Mau Tau Lebih Dalam Dengan Tata Silvek

Jakarta - Belum lengkap rasanya jika tak bicara soal cinta dengan aktris seksi Tata Sivek. Apalagi, co-host program talkshow komedi 'Kakek Kakek Narsis' itu mengaku sedang jomblo.

"Iya, sekarang aku memang lagi nggak punya pacar," ujarnya seraya tertawa kecil saat berbincang dengan Detikhot di sudut sebuah cafe di daerah Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2012) lalu.

Ah, rasanya memang sulit percaya jika perempuan secantik Tata belum memiliki kekasih. Parasnya yang menawan dibalut kulitnya yang putih bersih tentu bisa dengan mudah memikat hati para pria.

"Serius, aku masih jomblo kok," tegasnya. Tapi yang mendekati kamu ada kan? "Oke, kalau yang mendekati aku sih ada beberapa. Tapi belum ada yang cocok. Belum ada yang bisa bikin aku kelepek-kelepek," bebernya.

Kali ini perempuan blasteran Polandia-Manado itu terlihat lebih agresif bercerita. Suasana di kafe tempat kami berbincang sore itu memang cukup sepi, sehingga membuatnya leluasa menuturkan hal-hal yang bersifat pribadi.




Kata perempuan bernama asli Marie Tatiana Sivek itu, sebenarnya kriteria pasangan idealnya tidaklah sulit. Ia mengaku mendambakan pria kuat berbadan kencang yang nanti mampu mengangkatnya mesra.

"Pokoknya badannya harus kencang dan kuat. Biar nanti bisa kuat mengangkat aku," ujarnya menggoda. Kata Tata, pria seperti itu punya nilai plus tersendiri di matanya. "Selain itu dia musti lebih tinggi atau minimal sama kayak aku," sambungnya lagi. 

Mungkin kriteria itu terdengar cukup sulit. Tapi tenang saja, pemilik tinggi 175 cm dan berat 54 kg itu juga mengaku bisa luluh dengan pria yang mampu memanjakan dirinya. "Soalnya aku memang suka dimanja," imbuhnya.

Perempuan kelahiran Jakarta, 16 Februari 1988 itu menambahkan, ia juga suka dengan pria romantis. Bahkan ia acap kali membayangkan pernikahan impiannya kelak dengan pria pilihannya itu. Seperti apa?




"Aku mau nanti menikahnya di pinggir pantai dengan gaun pengantin serba putih dan hanya mengundang sahabat dan keluarga dekat. Maunya sih seperti itu karena pasti sangat romantis," harapnya.

Di ujung perbincangan, anak kedua dari tiga bersaudara mengaku saat ini dirinya memang sedang mencari kekasih. "Pokoknya tahun ini aku pengen dapat pacar yang baik dan direstui orangtua," tandasnya seraya tersenyum.

Membumikan Misi dan Elan Profetik Nabi


Membumikan Misi dan Elan Profetik Nabi
Maksun, DOSEN FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO, SEMARANG
Sumber : KORAN TEMPO, 4Februari 2012


Bila kita tengok perilaku keagamaan kita beberapa waktu ter akhir dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaian yang dibawa agama tampak begitu kering. Hampir pasti, semangat tersebut meleleh karena perilaku sosial-politik sejak merdeka telah meracuni agama itu sendiri. Agama dikerangkeng dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan berdampak tidak sehat.

Aneh bin ajaib, perilaku orang beragama justru buas terhadap sesamanya. Norma kesopanan telah pudar dalam sanubari bangsa ini. Seolah-olah kita telah kehilangan jati diri sebagai orang beragama, sebagai bangsa beragama, dan sebagai makhluk beriman. Karakter keimanan sebagai suatu substansi yang harus diraih gagal kita bangun. Keimanan bukan untuk menyayangi makhluk lainnya, tapi justru untuk menyerang dan bahkan membunuh dengan segala macam cara.

Tidaklah salah jika dikatakan bahwa agama kini seolah mengalami semacam krisis relevansi doktrinal. Artinya, agama kurang mampu berperan secara aktif dan diskursif dalam merespons realitas-realitas problematik, tapi hanya menjadi atribut kesalehan individual dan tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang mendorong perubahan serta peningkatan kualitas empiris obyektif umat manusia. Lebih dari itu, agama juga acap kali menjadi trompet terselubung bagi kebijakan penguasa dan alat legitimasi bagi kepentingan politik sesaat.

Nah, Islam yang diajarkan Muhammad SAW bukan sebuah gugusan dogma yang bersifat abstrak, normatif, dan skolastik, yang berbicara tentang sistem kepercayaan (iman-tauhid) serta sistem nilai saja. Misi dan elan profetik Nabi mencakup humanisasi (apresiasi kemanusiaan) dan transendensi (apresiasi ketuhanan). Humanisasi dipahami sebagai upaya pembeba-san dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan, dan determinisme teknologi. Adapun transendensi dimengerti sebagai upaya memberi arah pada peradaban dan spirituali-tas kehidupan, serta membimbing manusia dalam menemukan fitrahnya.

Persoalannya, langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar misi dan elan profetik Nabi itu benar-benar terbumikan, sehingga agama (Islam) bisa menjadi part of solution bagi beragam problem kemanusiaan dewasa ini.

Rekonstruksi Tauhid

Menarik dicermati konsep tauhid yang diintrodusir Hasan Hanafi bahwa tauhid adalah suatu pandangan dunia (jaringan relasional Islam), asal-muasal seluruh pengetahuan, dan nilai inti dari seluruh implikasi doktrinal Islam. Karena itu, menerjemahkan tauhid semata-mata sebagai “keesaan Tuhan“, demikian kata Hasan Hanafi, bukan hanya perspektif yang parsial-atomistik, tapi juga salah, dan itu sebabnya harus direkonstruksi.

Menurut Hasan Hanafi, tauhid hendaklah dipahami sebagai: (1) keesaan Tuhan, yang mengajarkan bahwa yang patut dan wajib disembah hanyalah Allah semata; (2) keesaan manusia, yang mengajarkan egalitarianisme doktrin dengan menempatkan manusia dalam kesamaan dan menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, gender, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan, serta kekuasaan; dan (3) keesaan kehidupan, yang mengajarkan bahwa tidak ada pemisahan antara aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, serta sosial dan individual.

Dengan demikian, meskipun tauhid merupakan konsep teosentrik, juga bersifat humanistik, dalam arti memiliki keterarahan dan arus balik kepada manusia.
Pandangan dunia tauhid inilah yang sejatinya menjadi landasan teologis dan historis bagi gerakan para nabi dalam mendo rong perubahan sosial, terlebih dalam dimensi keyakinan serta moralitas. Ibrahim AS adalah cermin revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Musa AS merefleksikan transformasi umat dari belenggu otoritarianisme. Isa AS merupakan cermin revolusi spiritual atas dominasi sekularisme dan materialisme. Muhammad SAW adalah teladan bagi kaum papa, hamba sahaya, dan komunitas tertindas.

Bahan refleksi yang dapat dipetik dari sejarah ini adalah tidak dikenalnya distingsi antara humanisasi dan transendensi dalam keberagamaan. Pemisahan salah satu di antara keduanya bukan hanya bersifat parsial dan ad hoc, tapi juga deviatif. Artinya, humanisasi tanpa transendensi bagaikan fatamorgana (QS 24: 39). Demikian pula transendensi tanpa humanisasi adalah absurd dalam pandangan Tuhan (QS 107: 7).

Part of Solution

Untuk menjadikan agama (Islam) sebagai part of solution, membumikan misi dan elan profetik Nabi dari posisi idealis-skolastik ke realitas konkret serta praksis menjadi hal niscaya. Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga langkah yang harus dilakukan.

Pertama, membersihkan agama dari struktur dan tekanan vested interest. Artinya, kehadiran agama, yang pada awalnya jelas untuk kesejahteraan manusia (com mon goods), serta membebaskan manusia dari segala macam bentuk pembudakan, penindasan, pemiskinan, dan seterusnya, harus dijauhkan dari kepentingan politikkekuasaan. Sebab, jika agama diracuni oleh kepentingan-kepentingan kelompok, apalagi direduksi menjadi alat legitimasi politik, agama kemudian hanya akan menciptakan bad prejudice, kebencian-kebencian sektarian, dan pasti agama akan kehilangan rohnya sebagai pembawa rahmat serta penyebar damai (rahmatan lil’alamin).

Kedua, keharusan membaca dan mereinterpretasikan ajaran-ajaran agama terkait dengan persoalan kemanusiaan oleh para pemeluknya secara arif serta jujur. Dalam konteks ini, Hans Kung pernah mengatakan bahwa agama yang benar tentu tak akan bertentangan dengan kemanusiaan. Agama selalu menghormati dan mempertahankan kemanusiaan. Marcela A. Boisard juga mengatakan bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kesabaran (ketahanan), kegigihan bekerja, dan kebesaran jiwa. Bukan hanya Islam, agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu pun lahir untuk memanusiawikan manusia (to humanize human being).

Ketiga, membentuk kesadaran tentang pentingnya transformasi nilai ajaran agama dalam kerangka kehidupan sosialpraksis. Dalam konteks ini, pemahaman agama yang selama ini lebih terkesan institusional dan berhenti pada tataran belief, ritual, atau sekadar intellectual, harus diganti dengan pemahaman agama yang fungsional dan substantif. Dari sinilah kemudian diharapkan agama menjadi pengalaman hidup pribadi, yang kemudian berdampak sosial yang dalam dan luas dalam berbagai dimensi kehidupan serta berdampak pada integritas kepribadian, bukan kepribadian yang terpecah.

Walhasil, kini saatnya bagi kita, umat beragama, melakukan perubahan paradigma: dari sikap beragama yang in-humane kepada yang humane. Paradigma humanis ini adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan serta terorisme, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, serta memajukan harmoni antarbudaya. Hanya dengan cara inilah agama akan benar-benar mampu menjadi bagian dari solusi bagi pemecahan masalah politik, sosial, ekonomi, hukum, lingkungan, dan sebagainya. Inilah wajah Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan harus kita teladani bersama.

Paradoks Investment Grade


Paradoks Investment Grade
Arif Budimanta, ANGGOTA DPR RI FPDI PERJUANGAN, KOMISI KEUANGAN DAN PERBANKAN; KOORDINATOR KAUKUS EKONOMI KONSTITUSI
Sumber : REPUBLIKA, 4Februari 2012


“Peringkat ini rawan de ngan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.”

Investment Grade atau peringkat investasi dalam konteks pengelolaan ke uangan negara adalah suatu status atau kategori pemeringkatan yang di buat oleh suatu lembaga. Status ini berguna untuk memberikan gambaran tentang keuntungan dan risiko mengenai kondisi suratsurat berharga (surat-surat utang/ pengakuan utang/bond/obligasi) yang dikeluarkan oleh suatu negara atas dasar perencanaan, pengelolaan, dan sistem per ekonomian/keuangan negara itu.

Peringkat investasi secara umum dikategorikan atas layak investasi (Investment Grade) dan tidak layak (Non-Investment Grade). Kategori tersebut disimbolkan dengan huruf A hingga C. Makin mendekati A, maka menandakan bahwa investasi tersebut makin prima dan layak.

Paradigma peringkat investasi adalah keuntungan. Investasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pena naman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi menyangkut investor (pemilik uang) sebagai pembeli dan pemilik proyek/perusahaan sebagai penjual.

Pada sisi pembeli, dia mempergunakan modalnya untuk mendapatkan keuntungan atau imbal hasil dari penjual. Pada sisi penjual, dia mempergunakan/menjaminkan asetnya untuk memperoleh modal kerja untuk memproduksi sesuatu yang menghasilkan imbal hasil lebih tinggi dari yang diberikannya kepada penjual/investor.

Semakin produktif, stabil, dan dominan kekuatan keuangan sua tu negara, maka peringkat inves tasinya akan semakin membaik. Karena—persoalan produktivitas, stabilitas, dan kekuatan sistem ke uangan—memberikan jaminan dan kepercayaan kepada para pe milik dana (investor) untuk membeli surat-surat berharga yang di terbitkan oleh suatu negara. Atas dasar itu, biasanya investor membeli surat-surat berharga de ngan harapan mendapatkan modalnya kembali plus imbal hasilnya.

Lembaga pemeringkat yang ternama di dunia yaitu, (1) Fitch merupakan bagian dari Fitch Grup yang didirikan oleh John Knowles Fitch pada 1913 dan berkantor pusat di Paris. (2) Moodys merupakan bagian dari Moodys Corporation yang didirikan oleh Jhon Moody pada 1909 dan berkantor pusat di New York. (3) Standars & Poors merupakan anak perusahaan dari Mc Graw Hill Companies, berdiri pada 1941 dan berkantor pusat di New York.

Anomali

Ketika krisis ekonomi melanda, Indonesia harus merelakan kehilangan peringkat layak investasi. Saat ini, lembaga pemeringkat yang sejatinya adalah korporasi, seperti Moody's Investor Service, Fitch Ratings, serta Japan Credit Rating yang mengembalikan peringkat layak investasi tersebut ke Indonesia.

Meningkatnya peringkat menjadi Investment Grade atau peringkat layak investasi memberikan sinyal bahwa risiko investasi di Indonesia semakin kecil. Sehingga, seyogianya imbal hasil surat berharga negara akan semakin kecil dengan menurunnya default risk premium. Permintaan terhadap obligasi negara pun akan mening kat. Hal ini juga memberikan dampak positif terhadap kinerja pasar modal seiring dengan ber gairahnya aliran modal yang masuk karena meningkatnya kepercayaan investor, baik dari dalam negeri maupun asing.

Seiring peningkatan peringkat utang tersebut, tentu saja diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor riil yang lebih bersinggungan dengan penciptaan lapangan kerja dan pengu rangan tingkat kemiskinan di Indonesia. Apalagi, hal ini mening katkan peluang Indonesia untuk memperoleh dana jangka panjang yang murah sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur.

Peringkat Indonesia menurut lembaga pemeringkat Fitch, walaupun layak investasi (BBB-), tapi kelasnya tidaklah sama seperti peringkat yang diraih Singapura (triple A), Malaysia (A-), ataupun Thailand (BBB). Peringkat yang diberikan perusahaan Moody’s ke Indonesia Baa3 sebenarnya adalah peringkat paling bawah kategori layak investasi.

Ciri dari kategori ini adalah setiap obligasi atau surat utang yang diterbitkan negara memiliki risiko moderat dan memiliki karakteristik spekulatif. Artinya, menarik untuk investasi, tetapi memiliki risiko yang tinggi bagi investor yang menanamkan modalnya. Peringkat ini rawan dengan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.

Dalam keterangannya ketika pemerintah mengumumkan bahwa Fitch telah menaikkan status Indonesia ke beringkat BBB-, pemerintah menjelaskan bahwa salah satu yang menyebabkan kenaikan peringkat ini adalah rasio utang yang rendah dengan tren yang menurun. Pernyataan tersebut sebenarnya anomali karena beberapa negara Eropa yang rasio utang dengan PDB-nya sangat tinggi dibanding Indonesia, seperti Italia, Spanyol, bahkan Amerika sampai saat ini peringkatnya jauh lebih baik dari Indonesia.

Yang menarik adalah imbal hasil (bunga yang diberikan) terhadap obligasi yang diterbitkan oleh negara-negara tersebut jauh lebih rendah dari kita. Harusnya, kalau memang layak investasi dengan pertimbangan kebijakan ekonomi yang hati-hati, stabil, dan berkelanjutan, kita lebih memiliki keberanian untuk menurunkan imbal hasil dari surat utang negara yang diterbitkan.

Tetapi, untuk menurunkan tingkat imbal hasil terhadap surat utang ini, pemerintah belum percaya diri dan akan terus memakai patokan UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Aturan itu mengasumsikan suku bunga terhadap surat berharga negara untuk jangka waktu tiga bulan berada pada kisaran enam persen.

Setidaknya, ada dua hal yang menjadi dasar dari pemberian imbal hasil yang tinggi tersebut karena pemerintah khawatir defisit APBN tidak tertutupi. Jika Surat Utang Negara tidak dijual dengan imbal hasil atraktif, maka investor tidak akan berminat. Selain itu, produktivitas dari Kebijakan Fiskal yang ditunjukkan dengan perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Paradoks

Utang Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun dengan beban cicilan bunga utang sebesar Rp 122 triliun dari total APBN 2012 sebesar Rp 1.435 triliun. Beban cicilan bunga utang ini meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Penerbitan surat utang baru yang dilakukan pemerintah dilandasi oleh UU APBN. Dalam Pasal 23 UUD 1945 dikatakan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam perspektif konstitusi, harusnya kita dapat memaknai dan merasakan bahwa seharusnya capaian Investment Grade itu diikuti dengan perbaikan kemakmuran rakyat. Tetapi, kenyataannya, beberapa indikator global menunjukkan peringkat Indonesia yang malah merosot pada 2012, seperti Doing Business Indonesia turun tiga peringkat dari 126 pada 2011 menjadi 129 pada 2012.

Secara umum, penyebab masih rendahnya peringkat doing business di Indonesia masih disebabkan oleh hal yang sama, yaitu masalah birokrasi dan infrastruktur. Salah satunya ditandai dengan menurunnya peringkat untuk mendapat sambungan listrik dari yang sebelumnya 158 pada 2011 menjadi 161 pada 2012. Peringkat global dalam mendapatkan aliran listrik di Indonesia jauh lebih buruk dari Kamboja yang mendapat peringkat 138 di tingkat global, padahal peringkat investasi kamboja ada di bawah kita.

Itulah paradoks Investment Grade yang saat ini kita hadapi. Kita harus cepat melakukan evaluasi dan merestrukturisasi kebijakan ekonomi kita. Sehingga, kekhawatiran yang terjadi saat ini tentang menguatnya fenomena decoupling, yakni semakin terjadi pemisahan antara arus finansial dan arus barang, dapat kita hindari.

Buruh dan Jerat Upah Minimum


Buruh dan Jerat Upah Minimum
Launa, DOSEN FISIP UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA;
KETUA BIDANG PENDIDIKAN DPP FESDIKARI-KSBSI
Sumber : SINAR HARAPAN, 4Februari 2012


AKSI masa yang digelar puluhan ribu buruh di Bekasi yang telah menutup ruas jalan Tol Jakarta–Cikampek pekan lalu membuktikan problem upah akan terus menjadi isu seksi dalam hubungan industrial di negeri ini.

Demonstrasi buruh Bekasi yang dipicu penolakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)—melalui pembatalan keputusan kenaikan upah minimum Kabupaten Bekasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung—menunjukkan kebijakan upah murah masih mendominasi cara pikir pengusaha kita.

Ideologi “upah murah” yang populer sejak era Orde Baru agaknya ingin terus dilestarikan Apindo. Atas nama pembangunan dan dalil pertumbuhan ekonomi, pemerintah (dan pengusaha) selama ini telah menempatkan buruh sebagai “alas kaki industri” yang upahnya dihitung berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM).

Per definisi, upah minimum adalah upah bulanan terendah, yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap bagi buruh lajang dengan pengalaman kerja 0–1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur (berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan), dan berlaku selama 1 tahun berjalan (Permenakertrans No 1/1999, Pasal 1 Ayat 1).

Namun, hasil penelitian Akatiga di sembilan kabupaten/kota (Jakarta Utara, Serang, Kabupaten dan Kota Tangerang, Bogor, Sukabumi, Semarang, Sukoharjo, dan Karanganyar) dan empat provinsi (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) menunjukkan, upah minimum jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh, bahkan bagi buruh lajang sekalipun. Upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata masih di bawah Rp 1,5 juta per bulannya. 

Kendati konsep KHL versi Kepmenakertrans No 17/2005 telah memasukkan komponen makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan, fakta kemiskinan buruh tak bisa terus ditutupi.

Untuk menutupi kekurangan upahnya (yang jauh dari KHL itu), para buruh harus memperbanyak kerja lembur, kerja sampingan (mengojek atau berdagang), berutang, dan meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu (laporan penelitian OPSI, 2009).

Kedua, dari sisi efektivitas, upah minimum hanya melindungi minoritas buruh, yaitu buruh formal yang berjumlah 33 juta orang (33 persen). Sementara itu, buruh informal yang berjumlah 70 juta orang (67 persen) tidak memiliki perlindungan upah sama sekali.

Merujuk pada laporan Bank Dunia (2010), pada 2007 saja, terdapat 40 persen pengusaha yang tidak mematuhi pembayaran upah minimum. Artinya, dari 33 juta jumlah buruh formal, hanya 19 juta yang terlindungi upahnya, sementara 85 juta angkatan kerja lain nonformal sama sekali tidak mendapat perlindungan upah.

Inilah salah satu jawabannya mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan mendapat pujian internasional ternyata tidak berdampak pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat, termasuk para buruh. 

Pengawasan Lemah

Problem lain adalah lemahnya pengawasan dan gagalnya penegakan hukum (law enforcement). Kendati Pasal 90 junto Pasal 185 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan jelas melarang pengusaha membayar upah di bawah ketentuan upah minimum dengan ancaman pidana, ketika pengusaha tak mematuhinya, pemerintah membiarkan pasal-pasal tersebut tumpul dengan sendirinya.

Alasan klasik pembiaran pemerintah dan pengusaha tersebut (dan ini sangat menyesatkan), yang penting buruh bisa bekerja, mengingat tingkat pengganguran masih tinggi di Indonesia. Alasan berikut, bila buruh tidak puas dengan upah rendah, toh mereka bisa mengajukan keberatan (perselisihan) ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Berikutnya, tingginya biaya siluman (setoran atau pungli) juga menjadi faktor krusial sulitnya pengusaha memberi kenaikan upah maksimal. Laporan Bank Dunia (Doing Business, 2012) menunjukkan, mahalnya biaya birokrasi di Indonesia. Peringkat Kemudahan Berbisnis di Indonesia saat ini berada di urutan 129, turun dari peringkat 126 (2011).

Singapura adalah negara dengan peringkat kemudahan berbisnis nomor 1, Malaysia peringkat 18, dan Thailand peringkat 17. Biaya buruh (labor cost) di Malaysia, Thailand, dan Singapura jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.

Di Malaysia berkisar 25–29 persen, Thailand 20–25 persen, dan Singapura 26–30 persen, sementara Indonesia hanya berkisar 10–15 persen (ILO, 2007). Sebabnya, para investor dan pengusaha di ketiga negeri jiran itu tidak direcoki oleh pungli dan setoran yang membuat biaya perusahaan (production cost) membengkak.

Mengutip Katherine Wezel-Stone (2007), setidaknya terdapat empat alasan paradigma upah murah dalam konteks globalisasi tetap penting untuk dilakukan.

Pertama, berkurangnya kekuatan tawar buruh, seiring kian intensifnya mobilitas modal. Nalar ekonomi global cenderung mencari tempat investasi yang memberikan standar perlindungan buruh paling rendah.

Kedua, globalisasi cenderung menyingkirkan aturan-aturan negara yang melindungi buruh. Korporasi global lebih tertarik untuk berinvestasi dalam lingkungan hukum domestik yang pro modal, di mana negara tak peduli pada perlindungan hak-hak buruhnya.

Ketiga, globalisasi telah membuat negara-negara berkembang berlomba-lomba menawarkan standar perburuhan yang rendah guna menarik investasi.

Keempat, dalam sistem produksi dan rantai suplai global, faktor upah murah adalah syarat persaingan kunci, di samping mutu, efektivitas waktu, dan efisiensi produksi.
Kelima, dengan mandulnya regulasi perburuhan di tingkat negara, berimplikasi pada lemahnya kemampuan (gerakan) buruh untuk melindungi hak-hak dasarnya. Ideologi globalisasi cenderung happymelihat peran politik buruh yang lemah dan tidak berlakunya standar inti perburuhan (core labor standard) pada tingkat negara.

Faktual, Indonesia perlu mereformasi paradigma upah murah dan menciptakan sistem pengupahan yang lebih adil, mereduksi konflik laten hubungan industrial, menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, serta hasil pembangunan yang menguntungkan bagi buruh dan pengusaha.

Benar, konsep upah minimum selama ini menjadi katup pengaman untuk mencegah eksploitasi buruh yang upahnya kerap ditentukan secara sepihak oleh pengusaha (labor market flexilibility). Namun, konsep ini sudah kedaluwarsa dan tak bisa dipertahankan lagi.

Paradigma pengupahan yang jauh dari visi “menyejahterakan buruh” ini, ke depan harus segera direformasi. Ini karena Pasal 33 UUD 1945 secara tegas memberi mandat pada negara untuk mewujudkan kehidupan perekonomian nasional yang berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk para buruh di dalamnya.