menjangkau pasar regional Asia yang kini semakin kuat dan kekuatan pasar domestik Indonesia yang makin menjanjikan keuntungan.
 
Dari titik ini, menjual murah tenaga kerja justru menjadi disinsentif bagi investasi, karena menurunkan daya beli buruh yang juga adalah sasaran pasar produk bagi investasi asing. Rendahnya upah yang menurunkan daya beli telah terbukti dari penelitian di tingkat mikro yang menunjukkan bahwa upah minimum hanya mampu membiayai 62 persen pengeluaran riil buruh, dan sebagian besar pengeluaran tersebut adalah untuk kebutuhan dasar pangan (Akatiga 2009).

Upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja--satu hal yang justru diakui menjadi keunggulan dan daya tarik bagi investor asing untuk berkegiatan di Indonesia. Berbagai manajer perusahaan besar multinasional mengakui bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh Indonesia jauh di atas yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh di Cina, Kamboja, dan Vietnam. Itulah se babnya, ketika investor Indonesia atau perusahaan multinasional lain melebarkan sayapnya ke negara-negara tersebut, mereka membawa serta tenaga-tenaga Indonesia untuk melatih dan menularkan keunggulan mutu kerjanya kepada buruh-buruh di negara-negara itu. Upah yang rendah memaksa buruh bekerja lembur. Penelitian Akatiga bersama ILO akhir tahun lalu menemukan para buruh garmen di Kawasan Berikat Nusantara baru akan memperoleh Rp 2,5 juta per bulan apabila mereka bekerja 12-16 jam sehari. Jam kerja sepanjang itu akan berdampak negatif terhadap produktivitas, karena berkurangnya waktu untuk mereproduksi tenaganya untuk esok hari. Jika upah murah dipertahankan, hal itu justru akan menjadi disinsentif lain bagi investor.

Bahwa upah buruh--pun dengan kenaikan upah minimum setiap tahun--bukan persoalan utama bagi investor dan bagi usaha menggairahkan iklim investasi sudah berkali-kali dan secara rutin dinyatakan oleh berbagai survei berskala internasional maupun dan mikro. Laporan AD, misalnya, menyebutkan bahwa hambatan utama yang dihadapi investor adalah birokrasi yang korup dan buruknya infrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung juga menyebutkan bahwa tiga hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan arus utama pemberitaan di media massa yang acap kali menyebutkan bahwa investor resah karena upah buruh yang terlalu tinggi, sebagian kalangan pengusaha asing maupun dalam negeri mengakui bahwa upah buruh bukan masalah dan mereka akan membayar berapa pun yang ditetapkan pemerintah asalkan peraturannya jelas dan konsisten serta mereka tidak dibebani oleh berbagai pungutan yang justru menghambat jalannya usaha.

Jelaslah hal tersebut menunjukkan bahwa masalah upah buruh hanya menempati urutan belakang dari deretan problem investasi. Maka, amat tidak adil dan tidak menjawab persoalan jika upah buruh terus ditekan dan dijadikan prioritas dalam pembenahan iklim investasi. Sebab, bukan di situ persoalannya.

Menekan upah buruh juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan taraf industrialisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Upah yang layak dan investasi untuk peningkatan sumber daya manusia menjadi penting, ketika Indonesia hendak menuju ke negara industri tahap ketiga yang mengandalkan sumber daya manusia berketerampilan dan pengetahuan yang tinggi.

Dari sisi regulasi, inkonsistensi aparat pemerintah dalam penerapan peraturan amat mengganggu operasi investasi. Sudah jamak ditemukan di lapangan bahwa peraturan dapat diperjualbelikan dan berlaku “semua urusan musti memakai uang tunai“, yang amat membebani usaha dan menekan upah buruh. Berbagai pengalaman di tingkat mikro menunjukkan perilaku aparat pemerintah yang longgar terhadap peraturan menyebabkan terjadinya trade-off dengan pengusaha yang menyebabkan semakin tertekannya upah. Temuan survei Akatiga (2007) terhadap pengusaha tekstil dan garmen di Bandung, misalnya, menunjukkan ketidakberdayaan pengusaha menghadapi pungutan-pungutan daerah dan, sebagai akibatnya, mereka harus menekan upah buruh agar pembiayaan dan kegiatan usaha dapat tetap berjalan.

Sudah semakin jelas dari fakta-fakta tersebut bahwa strategi untuk memenangi hati para investor bukanlah dengan menjual buruh dengan upah murah, melainkan dengan meningkatkan daya beli dan produktivitas buruh dengan memberikan upah yang layak. Pemberian upah layak akan berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas, karena buruh dapat bekerja dengan tenang.
 
Meningkatkan profesionalisme aparat pemerintah di daerah dan di pusat dan membenahi infrastruktur menjadi prioritas utama yang amat dinantikan oleh para investor. Menempuh ketiga langkah itu secara bersama-sama pasti akan semakin menggairahkan investasi, karena buruh akan semakin produktif, keuntungan pengusaha lebih pasti, dan gejolak hubungan industrial akan jauh berkurang. Ketiganya akan dapat dicapai dengan tampilnya para penyelenggara dan aparat negara yang konsisten dan memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan tugasnya menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh warga negara.

Ketika Buruh Turun ke Jalan


Ketika Buruh Turun ke Jalan
Andi Irawan, PEMINAT TELAAH EKONOMI-POLITIK INDONESIA
Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012


Para buruh melakukan demo yang memacetkan perjalanan pengguna jalan raya hampir 10 km di jalan tol Jakarta-Cikampek. Bukan hanya itu, demo buruh yang berdurasi satu hari tersebut menyebabkan setidaknya 5.000 perusahaan tutup sementara waktu sepanjang 27 Januari 2012 di kawasan industri Jababeka. Bekasi sebagai lokasi utama demo buruh merupakan kawasan utama ekspor. Adanya demonstrasi menghambat pengiriman barang-barang ekspor, yang akibatnya menimbulkan kerugian miliaran rupiah.

Demonstrasi ini dipicu oleh dikabulkannya gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai upah minimum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Barat. Pengusaha menilai gubernur melanggar kesepakatan lantaran menetapkan upah sedikit di atas yang diputuskan dalam musyawarah antara wakil pengusaha dan buruh.

Angka yang dipatok oleh Gubernur Jawa Barat itu terdiri atas tiga kelompok, sesuai dengan masa kerja, yakni Rp 1,5 juta per bulan untuk kelompok I, Rp 1,7 juta untuk kelompok II, dan Rp 1,8 juta untuk kelompok III. Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung mengabulkan keberatan kalangan pengusaha itu. Dengan kata lain, upah mesti diturunkan sekitar Rp 100-200 ribu (Editorial Koran Tempo 31 Januari).

Secara substansi, penolakan kalangan pengusaha itu tidak selayaknya terjadi. Ada beberapa alasan mengapa kita tidak setuju terhadap gugatan pengusaha tersebut dan bisa memahami demonstrasi yang dilakukan para buruh.

Pertama, struktur pasar tenaga kerja domestik adalah pasar yang monopsonistik.
Struktur pasar yang demikian terutama ditandai oleh sedikitnya perusahaan yang meminta tenaga kerja dan sangat banyaknya pencari kerja.

Dengan logika sederhana segera terlihat bahwa struktur pasar yang demikian ini akan menempatkan buruh dalam posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan perusahaan. Dalam struktur pasar monopsonistik ini, teori ekonomi mikro mengatakan upah keseimbangan yang terjadi di pasar pasti lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marginal tenaga kerja.

Artinya, buruh dibayar di bawah nilai produktivitasnya. Dengan kata lain, buruh menerima imbalan yang lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan yang mereka berikan kepada perusahaan. Selisih antara produktivitas dan upah yang diterima buruh sering disebut sebagai eksploitasi. Dengan memahami perilaku pasar tenaga kerja yang monopsonistik ini, maka tuntutan kenaikan upah yang diminta para buruh itu adalah hal yang rasional.

Kedua, upah minimum buruh yang digugat para pengusaha berkisar Rp 1,5-1,8 juta per bulan tersebut sesungguhnya masih jauh untuk bisa mencukupi kebutuhan primer mereka dalam satu bulan. Artinya, kita tidak selayaknya menggunakan asumsi kapitalisme primitif yang mengatakan bahwa upah buruh yang murah merupakan keunggulan kompetitif untuk menarik investasi, padahal tingkat upah buruh tersebut masih jauh dari hidup patut. Karena, sesungguhnya tingkat kesejahteraan berkorelasi erat dengan produktivitas.

John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya, Principles of Political Economy, mengemukakan bahwa biaya tenaga kerja tidak sama dengan upah. “Biaya tenaga kerja kerap kali paling tinggi jika upah berada pada tingkat yang paling rendah.... Tenaga kerja, walaupun murah, boleh jadi tidak efisien.“Biaya tenaga kerja turun jika para buruh bekerja lebih efisien. Karena itu, laba perusahaan yang besar dan upah yang tinggi bisa terjadi secara bersamaan.

Mankiw (1997) bahkan mengemukakan bahwa efficiency wages sangat penting diterapkan di negara-negara berkembang yang mengalami surplus tenaga kerja. Efficiency wages adalah tingkat upah yang lebih tinggi dari tingkat upah keseimbangan pasar guna menjaga keberlanjutan efisiensi produksi perusahaan. Dalam konteks kita, efficiency wages ini adalah tingkat upah yang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan (kebutuhan primer) buruh secara memadai.

Apa arti penting efficiency wages bagi perusahaan? Pertama, tingkat upah ini akan memberikan kebutuhan gizi yang cukup bagi buruh untuk mempertahankan produktivitasnya, dalam konteks kekinian kita sekitar 2.800-3.200 kalori per hari. Selain itu, buruh mendapatkan fasilitas kerja dan alat pelindung kesehatan yang cukup, tempat pemondokan yang layak, dan asuransi kesehatan bagi buruh dan keluarganya. Jika seluruh hak ini bisa terpenuhi, layak bagi pengusaha untuk menuntut produktivitas tinggi.

Kedua, mencegah terjadinya moral hazard oleh buruh. Sebab, pada hakikatnya perusahaan akan sangat sulit untuk melakukan pengawasan dan kontrol secara perfeksionis sepanjang waktu terhadap buruhburuhnya. Seorang buruh dengan upah rendah akan mudah bersikap lalai dan tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya walaupun ia tahu dampaknya ia bisa dipecat. Tingkat upah yang tinggi akan memberinya motivasi untuk bertanggung jawab dan berproduktivitas tinggi dalam pekerjaannya.

Ketiga, tingkat upah ini mencegah setiap buruh berkualitas prima meninggalkan perusahaan karena mencari pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya, yang tinggal di perusahaan adalah buruh baru dengan pengalaman kerja minim yang membutuhkan pelatihan dan adaptasi. Semua ini akan mengurangi efisiensi produksi perusahaan.

Sebenarnya ada titik temu antara buruh dan pengusaha. Pengusaha sesungguhnya masih mampu memenuhi tuntutan para buruh untuk mendapatkan efficiency wages seandainya transaction cost berupa biaya siluman, biaya pelicin, dan lain-lain yang mencapai 30-40 persen dari biaya produksi dapat dihilangkan. Sebagaimana yang diketahui, komponen upah buruh besarnya sekitar 10-15 persen dari biaya produksi.

Transaction cost yang besar tersebut merugikan baik pengusaha maupun buruh. Memerlukan upaya bersama untuk memangkas bahkan menghilangkan transaction cost tinggi tersebut. Dengan demikian, kesejahteraan buruh bisa ditingkatkan, meskipun upaya ini cukup berat karena harus berhadapan dengan mesin birokrasi negara yang ber-transaction cost tinggi.

Sebaiknya aksi demo para buruh itu ditujukan kepada mesin birokrasi negara untuk segera membersihkan perilaku ekonomi biaya tinggi tersebut. Begitu juga para pengusaha melalui asosiasi-asosiasinya berani secara tegas mendeklarasikan penolakan terhadap semua bentuk biaya siluman yang membebani mereka selama ini. ●

Globalisasi dan Upah Minimum


Globalisasi dan Upah Minimum
Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012


Era globalisasi yang kini tengah ber langsung ternyata membawa dampak besar dalam per ubahan sosial ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, globalisasi menyebabkan perubahan dalam pasar tenaga kerja hampir di semua negara.

Boleh jadi diskursus sistem pengupahan dengan upah minimum yang diterapkan saat ini semakin tidak relevan pada masa yang akan datang. Sebab, perubahan pengupahan akan mengikuti perubahan dalam pasar tenaga kerja.

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan kajian saksama atas dampak globalisasi terhadap perubahan pasar tenaga kerja dimaksud. Keterlambatan akan kajian itu akan memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air.

Pasar Tenaga Kerja

Deeringer dan Piore (1971) membagi pasar tenaga kerja atas empat sektor, yaitu primer, sekunder, informal, dan ilegal. Pembagian tersebut didasarkan pada status pekerjaan, regulasi, upah, dan pajak pendapatan.

Sektor primer umumnya ditandai dengan tenaga kerja berstatus kerah putih (white collar), memiliki izin usaha, menerapkan sistem pengupahan dan kondisi ketenagakerjaan yang tertata baik, serta membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.

Sektor sekunder diklasifikasikan pada tenaga kerja kerah jingga (pink collar), yakni kombinasi antara kerah putih dan kerah biru (blue collar), memiliki izin usaha, regulasi yang belum tertata baik, tapi membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.
Sektor informal umumnya dikategorikan pada pasar tenaga kerja yang mayoritas tenaga kerjanya tidak dapat mengakses sektor primer dan sekunder. Sedangkan sektor ilegal ditandai pada pasar tenaga kerja yang pekerjanya pada kegiatan kriminal, seperti pelacuran, perjudian, penyelundupan, perdagangan narkotika, dan pembalakan liar hutan.

Hampir dapat dipastikan setiap negara memiliki keempat sektor itu, namun dengan skala yang berbeda. Sebelum era globalisasi berlangsung, suatu negara dengan skala besar pasar tenaga kerja di sektor primer dapat dikategorikan sebagai negara maju. Sedangkan sektor sekunder sebagai negara transisi dari berkembang ke ne gara maju, dan sektor informal berkutat di negara-negara berkembang. Sementara pasar tenaga kerja sektor ilegal membiak di negara miskin dengan penegakan hukum yang lemah.

Dari sisi pengupahan, tingkat upah umumnya mengikuti keempat sektor itu. Tingkat upah di sektor primer merupakan yang tertinggi berdasarkan regulasi yang menjadi acuan usaha dan perusahaan.

Tingkat upah kemudian lebih rendah pada sektor sekunder. Meski tingkat upah sektor ini telah ditetapkan berdasarkan regulasi, namun penerapannya kerap tidak sesuai sehingga rawan konflik. Indonesia termasuk dalam kategori ini, termanifestasi dari unjuk rasa yang kerap dilakukan buruh.

Selanjutnya, tingkat upah di sektor informal umumnya berada di bawah upah minimum dan ditentukan bukan dengan regulasi, melainkan dengan kesepakatan antara pengusaha dan buruh (bipartit). Kemudian, tingkat upah di sektor ilegal sulit diketahui mengingat aktivitasnya beraliansi tindakan kriminal.

Efisiensi Versus Upah Minimum

Namun, pada era globalisasi penggolongan upah menurut kategori itu diperkirakan mengalami perubahan. Perubahan terutama menimpa negara dengan penerapan regulasi yang lemah dalam pendirian perusahaan dan penetapan upah minimum.

Era globalisasi juga bisa dimaknai dengan kompetisi antarnegara, khususnya kompetisi dalam kegiatan ekonomi. Untuk memenangkan persaingan ditentukan oleh tingkat daya saing.
 
Semakin tinggi tingkat daya saing suatu negara akan semakin besar peluang untuk memenangkan kompetisi dalam pasar global.

Aspek terpenting dalam bersaing di kegiatan ekonomi itu adalah efisiensi. Semakin besar efisiensi biaya ekonomi akan semakin besar potensi memenangkan persaingan karena biaya produksi barang dan jasa yang semakin murah.

Salah satu faktor penting penentu efisiensi adalah upah buruh karena upah buruh yang semakin murah akan memberikan kontribusi yang semakin besar dalam menurunkan biaya produksi. Maka itu, dengan mencermati perubahan dengan basis efisiensi itu, diperkirakan struktur pasar tenaga kerja akan mengerucut ke sektor informal.

Secara faktual, sektor informal akan memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor formal. Tingginya daya saing sektor informal karena biaya produksi yang lebih murah, yang tidak hanya disebabkan upah buruh murah, tapi juga terbebasnya sektor ini dari biaya lain yang menjadi hak buruh, seperti uang pesangon serta absennya perusahaan dari kewajiban membayar pajak usaha.

Terjadinya fenomena ini tentu sangat merugikan karena akan menyeret buruh ke dalam jurang kemiskinan akibat tingkat upah yang cenderung semakin rendah.
Celakanya, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan upah buruh. Sebab, sektor informal belum dilibatkan dalam penetapan upah minimum. Diketahui, penentuan upah minimum masih dalam lingkup formal dengan melibatkan tripartit, yaitu pemerintah, serikat pekerja, dan dunia usaha.

Meski demikian, untuk mencegah degradasi upah buruh dalam era globalisasi ini, pemerintah masih dapat melakukan dua hal.  Pertama, menerapkan sistem upah minimum tidak hanya untuk sektor formal, tapi juga sektor informal. Kedua, memudahkan persyaratan perizinan untuk mendirikan usaha formal, serta membantu pengembangan usaha formal berskala mikro dan kecil.

Berbagai upaya kiranya diperlukan guna menyelamatkan nasib buruh dari keterpurukan akibat upah yang rendah. Kehadiran era globalisasi suka atau tidak suka memang harus diterima sebagai konsekuensi dari perubahan zaman. Sebab, menutup pintu dari arus globalisasi itu akan terkucilkan. Meski demikian, kita harus cerdas untuk menyiasatinya agar tidak menjadi korban arus globalisasi. ●

Myanmar dan San Suu Kyi


Myanmar dan San Suu Kyi
Ismatillah A Nu’ad, PENELITI HUKUM, BEKERJA DI KEMITRAAN/PARTNERSHIP, JAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012


Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi menegaskan, akan mencalonkan diri untuk kursi parlemen dalam Pemilihan Umum Myanmar pada April. Banyak pengamat politik internasional mempertanyakan apakah ini sebagai efek domino dari peranan diplomatik AS yang dewasa ini sangat intens di Myanmar, sehingga seakan-akan Suu Kyi melunakkan diri dalam arus kekuasaan militer di Myanmar.

Sebab, keputusan Suu Kyi untuk kembali terlibat dalam arus kekuasaan politik bukanlah kali pertama. Pada 1990, partainya, LND, pernah memenangi Pemilu Myanmar meskipun kemudian pemerintahan militer di sana tidak merestuinya.
Peraih Nobel Perdamaian 1991 itu malah dikenai tahanan rumah karena kemenangannya. Pengaruh politiknya dianggap membahayakan kekuasaan militer. Sejak itulah, sejarah kelam politik dan demokrasi di Myanmar dan Asia Tenggara umumnya berada dalam titik nadir.

Sepanjang masa penahanannya, putri pahlawan kemerdekaan Burma itu pernah menghirup udara bebas pada 2002. Tapi, itu tak lama karena pada 2003 ia kembali menjadi tahanan rumah. Anaknya yang menetap di London tak pernah bisa menemui dia selama 10 tahun terakhir karena junta militer selalu menolak visanya.

Perjuangan Suu Kyi menegakkan demokrasi dan menentang rezim militeristik selalu menghadapi risiko yang berbahaya karena dianggap melawan arus.

Saat dibebaskan, dia disambut ratusan pendukungnya di pintu rumahnya setelah tujuh tahun berada dalam status tahanan rumah. Suu Kyi telah menghabiskan 15 tahun dalam 21 tahun terakhir dalam tahanan rumah. Hukuman tahanan rumah terakhir dijatuhkan pada Agustus 2010 setelah pengadilan memvonisnya melanggar hukum karena membiarkan seorang diplomat Amerika John W Yettaw menginap di rumahnya selama dua malam.

Kekuasaan militeristik di Myanmar masih eksis, maka demokrasi Myanmar mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington dalam The Third Wave Democratization (1998) sebagai penurunan gelombang demokrasi. Jika demokrasi ibarat pendulum, demokrasi Myanmar yang kini di posisi bawah mengalami penurunan yang sangat drastis. Demokrasi haruslah diperjuangkan karena merupakan sebuah sistem yang lebih baik. Demokrasi memang bukanlah sebuah sistem yang final digagas manusia, melainkan lebih baik dibanding sistem-sistem lainnya, seperti sistem otokrasi, otoriterisme, monarki, dan sebagainya.

Ciri-ciri negara demokratis, menurut Huntington, salah satunya adalah kekuatan militer harus kembali ke barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan “serangan musuh“, baik dari dalam maupun luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin.

Ciri negara demokratis lainnya adalah kebebasan untuk menyuarakan pendapat, pers dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terjadinya pemilu secara jujur dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif (trias politica).

Masing-masing lembaga itu bekerja sesuai kinerja yang diatur oleh undang-undang dan satu dengan yang lainnya independen tanpa ada campur tangan yang akan melunturkan otonomi kelembagaan.

Lewat rezim militer pimpinan Jenderal Than Swee, di satu sisi kehidupan politik Myanmar memang kuat, terutama soal keamanan. Tapi, di sisi lain, seperti mekanisme berkenegaraan jelas menjadi tak sehat, otoriterisme menyeruat, serta rakyat ditebar teror-teror penculikan, penahanan, bahkan pembunuhan.

Hal itu memang menjadi pemandangan umum di negara-negara yang dikuasai militer. Hal tersebut juga pernah terjadi di Indonesia ketika masih dikuasai oleh rezim militer Orde Baru. Mekanisme berkenegaraan yang menakutkan itu pernah dirasakan oleh para mantan aktivis prodemokrasi.

Pengalaman di Indonesia yang kini menjadi negara demokrasi termaju di Asia Tenggara semasa pemerintahan militer Orde Baru ialah pada setiap lini kehidupan tidak memungkinkan rakyat untuk mengaspirasikan suara dan pendapatnya. Semua kebijakan dikuasai oleh penguasa. Jelas, kebijakan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita rakyat.

Setiap ada perbedaan, pasti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, teror, dan penistaan terhadap HAM. Banyak kasus-kasus kekerasan dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru ketika itu, terutama yang terjadi antara 19651966 hingga kini, belum terusut (Cribb: 2003).

Selain itu, belum lagi kasuskasus kekerasan, seperti di Tanjung Priok, kasus Lampung, DOM di Aceh, serta kasus-kasus yang terjadi mengiringi masa-masa reformasi. Pendeknya, jika militer berkuasa maka negara yang dikuasainya akan dibungkam serapat mungkin.

Pada era negara-bangsa modern ini, Myanmar masih dikuasai rezim militer. Tentunya akan banyak terjadi fenomena kekerasan yang terjadi di sana, paling tidak karena masyarakat sipil akan terus dibungkam hak-haknya atau setidaknya ada tiga konsekuensi logis yang akan dihadapi secara internal dalam negara Myanmar sendiri.

Pertama, terjadi penutupan dan pemberangusan hak-hak pendapat dan suara masyarakat sipil. Kedua, sistem pemerintahan trias politica membeku dan diperkosa oleh keinginan-keinginan diktator-militeristik. Undang-undang demokratis jelas diubah oleh peraturan yang berdasar dan selaras dengan kepentingan rezim militer yang ada.

Dan ketiga, ada pembatasan atau pelarangan serta pemberangusan media-media cetak dan elektronik, selanjutnya media massa akan dikuasai oleh satu gerbong yang dimiliki penguasa militer.

Sedangkan, relasi antara negara Myanmar dan pergaulan internasional, terutama di kawasan ASEAN, dapat dipastikan mengalami kesenjangan. Dari titik itu pula, sesungguhnya komunitas internasional harus terus menekan Pemerintah Myanmar. Karena, bagaimanapun demokrasi di Myanmar sungguh mengalami ancaman serius dan harus segera dipulihkan. Jika terlambat menyelamatkannya maka proses kepemimpinan militer akan terus mengakar.

Komunitas internasional harus segera menghentikan rezim militeristik. Bagaimanapun, proses demokratisasi di Myanmar tak boleh terus terpuruk. Negara-negara ASEAN mestinya sudah steril dari kekuasaan militeristik yang otoriter dan diktator, serta membangun kekuasaan demokratis, sehingga proses untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera bisa terwujud secara nyata di kawasan ini. ●