6 Penyebab Mimpi Buruk

Tak seorang pun yang ingin terbangun dari tidur karena mengalami mimpi yang buruk. Mimpi buruk terjadi akibat pergerakan mata yang sangat cepat saat malam hari akibat dalam keadaan tak sadar mengingat terlalu jelas tentang berbagai hal yang menakutkan atau mencemaskan.

Mimpi buruk umumnya terjadi pada anak-anak karena sering merasa ketakutan, tetapi sering juga dialami orang dewasa karena perasaan cemas yang melanda. Sebenarnya apa saja yang bisa menyebabkan Anda mengalami mimpi buruk?

1. Kecemasan dan stres. Rasa cemas dan stres sering kali terjadi akibat kejadian traumatik di masa lalu. Berdasarkan penelitian dari International Association for the Study of Dreams, sebuah operasi besar, kehilangan orang yang dicintai, dan menyaksikan kecelakaan tragis bisa menjadi pemicu mimpi buruk. Post traumatic stress disorder (PTSD) juga merupakan penyebab utama mimpi buruk yang berulang-ulang. Tak hanya trauma yang menyebabkan mimpi buruk, tetapi juga stres yang dialami sehari-hari seperti bangkrut, masalah keuangan, ataupun perceraian.

2. Makanan pedas. Kapan dan apa yang dimakan bisa mengganggu istirahat di malam hari, termasuk kecenderungan untuk mendapat mimpi buruk. Sebuah penelitian dalam International Journal of Psychophysiology membandingkan kualitas tidur antara orang yang telah menyantap makanan berbumbu dan non-bumbu. Orang yang menyantap makanan pedas lebih sering terjaga dan memiliki kualitas tidur yang rendah. Makanan pedas terbukti dapat meningkatkan suhu tubuh dan berakibat gangguan tidur. Hal ini mungkin juga menjadi alasan mengapa beberapa orang mendapatkan mimpi buruk ketika mereka baru makan menjelang tidur malam. Beberapa studi melaporkan bahwa makan ketika mendekati waktu tidur bisa memengaruhi metabolisme tubuh dan meningkatkan aktivitas otak sehingga menyebabkan mimpi buruk.

3. Makanan berlemak. Beberapa penelitian telah menunjukkan, semakin banyak konsumsi makanan tinggi lemak, kemungkinan besar jumlah dan kualitas tidur Anda akan semakin berkurang. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Psychological Reports menemukan bahwa mimpi orang yang mengonsumsi makanan organik berbeda dengan orang yang menyantap junk food.

4. Alkohol. Alkohol adalah bahan yang bersifat antidepresi yang bisa membantu Anda untuk tertidur dalam jangka pendek. Namun, setelah efeknya hilang, alkohol justru akan membuat Anda menjadi sulit tidur. Kelebihan konsumsi juga bisa membuat mimpi buruk.

5. Obat-obatan. Beberapa jenis obat termasuk antidepresi, barbiturat, dan narkotika dapat menyebabkan mimpi buruk sebagai efek samping penggunaannya. Dalam sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal Psychopharmacology, diungkapkan bahwa ketamin—obat yang digunakan dalam anestesi—akan membuat ketidaknyamanan tidur dan mimpi buruk jika dibandingkan dengan obat lainnya

6. Penyakit. Berbagai jenis penyakit termasuk demam, atau flu, sering memicu mimpi buruk dan gangguan tidur lainnya.

Sumber: http://health.kompas.com

Tidurlah biar Tak Mudah Sakit

Tidur sering dianggap sebagai kegiatan yang kurang produktif. Padahal setiap makhluk hidup perlu tidur untuk kesehatan fisik dan emosional. Walaupun mata kita terpejam, sebenarnya saat tidur terjadi perbaikan sel-sel yang rusak. Itu sebabnya tidur sangat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.

Ditegaskan oleh Timothy Morgenthaler, sleep specialist dari Mayo Clinic, orang yang tidak mendapatkan tidur malam yang baik atau tidak cukup tidur lebih mungkin jatuh sakit setelah terkena virus, seperti influenza biasa. Kurang tidur juga dapat memengaruhi seberapa cepat seseorang pulih dari penyakitnya jika sedang mengidap penyakit tertentu.

Tidurlah biar Tak Mudah Sakit - Selama tidur, sistem imunitas (kekebalan) tubuh akan mengeluarkan protein yang disebut sitokin. Menurut Morgenthaler, zat ini berfungsi sebagai alat proteksi terhadap infeksi, peradangan, dan stres. Peningkatan sitkon sangat diperlukan khususnya dalam memerangi infeksi dan membuat tidur lebih dalam.


"Jadi, tubuh Anda membutuhkan tidur untuk melawan penyakit menular," katanya.

Morgenthaler menuturkan, jumlah optimal tidur untuk orang dewasa biasanya antara 7 jam dan 8 jam semalam. Sementara anak usia sekolah dan remaja membutuhkan 9 jam atau lebih tidur setiap malam.

Tapi ingat, tidur terlalu lama juga tidak selalu baik. Untuk orang dewasa, tidur lebih dari 9-10 jam setiap malam telah dikaitkan dengan penambahan berat badan, masalah jantung, stroke, gangguan tidur, depresi, dan masalah kesehatan lainnya.

Sumber: http://health.kompas.com

Kebudayaan Bukan Kebinatangan


Kebudayaan Bukan Kebinatangan
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : KORAN TEMPO, 24 Desember 2011


Kebudayaan, dengan segala tata nilai dan tata krama yang dinamis, merupakan ciri keberadaan kita sebagai manusia, yang terbedakan dengan binatang. Meskipun sama-sama mengalami kelahiran, perkawinan, dan kematian, manusia mampu menciptakan ritual atas peristiwa itu. Menjadikannya sebagai peristiwa budaya, dan dengan demikian mampu belajar dari pengalaman yang mendahului, dan karenanya menuju ke stilisasi yang disebut peradaban. Binatang tak memiliki kemampuan budaya untuk kreatif, sehingga tak mengenal pernikahan, dan bahkan cara kawinnya selalu dengan model yang sama, doggy style. Gaya yang bisa dilakukan manusia di samping gaya-gaya yang lain.

Jalan Budaya

Saya mencoba merumuskan karakteristik yang berlangsung dalam peristiwa budaya dengan tiga unsur utama. Pertama, kebudayaan mendahulukan dialog dibanding kekerasan. Dalam bentuk kesenian wayang orang, ketoprak, atau segala jenis seni tradisi--selalu terjadi dialog, yang bahkan menjelang peperangan pun masih terjadi dialog dalam bentuk tembang, dalam tantang-menantang. Kekerasan adalah jalan akhir ketika semua bentuk dialog menemukan jalan buntu.

Kedua, peristiwa budaya mengedepankan karya selain wacana. Itulah sebabnya, lahir puisi, tari, irama, yang selalu diciptakan, di samping wacana yang mempersoalkan atau mempertanyakan. Lakon dalam wayang selalu berkembang, produksi film terus berkelanjutan, apa pun situasi dan kondisinya. Unsur ketiga, kebudayaan tidak memonopoli satu-satunya kebenaran, dan karenanya perlu bersama dengan disiplin lain. 

Dalam dunia kepenyairan, tak ada penyair nomor satu dan nomor dua. Tidak juga aliran atau bentuk tertentu mengalahkan, atau mengenyahkan, jenis lain. Jenis musik klasik tidak dengan sendirinya yang paling benar dan meniadakan dangdut, pop, keroncong, atau campur sari. Dalam seni lukis, tak berarti nanti aliran kubisme melenyapkan naturalisme, dan sejenisnya.

Jalan budaya, pendekatan melalui unsur-unsur dinamis dalam peristiwa kebudayaan, inilah yang agaknya ditinggalkan atau ditanggalkan sejak era Reformasi bergulir. Nyaris kita mendengar, atau bahkan mengalami, tiadanya pendekatan budaya dalam beberapa masalah besar, seperti kasus pembantaian Mesuji, korupsi para petinggi dari seluruh jabatan dan institusi, tawuran yang makin menjadi-jadi, sampai dengan pelanggaran tata krama berlalu-lintas, mendapatkan KTP yang dianggap wajar, pragmatis, dan lebih benar.

Jalan Binatang

Ini yang pada beberapa bagian kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi merana. Bahkan bisa lebih. Manusia bukan hanya serigala bagi manusia lainnya. Manusia adalah zombie bagi manusia lain. Yang besar akan memangsa yang kecil, yang kuat dan mempunyai akses lebih meniadakan yang lemah. Korupsi, juga pemerasan, berangkat dari tata nilai dan tata krama yang berasal dari dunia binatang. Menerkam habis kelompok lain untuk kelangsungan hidup dan atau memperkuat diri. Keberhasilan, karena itu, dihitung dari berapa banyak korban yang dihancurkan, berapa tengkorak yang bisa dipajang sebagai tanda keberhasilan.

Memperlakukan makhluk lain sebagai binatang bisa dalam contoh yang sederhana. Adalah garis-garis yang membedakan jalur kendaraan. Karena ini tak juga dipahami masyarakat, tindakan berikutnya adalah membuat separator jalan. Karena ini juga tidak dipatuhi, dibuatkan gundukan separator, dan juga ditinggikan. Ini adalah cara perlakuan kepada binatang, yang karena tidak mampu mengenali tanda, dibuatlah pagar. Karena masih diterobos, pagar dialiri listrik.

Pendekatan melalui pendidikan, melalui kesadaran, dinilai terlalu lama dan tidak mempunyai efek, sehingga perlakuan sebagaimana yang diterapkan pada binatang dianggap lebih manjur dan mengatasi masalah. Padahal justru di sinilah masalah itu muncul. Contoh yang lebih sederhana adalah pengaturan lalu lintas untuk mengatasi kemacetan dengan “3 in 1”, minimal tiga penumpang dalam kendaraan roda empat untuk jalan dan waktu tertentu. Yang muncul adalah para joki yang tak mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan. Karena dianggap mengganggu, menyalahi tata krama, para joki inilah yang menjadi sasaran razia, dengan segala akibat buruknya. Mereka yang kalah dibuat salah, mereka yang dimusuhi akan dihabisi, dengan segala pembenaran. Inilah nasib para TKW, para pengemis, dan atau anak-anak jalanan, yang terjadi setiap hari.

Jalan Pencegahan

Pendekatan budaya, tak bisa tidak, harus disertakan dalam berbagai kebijakan yang nyatanya tidak bijak karena memihak, untuk mengerem kebinatangan dalam diri kita. Jalan budaya memang bukan jalan singkat, karena yang disodorkan adalah menumbuhkan karakter, memperkuat pribadi. Jalan budaya lebih menekankan proses pencegahan dibanding tindakan seketika. Mencegah seseorang menjadi koruptor, menjadi pelanggar tata krama, menjadi pendurhaka kepada bangsa dan negara.

Pencegahan yang diwujudkan dalam bahasa seni melalui tembang-tembang, melalui lambang, melalui mitos, melalui rasa malu, melalui empan-papan, yaitu mengenali situasi dan lokasi waktu maupun lokasi tempat. Dalam bentuk yang sederhana adalah mengenal kehormatan, dan rasa hormat. Baik kepada orang tua, sahabat, lingkungan, alam, maupun kepada bangsa negara, dalam keimanan. Semua nilai-nilai itu ada dalam kebudayaan, dan nenek moyang kita telah sangat jenius merumuskannya dalam aktualisasi. Di awal berdirinya republik ini, tampillah para pendiri negara yang terhormat, yang mengutamakan pilihan ini, dengan segala cita-cita yang gemanya masih memanggil kita untuk memenuhi.

Jalan budaya, karena itu, menyiapkan sebuah pribadi, juga sebuah generasi yang dibekali perbedaan yang jelas dan tegas antara benar dan salah, antara nakal dan jahat, sebuah kesatuan besar untuk belajar dari pengalaman buruk. Sebuah generasi manusia yang tak menempuh jalan hidup binatang.

Karena sesungguhnyalah manusia bisa mengajari binatang, dan bukan belajar dan meniru dari cara hidup binatang. Kalau itu terjadi, bencana kebudayaan yang lebih mengerikan dari bencana alam maupun bencana sosial terus melangsungkan pemusnahan peradaban.

Imigran Gelap

Imigran Gelap
James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011


Tanggal 17 Desember lalu, kapal yang mengangkut 248 imigran gelap asal Irak, Iran, dan Afganistan, yang berniat memperbaiki nasib di Australia, pecah dan tenggelam di perairan Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Hingga Jumat (23/12), sebanyak 146 penumpang ditemukan, 97 di antaranya tewas dan 49 selamat.

Kejadian itu membuat kita terenyak. Impian imigran gelap yang bersedia mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengenyam kehidupan yang lebih baik itu kandas bersama dengan tenggelamnya kapal yang mereka tumpangi. Bukan hanya impian mereka yang kandas, sebagian besar di antara mereka bahkan kehilangan nyawa. Sebagian kecil yang selamat pun ada yang kehilangan sanak saudara.
Itu bukanlah kejadian yang pertama, dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya ada tujuh kecelakaan kapal di wilayah Indonesia yang melibatkan imigran gelap. Namun, kejadian pada tanggal 17 Desember 2011 itu adalah kecelakaan kapal yang meminta korban terbanyak.

Australia sebagai negara seluas benua yang minim penduduk itu menjadi salah satu tujuan utama bagi imigran gelap. Mereka bermimpi dapat membangun kehidupan yang baik di Australia. Bahkan, untuk mewujudkan impiannya, mereka bersedia membayar uang 4.000 dollar AS hingga 6.500 dollar AS per orang.

Impian untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik itu adalah impian semua orang. Akan tetapi, memang tidak semua orang memiliki keberanian untuk mencoba peruntungan di negara lain, yang tidak jarang letaknya sangat berjauhan dengan negaranya sendiri. Apalagi memasuki negara yang diimpikannya itu secara ilegal.
Namun, ketika sedikit orang yang berani mencoba peruntungan itu sukses memperbaiki tingkat kehidupannya di negara impian, mereka menjadi gula yang menarik minat banyak semut untuk mengikuti jejak mereka.

Daya penarik itulah yang memancing munculnya organisasi gelap yang bekerja secara internasional, yang mengatur perjalanan orang-orang secara ilegal ke negara impiannya (human trafficking).

Ketika Australia menjadi salah satu negara tujuan utama, Indonesia sebagai negara yang letaknya paling dekat dengan Australia ikut dibuat repot mengingat tidak sedikit imigran gelap yang menggunakan Indonesia sebagai negara antara sebelum melompat ke Australia. Bahkan, tidak sedikit dari mereka (imigran gelap) masuk ke Indonesia dengan surat-surat kelengkapan resmi dan membuangnya sebelum berangkat ke Australia. Atau ada pula yang datang ke Malaysia secara resmi kemudian berangkat ke Australia dengan kapal dan terdampar di sini. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan kapal dari Malaysia kemudian singgah di Indonesia untuk melengkapi perbekalannya sebelum berangkat ke Australia.

Posisi Sulit

Sebagai negara yang letaknya berdekatan dengan Australia, Indonesia memang berada dalam posisi sulit. Misalnya, mereka terdampar di sini, apa yang harus dilakukan? Memulangkan mereka kembali ke negara asalnya, pasti tidak mungkin karena mereka pasti akan menentangnya mati-matian. Selain sudah menghabiskan semua harta benda, mereka juga tidak berani mengira-ngira apa risiko yang mereka terima jika sampai dipulangkan paksa kembali ke negaranya. Menampungnya juga sulit. Selain harus menyediakan sarana dan prasarana, Indonesia juga harus memberi mereka makan selama berada di negeri ini. Mengusir mereka dari wilayah Indonesia dan membiarkan mereka berlayar dengan segala keterbatasannya ke Australia juga tidak mungkin dilakukan.

Dulu semasa manusia perahu dari Vietnam dan Kamboja datang ke sini, Indonesia menampung mereka di Pulau Galang sebelum ditempatkan ke negara ketiga. Namun, pada waktu itu persoalannya berbeda, karena itu adalah masalah internasional. Manusia perahu itu dilihat negara Barat sebagai pelarian dari negara yang dikuasai rezim komunis, dan negara Barat yang antikomunis berupaya menerima mereka dengan memberikan suaka. Bahkan, dunia internasional ikut membiayai kehidupan mereka selama berada di penampungan (Pulau Galang) hingga mereka ditempatkan, melalui Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).

Kini, keadaannya berbeda. Imigran gelap itu dianggap sebagai pengungsi ekonomi sehingga perlakuannya juga berbeda.

Namun, khusus untuk kasus yang terakhir ini, kita kecewa. Oleh karena aparat keamanan, dalam hal ini oknum Tentara Nasional Indonesia, yang seharusnya menangkap mereka dan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku di negara ini, bukan mengambil keuntungan dari imigran gelap, yang memang akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan impiannya.

Seperti yang telah dikemukakan, persoalan imigran gelap, juga mencakup soal human trafficking (penyelundupan manusia), sangat rumit. Itu sebabnya, penanganannya harus melibatkan banyak pihak, baik di negara asal, negara transit, negara tujuan, maupun lembaga-lembaga internasional.

Budaya Konsumtif Kelas Menengah

Budaya Konsumtif Kelas Menengah
Janianton Damanik, GURU BESAR PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN,
FISIPOL UGM
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011


Rasa bangga muncul seketika di kala media massa menabur berita bahwa jumlah kelas menengah kini sekitar 43 persen dari total penduduk Indonesia.

Berarti setidaknya 100 juta orang mampu meraih penghasilan 2-20 dollar AS per kapita per hari. Pengamat memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi terus membaik, setiap tahun akan bertambah 7 juta kelas menengah baru. Mereka adalah orang yang beruntung lolos dari penjara kemiskinan yang memasung ratusan juta warga miskin lainnya karena berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari.

Setelah menelisik data aslinya, ternyata sebagian besar dari angka 50 persen itu hanya berpenghasilan 2-4 dollar AS per hari. Semakin mendekati penghasilan 20 dollar AS, semakin menciut persentase kelas menengah ini. Bisa disimpulkan, mereka sangat rentan terhadap krisis ekonomi yang sewaktu-waktu bisa bergejolak. Jika itu terjadi, barisan inilah yang pertama tergiring ke kumpulan warga miskin.

Namun, bukan itu yang membuat rasa bangga menjadi sirna, melainkan kegemaran kelas menengah mengonsumsi barang impor. Entah karena merasa baru merdeka dari koloni kemelaratan menahun atau ingin pamer kepemilikan materi, libido konsumtif mereka begitu menggelora. Ketika barang konsumsi teranyar dilempar ke pasar, seketika itu pula mereka menyerbunya. Banyak pengamat mengatakan, kelas menengah Indonesia adalah penggila produk asing, mulai dari makanan, fesyen, barang elektronik, sampai otomotif.

Mungkin potret kegilaan yang dipicu libido konsumtif itulah yang mencuat ketika ribuan orang antre berjam-jam dan berdesak-desakan untuk membeli telepon seluler merek Blackberry Bold 9790 di sebuah mal di Jakarta baru-baru ini. Ini bukan kasus pertama. Dua minggu sebelumnya peristiwa konyol serupa juga muncul di Manado (Kompas, 12/11/2011). Tragis, karena kegilaan untuk memiliki telepon bermerek itu berbuah celaka. Seribu biji telepon pintar mengecoh ribuan manusia yang kurang pintar sehingga puluhan jatuh pingsan dan terkapar.

Tragedi Kultural

Kalau boleh disebut, inilah serial lanjutan tragedi kultural bangsa kita. Galibnya, peningkatan status ekonomi berjalan seiring eskalasi kecerdasan sosial. Andai pun tidak bersemangat kapitalis tulen dalam arti hemat dan kerja keras, minimal orang tidak hedonis-konsumtif.

Namun, yang terjadi sebaliknya. Mobilitas vertikal kelas menengah ini merangkak tanpa pijakan nilai dan etos hidup yang mencerahkan. Harga diri sebagai kelas ekonomi baru hanya disangga oleh pilar nilai yang keropos: emo ergo sum, saya belanja, maka saya ada!

Hidup menjadi arena pacuan gengsi yang hampa isi. Medianya adalah belanja dan kepemilikan materi. Nafsu belanja terus menyeruak di tengah defisit kearifan kolektif. Hidup konsumtif dan boros begitu seksi dan menggoda. Nilai kultural sekuat apa pun nyaris tak mampu menghalanginya. Belilah, mumpung barang belum habis. Ada diskon sekian persen, plus diskon tambahan buat pemilik kartu anggota. Pakai selagi belum ketinggalan mode. Tertibkan alis mata, haluskan kulit tubuh, dan wangikan raga di ruang spa. Jangan pikir besok lusa karena semua ada waktunya. Begitu bujuk rayu yang menghanyutkan kelas menengah ke ajang perburuan materi.

Lantas, budaya konsumtif pun menggiring mereka memproduksi keinginan-keinginan baru yang nyaris tak bertepi. Batas-batas kebutuhan lenyap akibat ditelikung libido liar untuk memiliki segala yang berbentuk materi.

Adalah usaha sia-sia menautkan hasrat memiliki materi dengan penggunaan akal sehat. Tak tabu berutang, yang penting bergengsi, gaya, dan gaul. Di tingkat ini, kepemilikan tak lagi berfungsi produktif. Sebaliknya ia terdegradasi jadi simbol gengsi sosial yang acap kontraproduktif.

Maka, bisa dipahami mengapa industri otomotif dan elektronik mengguyur kelas menengah yang baru bangkit ini dengan produk unggulannya secara masif. Tak lain adalah karena wabah budaya konsumtif tadi.

Majalah The Economist belum lama ini menempatkan Indonesia di peringkat teratas sebagai pengguna sepeda motor sekawasan Asia Tenggara. Tahun 2010, tak kurang 8 juta unit disapu bersih oleh pasar konsumen lokal dan hanya tersaingi oleh konsumen di China dan India. Masih di tahun yang sama, lebih dari 760.000 unit mobil berbagai kelas terjual laris manis di pasar otomotif. Perusahaan RIM, produsen Blackberry, mengklaim kelas menengah Indonesia salah satu pasar terbesarnya. Ini pun belum apa-apa dibandingkan dengan jumlah pelanggan (kartu telepon) aktif yang mencapai 240 juta.

Mengapa budaya konsumtif mereka menggelora? Jawabnya ada pada faktor kendali diri dan daya kritik yang majal. Terbentuknya kelas menengah di negeri ini ternyata tidak melahirkan kelompok masyarakat kritis.

Kalau boleh disebut, mereka adalah kelas menengah yang secara psikososial sangat labil dan permisif. Ciri-cirinya, antara lain, mudah terpengaruh, lekas berpuas diri, alergi bernalar, dan suka dipuji. Bukan kebetulan, pemeo the consumer is king cocok benar dengan karakter tersebut. Sebab, hanya dengan menjadi pembelilah mereka merasa jadi raja. Sayang, itu cuma perasaan belaka. Faktanya, konsumen yang tak kritis hanya menjadi budak nafsu konsumtifnya sendiri.

Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan. Bukan karena ia terkait dengan persoalan etika dan rapuhnya karakter anak bangsa. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang impor yang niscaya akan mematikan pasar produk lokal. Taruhannya adalah daya tahan perekonomian nasional. Budaya konsumtif jadi bentuk undangan terbuka bagi kapitalisme global untuk leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup, selera, bahkan ideologi kelas menengah kita sesuai dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan.

Melihat ancaman besar seperti itu, tampaknya harus dicari jurus jitu untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi. Jika tidak, kita harus rela menerima kenyataan jadi bangsa yang kehilangan jati diri.

Olga Ngesot


Olga Ngesot
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 24 Desember 2011




Olga Syahputra, 38,pembawa acara juga pelawak, kena teguran telak dari Komisi Penyiaran Indonesia( KPI) karena ketika menampilkan diri sebagai Suster Ngesot mengeluarkan alasan: gara-gara diperkosa sopir angkot.

Dia dianggap melecehkan korban perkosaan. Ini juga bukan pertama kali teguran yang diterima. Sebelumnya grup band Five Minutes juga protes karena namanya dilecehkan, atau Yuni Shara dan Luna Maya mengeluhkan sikapnya. Teguran KPI adalah peringatan dini, yang agaknya harus sering dilakukan.

Karena pertelevisian kita makin tak terkontrol, terutama untuk siaran live. Bukan hanya cerocosan spontan yang kadang menyebutkan alat kelamin, melainkan yang terutama tampilan gaya banci. Bahkan kalau Olga banci tulen lahir batin, gaya itu kurang pas untuk anak-anak.

Bukan Bahasa Narasi

Posisi Olga sebagai presenter sebenarnya menempatkan sebagai narator, sebagai pembawa narasi. Memberitahukan, mengantarkan keberadaan acara, bintang tamu, atau narasumber, dan atau juga topik permasalahan episode tertentu. Namun dalam hal ini Olga memberi komentar dengan celetukan. Yang tidak apa-apa, memang begitulah gaya bicara gokil-gokilan, yang ngetren di televisi.

Kadang juga noyor— memperolok, atau membuat lucu lawan bicara. Spontanitas inilah yang ketika bersama Luna Maya yang tengah menceritakan gempa di Chili, disambar dengan ucapan “Chili?  Sambal kali.” Atau komunitas Kaskus, disambar dengan guyonan “Kakus, WC kali..” Atau mempersoalkan kejandaan Yuni Shara. Materi tentang gempa, materi komunitas yang berkualitas, materi keberadaan seorang perempuan, tak menimbulkan kepekaan akan suatu yang lebih besar dari sekadar “agar ditertawakan”.

Atau berkaca pada model lama di mana dengan merendahkan orang lain, dengan mengolok-olok, dia bisa mengangkat dirinya. Sesuatu yang keliru. Kekeliruan besar mana kala masyarakat— yang menonton atau mendengar kemudian— sedang prihatin akan tema aktual tersebut. Dalam hal terakhir adalah kasus perkosaan yang menimpa seorang ibu di angkot. Wajar kalau terjadi penolakan banyolan model begini.

Jangankan kata Olga, Gubernur Foke pun kena demo ketika menyarankan agar para gadis tidak memakai rok mini. Kalaupun maksudnya setengah— atau sepenuh—memainkan humor, yang terasakan adalah humor kotor. Kegeraman pada pemerkosa menemukan sasaran yang memperolokannya. Olga bisa belajar banyak dari pembawa acara yang juga bagian dari pengisi acara yang keren dan tak kalah beken pada masanya. Kus Hendratmo, Kris Biantoro, Miing Bagito adalah pembawa acara,pengisi acara, juga ngebodor, yang sukses dan tidak melukai audience.

Kalau soal kritis bahkan untuk acara yang sedang dibawakan, barang kali Kris Biantoro dan Miing adalah biang kritik, baik secara langsung atau menikung. Penguasaan materi yang dibawakan, serta sudah barang tentu persiapan, merupakan modal dan pengalaman. Yang diperoleh dari bacaan, dari buku, dari berefleksi. Olga dalam kepenuhan job barangkali tak mempunyai waktu untuk itu.

Atau merasa tak perlu. Atau kalau dari teman seangkatan, Olga bisa belajar dari Indi Barends, Indra Bekti, atau yang juga bernama Olga, Olga Lydia. Ketiga nama sepantaran ini juga keren cool, menghibur, ramai bersapa, noyor, kritis, tapi tahu dan mampu membaca situasi.

Bukan Bahasa Verbal

Protes KPI kali ini mencerminkan kegelisahan masyarakat atas tampilan televisi yang selama ini menganggap sepi. Keberatan atas ucapan spontan sebenarnya merupakan bagian dari “kekerasan” yang merajalela. Pada tata krama FCC di Amerika Serikat—seposisi dengan KPI di sini—kekerasan yang harus dihindarkan oleh tayangan televisi adalah kekerasan verbal dan nonverbal.

Yang termasuk nonverbal adalah gaya yang disampaikan Olga secara kebanci-bancian. Karena efeknya dianggap kurang baik bagi anak-anak, terutama untuk anak-anak di bawah usia sembilan tahun. Dalam penelitian di Prancis, anak-anak di usia itu sangat rawan akan pengaruh—kecuali untuk anak yang jenius. Karena mereka belum bisa dengan jelas membedakan antara fiksi dan nonfiksi.

Itu pula sebabnya tokoh kartun digambarkan berjari empat—agar ada informasi pada anak-anak bahwa itu bukan tokoh nyata. Hal yang sama dengan tampilan banci— banci kaleng atau banci “Taman Lawang”, yang bagi anak-anak bisa diartikan sebagai mode, sebagai gaya, sebagai cara yang wajar. Saya kira KPI pernah mengeluarkan “pedoman” untuk tidak menampilkan peranan banci yang tak perlu. Komedian Srimulat seperti Tessy pun perlahan surut dan menghilang.

Saya juga tak berkeberatan kalau Olga seorang gay—apa hak saya berkeberatan?—namun jangan itu yang ditampilkan. Kecuali kalau memang memerankan karakter itu dalam sebuah film atau sinetron. Bergaya gay tidak menarik, juga tidak mendidik. Protes KPI sekaligus membuka catatan lama bahwa tampilan kekerasan nonverbal masih menjadi menu utama yang disadari atau tidak masih terjadi.

Misalnya menampilkan adegan satu frame, orang tua bertengkar di depan anaknya, adegan murid menghina dan memarahi guru di dalam kelas, atau juga anak sekolah entah dari mana dengan seragam mewah yang bermobil saling merendahkan untuk alasan tak jelas, sampai dengan tayangan yang menamai diri dari jenis reality show. Semua kebohongan, semua rekayasa, semua setting-an, seharusnya juga menjadi perhatian. Mana bagian yang memang diambil apa adanya— yang hampir tidak mungkin, dan mana yang diskenariokan, harus diberi penjelasan sepanjang pengadegan berlangsung.

Bukan pengaburan dan bersembunyi di balik sekadar teks: ”diambil dengan kamera tersembunyi.” Sampai dengan mendudukkan persoalan yang sebenarnya bahwa ada jenis yang lebih mendidik yang dinamai reality tv. Sehingga bukan hanya jenis sampah yang kita tiru—kalau mau meniru. Artinya peringatan kasus Olga Ngesot adalah peringatan dini, untuk terus menerus diulang, diperbarui, diteriakkan tanpa henti, sebab kita bukan sekadar membicarakan salah ucap, bukan sekadar ralat meralat, melainkan sedang berbicara mengenai pendidikan dalam arti luas untuk sebuah generasi.

Sudah saatnya kita kembali menggali tata nilai dan tata krama yang sudah dirumuskan dengan jenius nenek moyang kita dalam soal kepribadian nasional, soalnya membangun karakter. Sudah waktunya. Dan time is up, bro!